Rumah Pohon dan Musim Hujan

Hujan masih menitik di dedaunan yang rimbun, di semak belukar sedang muncul gundukan merah berisi ribuan semut mencari aman. Dalam situasi ini, Anna, Maria, dan Obertus meniup-niup telapaknya mengumpulkan keringat dan mencoba tetap hangat.

Pada awal tahun 645M, di Greek, Anna sedang menyusun beberapa lembaran kusam yang akan dibakar menggantikan arang untuk memanasi tungku air, tidak cukup sepuluh menit Obertus meneriakinya.

“kau ini mau dihukum? Itu punya yang Agung,” teriak Ober di telinga Anna.

Dengan tertegun Anna merasa Ober sudah keterlaluan, apa salahnya membakar kertas yang tidak lagi dijamah.

“kau kucubit duluan, tubuhmu gendut dan lekukmu tak beraturan, mana mungkin kau mampu mengalahkanku, meski aku perempuan, setidaknya aku tahu jelas kau tidak mampu mengunci leherku di antara lemak di lenganmu. Gendut,” tantang si gadis kecil paling bungsu.

Dengan sedikit gusar keduanya memilih tidak saling menatap dan meninggalkan gudang yang telah dipenuhi banyak kertas. Papa Ober, Maria dan Anna adalah penulis, seluruh tulisannya berisi apapun mengenai kota tua tersebut, sama ketika mereka membaca sosok Agung Sokrates, atau sekadar membaca bagaimana kota tersebut akhirnya memiliki ruang sidang untuk mengetahui siapa yang salah dan siapa yang akan menjadi Aleksander berikutnya. Kota yang isinya cuma tungku dan bebatuan itu memiliki sedikit taman yang sudah direkayasa menyerupai Madagaskar. Insipirasi muncul ketika sang raja ke Athena, ajaibnya meskipun Athena penuh dengan air asin tapi pada saat berkunjung ke sana, Kaisar menemukan kolam ikan tawar. Dari kunjungan tersebut perlahan Kaisar Agung sadar bahwa pengetahuan manusia tidak terbatas, dan semua bisa dikembangkan. Persis Petuah pertama sang Agung Sokrates.

Setelah Sokrates Pergi, perlahan para penasehat kerajaan merindukan kecerdasannya. Hanya pemikir seperti dialah yang mampu menembus masa depan. Belum juga Aristoteles dewasa, sebuah sekolah dikembangkan agar masyarakat tidak tamak oleh kebodohan. Tapi sayang yang Agung telah menelan racun dan mendekam dalam api yang membakar kulit keriputnya. Janggut yang masih dianggap gaya seorang yang cerdas akhirnya merupa menjadi budaya yang sakral. Anak Dewa, Sokrates mereka, selama hidup menjaga janggutnya agar tetap lebat dan panjang, maka tidak salah jika mereka juga melakukannya dan menganggapnya sebagai peninggalan sosok yang agung.

Kembali ke tempat anak-anak tersebut duduk, di sebuah rumah pohon, sedang tersiar kabar agar semua menjaga perbekalan karena kemarau mungkin akan sangat panjang, sepengetahuan masyarakat dari abdi kerajaan, Dewa sedang menghukum mereka, air sedang surut dan air tawar terpaksa digantikan tuak sekadar menyangga tenggorokan yang haus. Kini dalam pikiran Maria, mengapa Sokrates tidak pernah menuliskan tentang hujan, mengapa sang Agung, Sokrates kita tidak menelusuri tentang itu.

“Dia bisa melihat Dewa, tapi ke mana Hujan?” tanya Maria kepada Anna.

“kalau begitu kita ke gudang buku Papa, di sana pasti Papa pernah menuliskan kegilaan yang Agung mengenai hujan, mengenai orang-orang yang mati karena gersang,” susul Ober.

“ya sudah, mari,” jawab Anna.

Setelah dua hari mencari tahu, mereka menemukan setumpuk tulisan mengenai pertanyaan Sokrates, pertanyaan yang sama dilontarkan oleh Maria. Lalu mereka mengumpulkan beberapa cara atau taktik yang diajarkan Sokrates. Namun dalam tulisan tersebut, Sang Papa menulis bahwa Sokrates sedikitpun tak pernah mencobanya, hanya memprediksi, memprediksi bahwa hujan bisa direkayasa, seperti keadilan yang bisa memihak.

Di atas balon udara, yang merupakan penemuan Axores, mereka membawa karung-karung garam menuju titik terdekat awan, dengan alasan bahwa awan akan melumat garam menjadi encer, Sokrates yakin bahwa setelah itu hujan akan mudah. Ketiga bocah ini percaya saja, apalagi hanya Sokrates yang mengetahui di mana Dewa bersembunyi. Dalam tiga hari menumpuk garam di berbagai awan, mereka lelah dan marah, mengapa hujan belum datang. Mengapa malah sering terlihat awan-awan bergerak cepat mendekat satu sama lain. Seperti tertarik, bahkan balon mereka sempat menggesek di sekumpulan awan yang mulai berwarna gelap.

Anehnya, mereka tidak menyadari bahwa awan tampak mulai menyeramkan, di atas rumah pohon mereka merasa ada yang keliru, berkali-kali diutak-atik lembaran itu, akhirnya mereka tertidur. Tertidur karena angin mulai kencang dan langit menjadi hitam.

Di luar papa mereka berteriak-teriak.

“Ober, Anna, dan Maria, turun! Kita cilaka, Dewa sedang marah.”

“Oh anakku turunlah, pohon itu bukan hunian yang layak.”

Sejam setelah angin mulai terlihat suram, guntur dan kilat bermunculan, kota Greek, akhirnya disapu Hujan. Semua tampak panik, kecuali ketiga anak yang masih menggantungkan balon Axores di pohon beringin tua tersebut. Papa mereka segera menyelamatkan jutaan halaman yang ditulisnya, agar tidak terbawa oleh murka Dewa. Namun setelah dua jam berlalu, semua warga kota keluar dan menatap langit. Di luar rumah mereka, Greek sedang hujan, hal yang sangat mustahil di musim kemarau panjang. Setelah semua surut dan pesediaan air tawar habis, Dewa mengirimkan hujan.

Berlarilah sang Papa menuju rumah pohon, membangunkan ketiga anak nakal tersebut. Saat memasuki rumah pohon kecil, ibarat tanaman perdu, sang Papa menemukan lembaran Sokrates yang tercecer mengenai hujan, dan beberapa kaleng berisi garam. Sang Papa akhirnya sadar bahwa merekalah yang berulah. Dengan penuh kelembutan, Papa Moreno mendekap ketiga malaikat tersebut dan berteriak.

“Alexander punya kerajaan, Aku punya tiga Sokrates, hidup Dewa di langit.” teriaknya kencang membangunkan ketiga Dewa kecil tersebut.

Saat membuka mata mereka tersenyum, dan berlari menuruni tangga, menemukan garam-garam itu meleleh dan dibiarkan jatuh oleh awan. Mereka sangat senang dan mengumpulkan energinya menyusuri Greek dengan menginjak-injak kubangan dan percikannya mengotori baju. Mereka sedang menyorakkan yang kini kita sebut science. Mereka mencintai jutaan halaman yang papa mereka tulis dan simpan, mereka sepakat akan menjadikan lembaran kusam tersebut sebagai kitab kehidupan.

  • Dalam satu dasawarsa terakhir, Kabupaten Bantaeng telah tampil sebagai barometer gerakan literasi, khususnya di Provinsi Sulawesi Selatan. Ketika kata “literasi” belum sepopuler hari-hari ini, pegiat literasi di Bantaeng sudah bergerilya menyebar benih gerakan literasi yang kini sudah tumbuh subur. Langkah-langkah gerilyanya ketika itu berupa pelatihan kepenulisan, diskusi buku, dan lapak-lapak baca. Di kemudian hari, langkah…

  • Adelio membuka mata ketika menyadari ombak Perairan Cempedak mengombang-ambing tubuhnya. Ia melihat ke bawah dan mendapati kedalaman laut yang tak terhingga. Ia mendongak ke langit, semburat cahaya matahari baru saja hendak menyapanya dari ufuk timur. Ia baru saja menyadari bahwa dirinya telah mengapung semalaman di tengah laut setelah mendapati sebagian kulitnya yang mulai mengeriput. Ia…

  • Buku terbaru Sulhan Yusuf, Gemuruh Literasi: Sederet Narasi dari Butta Toa boleh dibilang sebagai pembuktian, jika usia bukanlah aral melintang bagi seseorang untuk produktif dalam berkarya. Tapi, insight yang diwedarkan Gemuruh Literasi sebenarnya lebih dari itu. Buku ini adalah jawaban bagi rasa penasaran sebagian orang yang hendak mengetahui gerakan literasi Sulhan di Bantaeng. Kerja-kerja kultural yang…

  • Judul tulisan ini saya pinjam dari ungkapan Profesor Cecep Darmawan—dosen saya ketika studi magister beberapa waktu lalu. Beliau guru besar yang egaliter dan seringkali tampil di publik (media dan forum) untuk berbagi gagasan dan pencerahan. Seingat saya ungkapan itu beliau sampaikan saat kami kuliah “Pendidikan Politik Generasi Muda”. Saya terkesan dengan ungkapan itu, selain indah…

  • Membicarakan suatu topik, dalam hal ini filsafat Islam, maka rasa-rasanya kurang afdal apabila tidak memasukkan nama al-Ghazali di dalamnya. Akan tetapi bila seseorang mau menempatkan al-Ghazali dalam sejarah filsafat Islam, tentu ia harus membuat beberapa catatan. Poin utamanya bahwa al-Ghazali tidak menganggap dirinya filosof dan tidak suka dianggap sebagai seorang filosof. Ini tak hanya menjelaskan…


Kala Literasi

Jl. Pa’ Bentengang No.6, RT.01/RW.08, Mangasa Kec. Tamalate, Kota Makassar, Sulawesi Selatan 90221