Seribu sembilan ratus sembilan puluh delapan, sekitar seratus kilometer dari pusat kota kabupaten. Di tenggara Sulawesi, pada sebuah desa di pesisir pantai. Sekolah yang berdinding papan berlantai seadanya dengan deretan bangku serta meja yang terbuat dari kayu. Madrasah Tsanawiyah Al-Ikhlas jelas papan nama tertera di pintu sekolah. Di sanalah saya bersekolah. Saat saya menginjakkan kaki di kelas tiga, pada malam yang tak ramai, sebuah acara sedang dibuka. Acara itu adalah Training Melati tingkat satu (TM I) Ikatan Remaja Muhammadiyah (IRM—sekarang IPM). Di deretan bangku serta meja yang ada, duduk sekitar 40 anak remaja. Saya salah satu dari sekian anak remaja itu.
Pada acara itu, saya mendengar sosok nama yang sering disebut. Berbagai label disemai kepadanya: sang pembaharu, reformis, pelurus aqidah umat dan paling harus diingat ia adalah sang pendiri Persyaraikatan Muhammadiyah. Di situlah saya pertama mengenal KH. Ahmad Dahlan—lebih tepatnya mengenal nama. Saya belum mengerti gagasan-gagasannya. Pembaharu, reformis, purifikasi, yang sering disebut-sebut kala itu, tak saya mengerti. Namun kegiatan TM I itu, saya ikuti dengan riang. Saya merasakan ada atmosfir baru tentang model keberagamaan yang “baru”.
Jauh dari seribu sembilan ratus sembilan puluh delapan, tepatnya di dua ribu tiga menjelang dua ribu empat, di kampus, saya bertemu dan berkawan dengan teman-teman mahasiswa yang juga berlatar IRM. Saat itu, ingatan tentang IRM atau Muhammadiyah sedikit termantik kembali. Walau kala itu KH. Ahmad Dahlan belum juga menjadi bacaan serius. Belum berupaya menelusuri pokok-pokok pikirannya. Hal ini barangkali disebabkan waktu kuliah, saya tidak terlibat di ortom Muhammadiyah di level mahasiswa (IMM). Saya memilih mengembara ke organ kiri hingga tercantol di HMI MPO.
Singkat cerita, di dua ribu enam belas, di program megister sosiologi saya mengajukan judul tesis tentang Islam Berkemajuan pernyataan pikiran abad kedua Muhammadiyah. Karena itu, saya diharuskan—mengharuskan diri—untuk menelusuri gagasan KH Ahmad Dahlan. Mempelajari pokok-pokok gagasanya. Sebab Islam Berkemajuan, konon memiliki latar pada KH. Ahmad Dahlan. Mulailah saya mengumpulkan buku tentang KH. Ahmad Dahlan. Berupaya menemukan tulisan atau catatan-catatan beliau. Dari pencarian itu, akhirnya saya menemukan salah satu tulisannya yang diberi judul, Tali Pengiket Hidoep Manoesia (1923). Dan inilah yang akan saya cerita. Tulisannya ini akan saya coba ulas—khususnya terkait dengan akal.
Sesarinya pembicaraan akal, bukanlah hal yang baru. Ia diskursus klasik. Aristoteles salah salah satu filosof Yunani menempatkan akal sebagai esensi manusia. Orang-orang yang hidup jauh dari zaman Socrates memahami realitas salah satunya melalui nalar (akal) selain mytos (mistis) tentunya. Di Islam sendiri, akal banyak dibicarakan. Al-Quran sendiri dibanyak ayat, Allah Swt “mengistruksikan” untuk memikirkan semesta dengan segala isinya sebagai tanda-tanda keberadaaNya. Atau sabda Sang Nabi suci Rasulullah saw, secara gamblang menyebut bahwa, “agama adalah akal, dan tidak beragamalah bagi orang yang tidak berakal”.
Dalam tradisi pemikiran Islam, akal salah satu menjadi tema diskursus maupun digunakan. Aliran teologi Muktazilah, dalam banyak hal memahami agama (teks suci) Islam mengutamakan penggunaan akal. Sehingga mereka kadangkala dikategorikan sebagai rasionalis Islam. Kalangan filsafat parepatetik Islam, bahkan menjadikan akal sebagai sesuatu yang urgen dalam menggapai kebenaran. Al-Farabi salah satu tokoh parepatetik Islam, mengurai akal manusia dalam berapa “tingkatan”. Tingkatan paling bawah adalah akal potensial. Sebuah bentuk akal yang masih berelasi dengan persepsi inderawi.
Lain halnya dengan akal aktual sebagai transformasi dari akal potensial. Akal aktual unsur-unsur inderawi tak lagi ada. Ia mengambil bentuk menjadi forma. Kemudian pada tingkatan akal capaian, sepenuhnya formal (forma) kontak dengan akal aktif yang juga sepenuhnya formal. Pada ruang itu akal sepuluh dalam hirarki akal mengaktualisasikan pengetahuan. Namun dari tingkatan akal Al-Farabi ini, Ibnu Sina menambahkan satu tingkatan lagi yakni akal suci. Baginya, ini adalah akal tertinggi dimiliki oleh orang-orang yang memiliki intelektual tinggi. Akal suci mengambil bentuk ilham atau wahyu. Para nabi berada pada tingkatan akal suci ini.
KH. Ahmad Dahlan dalam mengulas akal tidak seperti kaum parepatetik. Tidak dalam kerangka filsafat. Tetapi akal yang dibicarakan adalah akal yang digunakan untuk memahami realitas sosial-kultural. Dalam tulisannya, KH. Ahmad Dahlan menghadirkan pembicaraan ihwal watak akal, pendidikan akal serta kesempurnaan akal. Tentang watak akal berikut KH. Ahmad Dahlan mengulasnya dalam Tali Pengiket Hidoep Manoesia (1923), “Wataknja akal itoe, memopenjai dasar menerima segala pengetahoean dan memang pengetahoean itoelah jang mendjadi keboetuhannja akal; sebab akal itoe oempamanja sepeti bidji (widji) jang terbenam didalam boemi. Bisanja terbit dari boemi dan tambah-tambah sehingga mendjadi pohonan jang besar……..”
Pada tulisan KH Ahmad Dahlan ini, nampak jelas ia gambarkan bahwa watak akal itu memiliki potensi untuk berkembang dan terbuka kepada segala traktat pengetahuan. Akal hakikat dasarnya mampu menerima segala pengetahuan baik pengetahuan agama maupun sains. Dimensi lain dari watak akal adalah memiliki peluang untuk selalu berkembang dan mencapai kesempurnaannya bila selalu disirami dengan pengetahuan. Selanjutnya, ihwal pendidikan akal, KH. Ahmad Dahlan menuliskan berikut: “Sehabis-habisnja pendidikannja akal, itoe dengan Ilmoe Manteq..”. Sebaik-baik pendidikan akal adalah dengan mantiq (logika). Kita tahu bersama, mantiq atau logika adalah pengajaran bagi akal untuk memahami aturan-aturan berpikir benar. Ia adalah ilmu alat yang menjadi landasan untuk memahami pengetahuan yang lain.
Kemudian tentang kesempurnaan akal, KH. Ahmad Dahlan memberikan parameter. Ada enam poin standar kesempurnaan akal yang ia ungkapkan. Pertama belas kasih. Bagi KH. Ahmad Dahlan, sesuatu perkara bila ditimbang tidak akan sampai pada keutamaan bila tak dilandasi dengan belas kasih. Akal menjadi tajam menentukan perkara bila beralaskan belas kasih. Kedua, mendasarkan pada komitmen dan konsistensi. Ketiga, dalam memilih harus terang benderang. Tidak boleh terjebak pada konsensus—taklid. Keempat, harus teguh pada kebenaran dan kebajikan. Kelima, berdiri secara kukuh pada pilihan yang telah dipilih. Keenam, mampu memilah dan menempatkan mana yang mesti dilakukan dan tidak dilakukan.
Semesta akal dituturkan KH. Ahmad Dahlan, sesarinya upaya untuk mengantarkan pada sikap terbuka terhadap segala dimensi pengetahuan. Akal yang mampu melahirkan individu yang punya keberanian untuk berdialog dengan kebenaran yang lain (the others). Akal yang utarakan KH. Ahmad Dahlan adalah akal yang mampu mengantarkan individu pada posisi tepat dalam realitas sosial. Akal yang membimbing kita untuk melahirkan solusi pada problem peradaban yang ada. Namun, sisi lain KH. Ahmad Dahlan, di akhir Tali Pengiket Hidoep Manoesia memberi uraian bahwa akal juga pada sisi lain, bisa terjerumus dalam perangkap syahwat dunia. Dengan itu, untuk tidak terperangkap pada syahwat dunia, maka akal harus dilengkapi dengan hati yang suci.
Pertalian antara akal dan hati suci, bagi KH. Ahmad Dahlan mampu mengantarkan kita pada derajat tertentu. KH. Ahmad Dahlan menyebut derajat itu sebagai manusia budiman. Mencapai derajat manusia budiman bisa dibilang sebagai pencapaian spiritual seseorang. Manusia budiman merupakan sosok individu yang telah mengalahkan hawa nafsunya sehingga dalam dirinya terwujud kecenderungan kepada Allah swt.