Mencegah Impotensi Agama

Persamuhan kali ini, merupakan rapat pengurus masjid dekat mukim, yang ke sekian kalinya saya ikuti. Maklum, saya pun ikut dalam barisan pengurus. Sejak bersetubuh dengan masjid ini, nyaris saja setiap tahunnya, tatkala ada sumbangan yang masuk selama bulan Ramadan, pengurus berinisiatif melakukan renovasi bangunan. Baik yang sifatnya menambah areal masjid, maupun sekadar mempercantik interiornya. Sawala paling terkini, membahas  pilar-pilar, lantai tegel, dan enam jendela, serta rancangan kubah masjid.

Sependek ingatan saya, untuk urusan pilar, sudah tiga kali diubah. Bentuk aslinya bundar, yang ukurannya sepelukan bocah. Tidak lama kemudian, rupanya dipermak menjadi segi empat, karena alasan keindahan. Dan, saat ini, mau dilapisi tegel, biar lebih kinclong. Pun jendelanya tak luput dari sasaran rehab. Karena modelnya sudah dianggap ketinggalan, maka mestilah diganti. Dari model lonjong mengerucut, menjadi kotak persegi minimalis. Saya yang belum punya pengalaman memadai mengurus masjid, menjadi terheran-heran, diam seribu bahasa, membatinkan pasal-pasal rehabilitasi masjid, yang saban ganti pengurus, ganti pula seleranya. Kayak menteri dalam kabinet pemerintahan. Ganti menteri, ganti kebijakan.

Padahal, inti sekotah soal itu, mulai dari pilar, lantai, jendela dan kubah masih kuat. Hitungan dongok saya, yang bukan arsitek ini, memperkirakan masih tahan hingga puluhan tahun. Pertanyaan yang selalu menggelora di pikiran, dan mendesak di benak, adalah mengapa para pengurus ini sibuk dengan urusan-urusan bangunan fisik, soal-soal ragawi masjid? Hanya karena soal selera yang beda, atau sekadar memberi kesan baru, bahwa pengurus era ini pun ada yang dibikin, ada perubahan. Saya lalu teringat pada sepenggal waktu di masa silam, sewaktu ikut Kuliah Kerja Nyata (KKN) di sebuah desa. Kami para mahasiswa, salah satu programnya, mencat kembali papan nama kantor desa, lalu memberikan tulisan di pojok bawahnya, nama kampus dan gelombang KKN-nya, yang bakal hilang, setelah KKN berikutnya datang, karena mengulangi apa yang telah kami lakukan.

Bila saja siklus ini berputar secara konsisten dan persisten, saya jamin seribu persen, tidak akan ada perubahan yang mendasar dari kualitas jiwa para jamaah masjid. Belum lagi masalah kualitas para penceramah, yang sedianya bisa mencerahkan warga masjid, pun sama saja. Materi sajiannya hanya mengulang tema yang sama, dari tahun ke tahun. Lebih suntuk membahas perkara temeh-temeh dan individual. Abai membahas problem sosial, atau dimensi substansial Islam lainnya. Sulit rasanya membayangkan, jika sebuah mesjid, yang sesarinya berfungsi sebagai salah satu pusat pengembangan agama, adab-budaya warga, namun mengusung perwajahan yang demikian. Spirit agama menjadi mati, jiwa agama mengalami impotensi. Ada agama tapi tidak mekar fungsi sosialnya.

Sejatinya, istilah impotensi lebih banyak digunakan dalam dunia kedokteran, lebih tepatnya, yang berkaitan dengan fungsi kelamin lelaki. Impotensi, atau sering pula dikenal sebagai disfungsi ereksi, adalah suatu keadaan kelamin laki-laki, penis, yang tidak mampu “hidup” saat melakukan aktifitas seksual. Jadi, bendanya ada, tapi “mati”. Karenanya, keadaan ini dapat menimbulkan masalah-masalah lain, terkait dengan hubungan dengan pasangan. Meski demikian keadaannya, masih bisa diterapi, agar bisa fungsional kembali.

Sesungguhnya, tidak sedikit cendekiawan yang telah mewanti-wanti akan gejala impotensi agama ini. Saya hanya merujukkan salah seorangnya saja, Tariq Ramadan, cucu dari Imam Hasan al-Banna, sang pendiri gerakan Ikhwanul Muslimin. Dalam bukunya, Menjadi Modern Bersama Islam, jelas sekali tawaran Tariq, mengajak kaum Muslim untuk mengkritisi ihwal yang lebih serius, yakni, bagaimana laiknya seorang muslim hidup di dunia modern, tanpa harus ditawan oleh modernisme, yang secara filosofis gagal memahami eksistensi kaum Muslim. Sebab, modernisme tatkala mewujud menjadi pandangan dunia, pada hakikatnya menolak pluralisme peradaban, agama, atau kebudayaan. Tetapi, modernitas bisa menjadi jembatan emas, guna mendialogkan soal-soal sosial, ekonomi, politik, dan budaya, yang berlapik pada nilai etik spiritualitas Islam.

Tetiba saja saya menjadi geram, sebab terprovokasi oleh pikiran-pikiran transpormatif dari para pemikir muslim, terutama tohokan argumen Tariq Ramadan. Dalam ruang sawala di mesjid, saya tenggelam pada jiwa yang khusyuk. Saya lalu mematangkan buah pikiran sebagai usul, agar siklus beragama yang impoten itu terhenti. Moncerlah gagasan agar mengehentikan segala program yang berbau ragawi itu. Stop renovasi pilar, jendela, lantai dan kubah mesjid. Seharusnya yang dikedepankan adalah membenahi jiwa mesjid, biar keberagamaan jamaah menjadi lebih hidup. Pikiran tercerahkan, dan hati menjadi hidup, agar jamaah tercegah masuk dalam terungku impotensi agama.

Saya ajukan gagasan, agar lebih baik membuat perpustakaan masjid. Tujuannya, supaya segenap jamaah melek tradisi literasinya. Bagi saya, jamaah mesjid yang punya tradisi membaca, bakal mendinamisir pemahaman keagamaan. Banyak membaca, akan melahirkan pribadi-pribadi yang cemerlang, cerdas dalam berfikir, santun dalam bertingkah. Sekaum jamaah pada sebuah mesjid, yang tradisi literasinya kuat, pastilah memaksa para penceramah untuk mendaur ulang materi sajiannya. Problem rutin yang sering diutarakan oleh penceramah, bisa selesai, manakala jamaah membaca buku-buku yang tersedia. Sebab, bila tidak, maka sekotah jamaah akan protes, minta sang penceramah dipensiunkan, karena ceramah yang tidak berkualitas. Dengan begitu, para penceramah akan memperbanyak bahan ceramahnya. Tentu ia harus membaca lebih banyak lagi, jika masih ingin diundang berceramah.

Baru saja pendapat tersebut saya mau uarkan, persamuhan sudah diakhiri. Sepertinya, saya kehabisan waktu untuk unjuk pendapat. Alasannya sepele, karena waktu tidak memungkinkan lagi. Yah, seperti pada umumnya sebuah rapat, kadang waktu menjadi kambing hitam penghalang, yang mencegah lahirnya usulan-usulan yang bernas. Mungkin memang belum waktunya gagasan saya ini disajikan, harus menunggu sawala berikutnya. Itu pun kalau para pengurus masjid mau membebaskan diri dari terungku impotensi beragama.

 

  • Dalam satu dasawarsa terakhir, Kabupaten Bantaeng telah tampil sebagai barometer gerakan literasi, khususnya di Provinsi Sulawesi Selatan. Ketika kata “literasi” belum sepopuler hari-hari ini, pegiat literasi di Bantaeng sudah bergerilya menyebar benih gerakan literasi yang kini sudah tumbuh subur. Langkah-langkah gerilyanya ketika itu berupa pelatihan kepenulisan, diskusi buku, dan lapak-lapak baca. Di kemudian hari, langkah…

  • Adelio membuka mata ketika menyadari ombak Perairan Cempedak mengombang-ambing tubuhnya. Ia melihat ke bawah dan mendapati kedalaman laut yang tak terhingga. Ia mendongak ke langit, semburat cahaya matahari baru saja hendak menyapanya dari ufuk timur. Ia baru saja menyadari bahwa dirinya telah mengapung semalaman di tengah laut setelah mendapati sebagian kulitnya yang mulai mengeriput. Ia…

  • Buku terbaru Sulhan Yusuf, Gemuruh Literasi: Sederet Narasi dari Butta Toa boleh dibilang sebagai pembuktian, jika usia bukanlah aral melintang bagi seseorang untuk produktif dalam berkarya. Tapi, insight yang diwedarkan Gemuruh Literasi sebenarnya lebih dari itu. Buku ini adalah jawaban bagi rasa penasaran sebagian orang yang hendak mengetahui gerakan literasi Sulhan di Bantaeng. Kerja-kerja kultural yang…

  • Judul tulisan ini saya pinjam dari ungkapan Profesor Cecep Darmawan—dosen saya ketika studi magister beberapa waktu lalu. Beliau guru besar yang egaliter dan seringkali tampil di publik (media dan forum) untuk berbagi gagasan dan pencerahan. Seingat saya ungkapan itu beliau sampaikan saat kami kuliah “Pendidikan Politik Generasi Muda”. Saya terkesan dengan ungkapan itu, selain indah…

  • Membicarakan suatu topik, dalam hal ini filsafat Islam, maka rasa-rasanya kurang afdal apabila tidak memasukkan nama al-Ghazali di dalamnya. Akan tetapi bila seseorang mau menempatkan al-Ghazali dalam sejarah filsafat Islam, tentu ia harus membuat beberapa catatan. Poin utamanya bahwa al-Ghazali tidak menganggap dirinya filosof dan tidak suka dianggap sebagai seorang filosof. Ini tak hanya menjelaskan…


Kala Literasi

Jl. Pa’ Bentengang No.6, RT.01/RW.08, Mangasa Kec. Tamalate, Kota Makassar, Sulawesi Selatan 90221