Tonny Koeswoyo

“Tonny juga mengajarkan satu toleransi, menulis lagu dengan lintas agama, lintas budaya dan sosial. .. Saya memahami filosofi hidup almarhum yang Muslim tapi memahami pilihan keyakinan orang lain”. (Bens Leo)

Malam Jumat, 30 Maret 2017, ada perasaan dumba-dumba, maksudnya, deg-degan yang menghidu sekujur jiwa saya. Begitu senja menyembunyikan diri dalam terungku malam, usai tunaikan Magrib, saya langsung tutup toko, balik pulang ke mukim. Saya pulang lebih awal, biasanya nanti pukul 21.00, tapi kali ini, saya benar-benar ingin duduk manis, khusyuk di depan kotak ajaib, pada chanel TVRI, yang pada pukul 22.00, akan menyiarkan secara langsung, konser Mengenang 30 tahun wafatnya Tonny Koeswoyo.

Beberapa hari sebelumnya, urita ini sudah saya dapat lewat facebook. Maklumlah, saya berteman dengan keluarga besar Koes Bersaudara/Plus. Sekadar menderet namanya, Damon Koeswoyo, Kenny Koeswoyo, keduanya putra dan putri Tonny Koeswoyo. Pun, tak ketinggalan Astrae Ninethe Themies, istri Tonny Koeswoyo. Ada pula David Koeswoyo, putra Yon Koeswoyo, Sari Koeswoyo putri Yok Koeswoyo, Cicha Koeswoyo, putri Nomo Koeswoyo, dan Rico Murry, putra Murry, serta Vero Murry,  istri Murry. Jadi, soal berita tentang konser ini, cukup cepat saya dapatkan. Apatah lagi, sesi latihan mereka, diunggah sejak H-5.

Begitu siaran lokal TVRI Makassar beralih ke siaran nasional, saya sudah berdepan-depan dengan pesawat TV. Suasana tahun 70-an, tatkala siaran TVRI masih hitam-putih, kembali menyeruak di memori saya. Satu persatu penggalan tayangan masa silam, tentang Koes Plus di TVRI menyata kembali. Dan, saya berusaha menyambungkannya dengan suasana kekinian, yang tentu amat berjarak waktunya, sehingga tayangan-tayangannya pun disesuaikan dengan selera pasar. Acaranya dipermak sedemikian aktuil, hingga nuansa entertain pun ikut mewarnai konser langsung itu.

Muncullah penampil pertama, Dewi Yul dengan tembang Andaikan Kau datang. Setelahnya, nampaklah pembawa acara, Ronny Waluya dan Deasy Novianti, yang mempersilakan penampil berikutnya, kakak-adik, Endang S. Taurina dan Ratih Purwasih dengan lagu Derita. Dua tembang lawas itu, adalah karangan Tonny Koeswoyo. Sebelum lanjut pada lagu-lagu berikutnya, pembawa acara menyambangi adik-adik Tonny Koeswoyo, yang tiada lain adalah Nomo (Koesnomo), Yon (Koesyono), dan Yok (Koesroyo). Mereka adalah personil Koes Bersaudara. Sayangnya, Murry (Kasmurry) — sudah wafat tiga tahun yang lalu – yang merupakan personil Koes Plus, pengganti Nomo.

Oleh pembawa acara, Nomo diminta komentar tentang sosok Tonny, Nomo pun bilang, “Mas Tonny itu, pahlawan buat keluarga Koeswoyo, dan dia mendidik adik-adiknya dengan keras untuk bermusik”. Ketika Yon ditanya, jawaban pun mengemuka, “Dia itu seorang guru musik, guru nyanyi, guru mencipta lagu, yang diajarkan pada saya, sehingga saya bisa mencipta lagu, bisa main band, guru saya”. Yok, “ Buat saya, Mas Ton itu orang yang punya dedikasi yang tinggi, itu sebabnya ia menanamkan rasa memiliki, mencintai”.

Setelahnya, menyanyilah Imaniar, dengan tembang Jemu, karangan Yok Koeswoyo, dilanjutkan, dengan tembang yang telah melegenda, Manis dan Sayang, karangan Tonny Koeswoyo, yang ditembangkan oleh Aryo Wahab, yang dalam komentarnya, menyatakan, “Indonesia sangat bersyukur dan sangat berterimakasih karena memiliki Koes Plus”. Tak ketinggalan pula, Sarah Haju, dengan tembang Jangan Berulang Lagi, berlanjut tiga tembang yang dibawakan secara medley, bersama pasangannya, Ronny Waluya, Dara manisku, Oh Kau Tahu, dan Bis Sekolah.

Giliran 2nd Generation, Generasi Kedua, unjuk kemampuan, masing-masing, Damon Tonny Koeswoyo, David Yon Koeswoyo, Rico Murry, Reza Nomo Koeswoyo, Sari Yok Koeswoyo, Chicha Nomo Koeswoyo, dan Kenny Tonny  Koeswoyo, serta dibantu oleh dua personil band pelestari Koes Plus, Bplus, Acil dan Pipien. Sederet tembang-tembang hits dinyanyikan, Rahasia Hatiku, Medley Nusantara, Hari Minggu, Aku dan Dirimu, Gadis Desa, Penipu Tua, Kisah Sedih di Hari Minggu, Ayah, Kala-Kala, Pelangi, Bunga di Tepi Jalan, Bujangan, Kusayang Padanya, dan Kembali.

Di sela-sela pergantian lagu, menguar komentar-komentar spontan, penyedap konser, semisal dari Damon, kala ditanya oleh pembawa acara, bagaimana sosok bokap? “Bapak aje, … seniman tulen… seniman..seniman tulen..tulen”. Apa gaya sama? “Gilaan dia, pasti”. Setelah Sari berduet dengan Rico, dengan tembang Gadis Desa, karangan Murry, Sari mendedahkan komentar, seputar kenangannya dengan Tonny, Sari berujar, “Saya manggilnya Ong Ton, panggilan sayang. Sebab, suka sama-sama makan sayur jantung pisang, namanya ongtong”.   Pun, Chicha sebelum nyanyi, bertutur, “Om Ton sangat berarti, beliau adalah orang yang menemukan saya…”.

Saat tembang  Ayah dilantunkan secara duet, David dan Damon, banyak penonton yang sedih, menangis. Setidaknya, ada tiga orang yang terekam kamera, menitikkan air mata. Salah satunya saya duga adalah putri almarhum Murry. Saya pun demikian, ada dua tiga butir air bening berhasil melompat keluar dari kelopak mata saya. Tembang karangan Tonny, sesarinya menggambarkan sosok ayahnya, Koeswoyo. Waima lagu ini semula untuk ayah biologis Tonny, tapi makna terdalamnya, bisa buat siapa saja yang ingin mengenang sang Ayah, sesosok ayah ideologis bagi setiap orang.

Tembang-tembang legendaris yang tersaji malam itu, memang sebagian besarnya merupakan karangan Tonny Koeswoyo. Kehidupan Tony yang hanya memangsa waktu 51 tahun lebih, lahir 19 Januari 1936 di Tuban, wafat 27 Maret 1987 di Jakarta. Dedikasinya pada musik terbilang sangat idealis. Hidupnya, hanya untuk musik. Dialah yang mengajak saudara-saudaranya membentuk group band tahun 60-an dengan nama Kus Brothers, lalu menjadi Koes Bersaudara, dan menjadi Koes Plus. Baik Koes Bersaudara, maupun Koes Plus telah menjadi band legendaris tanah air. Bahkan, perjalanan musik pop di Indonesia, sangat diwarnai oleh Koes, yang tiada lain aktor intelektualnya adalah Tonny Koeswoyo.

Salah satu buku yang merekam dengan baik perjalanan group musik Koes ini, adalah tulisan Ais Suhana, yang berjudul, Kisah Dari Hati. Buku ini mengisahkan bagaimana Koes Plus menjadi tonggak industri musik Indonesia. Ada bagian khusus dalam buku Ais ini, bercerita tentang Koestono, atau Tonny Koeswoyo. Pada bagian ini, beberapa penggalan tutur tentang Tonny. Sebagai misal, Yon menyatakan, “Mas Tonny kalau melakukan sesuatu bersungguh-sungguh. Apalagi dalam bermusik, ia sangat menjiwai nada-nada dari gitar maupun lirik-lirik yang ditulisnya… Dalam menulis lagu, pikirannya enggak neko-neko. Kalau bukan pengalaman sendiri, biasnya diambil dari pengalaman orang lain… dalam menulis lagu spontan saja, meskipun tergantung perasaannya…tidak dibuat-buat”.

Pada tahun 1972, Putu Wijaya, seorang wartawan majalah Tempo, menuliskan bahwa, “Mas Tonny mengakui banyak membaca sejumlah buku, seperti Bhagawad Gita, Gitanjali-nya pujangga India, Rabindranath Tagore, serta karya-karya William Shakespeare dan Yasunari Kawabata, pengarang Jepang peraih Nobel untuk sastra. Dan tentu juga karya-karya penyair Indonesia sendiri, seperti Chairil Anwar”.

Lain lagi dengan Murry, menurutnya, “Mas Tonny itu orangnya sederhana dan cuek. Untuk kostum sering aku yang menyediakan kaus atau pakaian yang cocok sebelum manggung. Karena Mas Tonny akan mengenakan pakaian yang itu-itu juga dan tidak berusaha menggantikan pakaiannya kalau ada pemotretan misalnya”.

Bentangan bacaan pengetahuan Tonny dan sikap hidupnya yang sederhana, sekotahnya tercermin pada tembang-tembang karangannya, baik yang di Koes Bersaudara maupun Koes Plus. Karenanya, berderetlah ratusan lagu, yang bergenre pop, yang termanifestasi dalam jenis musik; Rock ‘n’ roll, hard beat, kroncong, melayu (dangdut), qasidah, ruhani, anak-anak, dan jawa. Maka menjadi benarlah apa yang dipendapatkan oleh Bens Leo, wartawan senior di bidang musik, “Tonny juga mengajarkan satu toleransi, menulis lagu dengan lintas agama, lintas budaya dan sosial. .. Saya memahami filosofi hidup almarhum yang Muslim tapi memahami pilihan keyakinan orang lain”.

Tanpa terasa, ada 2 jam konser bertajuk Koes Bros Plus & 2nd Generation, Tonny Koeswoyo 30 Tahun Telah Berlalu. Pada pucuk konser mengalunlah tembang lawas Kembali. Sekotah pendukung acara bernyanyi bersama menandai acara berakhir. Saya tidak segera beranjak dari depan kotak ajaib. Masih menikmati sisa-sisa kenangan yang perlahan beranjak kembali ke penggalan silamnya, sembari mengagumi para pewaris generasi Koes, 2nd Generation, Generasi Kedua, dengan adaptasi musiknya, menyambung selera pendengar tembang kenangan dalam rasa kekinian. Bagi saya selaku Koes maniak, jasa terbesar dari Generasi Kedua Koes, adalah mengabadikan warisan sang Generasi Pertama.

Perasaan dumba-dumba saya telah raib, bersama dengan larutnya malam. Namun, mata saya tidak segera bisa terpejam, sebab akibat rasa deg-degan yang sedari awal sebelum konser ditabuh, mengingatkan saya pada tembangnya Koes Plus yang berjudul Dheg Dheg Plas, yang kemudian berlanjut pada potongan syair sebuah lagunya, betapa terkesan // rasa di dalam hatiku // kuingin selalu // dekat-dekat denganmu. Yah, Tonny telah mengabadi di keabadian bersama sang Ayah, Koeswoyo, dan Murry. Namun Tonny akan abadi dengan warisan tembang-tembang lawasnya, yang bakal abadi dari genereasi ke generasi anak bangsa ini. Sebab, Tonny Koeswoyo telah ditabalkan sebagai legenda, pahlawan musik Indonesia.

 

 

  • Dalam satu dasawarsa terakhir, Kabupaten Bantaeng telah tampil sebagai barometer gerakan literasi, khususnya di Provinsi Sulawesi Selatan. Ketika kata “literasi” belum sepopuler hari-hari ini, pegiat literasi di Bantaeng sudah bergerilya menyebar benih gerakan literasi yang kini sudah tumbuh subur. Langkah-langkah gerilyanya ketika itu berupa pelatihan kepenulisan, diskusi buku, dan lapak-lapak baca. Di kemudian hari, langkah…

  • Adelio membuka mata ketika menyadari ombak Perairan Cempedak mengombang-ambing tubuhnya. Ia melihat ke bawah dan mendapati kedalaman laut yang tak terhingga. Ia mendongak ke langit, semburat cahaya matahari baru saja hendak menyapanya dari ufuk timur. Ia baru saja menyadari bahwa dirinya telah mengapung semalaman di tengah laut setelah mendapati sebagian kulitnya yang mulai mengeriput. Ia…

  • Buku terbaru Sulhan Yusuf, Gemuruh Literasi: Sederet Narasi dari Butta Toa boleh dibilang sebagai pembuktian, jika usia bukanlah aral melintang bagi seseorang untuk produktif dalam berkarya. Tapi, insight yang diwedarkan Gemuruh Literasi sebenarnya lebih dari itu. Buku ini adalah jawaban bagi rasa penasaran sebagian orang yang hendak mengetahui gerakan literasi Sulhan di Bantaeng. Kerja-kerja kultural yang…

  • Judul tulisan ini saya pinjam dari ungkapan Profesor Cecep Darmawan—dosen saya ketika studi magister beberapa waktu lalu. Beliau guru besar yang egaliter dan seringkali tampil di publik (media dan forum) untuk berbagi gagasan dan pencerahan. Seingat saya ungkapan itu beliau sampaikan saat kami kuliah “Pendidikan Politik Generasi Muda”. Saya terkesan dengan ungkapan itu, selain indah…

  • Membicarakan suatu topik, dalam hal ini filsafat Islam, maka rasa-rasanya kurang afdal apabila tidak memasukkan nama al-Ghazali di dalamnya. Akan tetapi bila seseorang mau menempatkan al-Ghazali dalam sejarah filsafat Islam, tentu ia harus membuat beberapa catatan. Poin utamanya bahwa al-Ghazali tidak menganggap dirinya filosof dan tidak suka dianggap sebagai seorang filosof. Ini tak hanya menjelaskan…


Kala Literasi

Jl. Pa’ Bentengang No.6, RT.01/RW.08, Mangasa Kec. Tamalate, Kota Makassar, Sulawesi Selatan 90221