Memoriaphobia

Malam datang begitu lesat, umpama desing peluru yang tiba di sasaran sepersekian detik setelah pelatuk ditarik. Lail mengeluh, rupanya kali ini peluru macam itu menyasar jantungnya. Dua manik mata gadis itu cemas memandangi meja, di atasnya tergeletak secarik undangan yang diikat pada tangkai mawar putih mekar sempurna.

Sejak pagi Lail gelisah. Lebih tepatnya sejak Ben muncul di depan pintu rumahnya dan menyodorkan undangan berikat mawar itu. Hanya undangan makan malam perpisahan antara dua sahabat. Kata Ben sambil menyengir, tidak lupa mengingatkan betapa Lail harus datang apapun yang terjadi.

“Karena setelah ini kita akan jarang sekali bersama-sama.” Sahut Ben riang.

Keriangan Ben membuat Lail tersinggung. Lihatlah, Ben begitu bahagia dengan gagasan bahwa mereka akan jarang sekali bersama-sama setelah dia menikah.

Ben memang akan menikah tidak lama lagi, dengan seorang perempuan beruntung dari antah-berantah. Perempuan yang dengan kedatangannya secara tiba-tiba telah merenggut Ben darinya.

Dalam sekejap waktu-waktu luangnya bersama Ben dikuasai perempuan itu. Hilang sudah percakapan-percakapan gila dua sahabat di warung-warung kopi. Tidak ada lagi Lail dan Ben berdua menyasar bangunan-bangunan tua tersembunyi di sudut-sudut kota hanya untuk mengambil gambar. Kini Ben yang akan selalu pergi kemanapun bersama perempuan beruntung itu. Tanpa Lail.

Esok lusa Ben dan perempuan itu akan menikah, dan undangan makan malam perpisahan antara dua orang sahabat itu begitu mengecewakan hati Lail. Ben dengan cara yang resmi sekaligus terselubung hendak mengusirnya pergi jauh dari hidup mereka. Apalagi setelah Ben bilang undangan spesial itu hanya ada satu. Hanya untuk Lail seorang.

“Maaf Ben, kupikir aku tidak akan datang,” sahut Lail kecewa.

Ben terkejut, tidak menyangka reaksi Lail begini berbeda.

“Aku akan menikah Lail, apakah kamu tidak bahagia sebagai sahabatku?”

“Beginikah caramu bersahabat Ben? Ketika kamu bahagia, kamu malah menghadiahi sahabatmu dengan undangan perpisahan.”

Lail tidak kuasa menyaksikan wajah polos tanpa dosa Ben lagi. Setelah mengungkapkan kekecewannya, Lail berlari masuk kamar. Tidak keluar lagi hingga malam.

***

Apakah Lail cemburu?

Mungkin iya. Sebab Ben lebih duluan menemukan pendamping hidup, sebab Ben memilih perempuan dari antah-berantah yang membuat Ben mau mengucapkan selamat tinggal padanya.

Tapi mungkin juga tidak. Lail bukan tipe perempuan yang jatuh cinta pada sahabatnya. Ia mungkin hanya merasa kehilangan.

Bukan kehilangan Ben.

Tetapi kehilangan terhadap kenangan-kenangannya bersama Ben.

Lail telah banyak merasakan momen bernama perpisahan. Dan perpisahan selalu sanggup membuat dua orang menyesal pernah bertemu dan membangun kisah bersama-sama. Padahal apa susahnya membiarkan? Toh kita hidup di dunia yang serba dinamis. Semua orang bisa datang dan pergi kapanpun dia mau.

Lalu apa susahnya membiarkan Ben pergi, mengetuk pintu kebahagiannya bersama perempuan beruntung itu?

Di luar bulan sedang purnama. Sinarnya bulat sempurna menggantung di atas siluet daun-daun mangga di bingkai jendela. Ben baru saja mengirim pesan. Sahabatnya itu sudah menunggu dengan manis di restoran tempat pertama kali mereka makan malam. Di tepi pantai, di sebalik deru ombak, di bawah sinar bulan. Lail menyukai pantai dan kehadiran Ben malam itu.

Sebagian hati Lail tidak rela jika tempat yang menyimpan kenangan manis itu harus diingatnya juga sebagai tempat kali terakhir mereka bertemu. Lail ingin mengkristalkan tempat itu di dalam kenangannya yang indah-indah tentang Ben. Bukan tentang perpisahannya.

Ayolah Lail, bulan sedang bagus-bagusnya. Aku menunggu.

Itu pesan Ben yang kedua. Lail berusaha tidak peduli.

Wahai, beginikah dasyatnya kenangan? Makhluk tanpa wajah tapi sanggup menciptakan kepedihan tiada tara. Membalikkan peristiwa bahagia di masa lampau menjadi penyebab kesedihan panjang di waktu sekarang. Beginikah jahatnya kenangan? Tanpa ampun membuat Lail tidak bisa merasakan kebahagiaan yang dirasakan sahabatnya.

Lalu apa yang harus ia lakukan sekarang? Membiarkan Ben menunggu untuk kecewa pada akhirnya. Atau merelakan sebagian kecil kenangan manis bersama Ben rusak demi membuat sahabatnya bahagia. Lalu Lail juga akan pergi setelah menjelaskan segalanya.

***

Di langit bulan makin tinggi, angin laut menjelang tengah malam tidak hanya membawa bau asin tetapi juga gigil yang menggigit. Ben nyaris putus asa. Atau kecewa lebih tepatnya. Lelaki itu belum juga mengerti, apa yang membuat seorang sahabat tidak bisa ikut bersimpati atas kebahagiannya?

Padahal Ben yakin tidak ada alasan bagi Lail menolak datang. Segala hal menyangkut makan malam kali ini adalah semua yang disukai Lail. Pantai, bulan, setangkai mawar putih, dan senyumnya.

Ya, Lail pernah bilang ia sangat menyukai senyum Ben.

“Heh, Tuan Kegeeran. Aku nggak pernah ya bilang suka senyum kamu.”

Ben takjub, malu sekaligus senang. Malu sebab ternyata tanpa sadar ia telah menyuarakan pikirannya dan Lail mendengar. Senang, sebab lihatlah Lail yang nyaris membuatnya putus asa menunggu akhirnya berdiri tepat di hadapannya dengan gaun coklat muda dan jepitan bunga yang manis.

“Tapi.. tapi kamu pernah bilang aku jauh lebih ganteng kalau senyum.” Sahut Ben tidak terima.

“Ia, tapi bukan berarti aku suka senyum kamu.” Lail membalas dengan sengit sambil menggeser kursi dan duduk seenaknya.

“Kamu lama banget Lail. Tadi itu satu menit lagi kamu nggak datang, aku pasti sudah pulang. Dan kita berdua selesai.”

Lail tersenyum getir, “di luar macet, Ben.”

Hati Lail kecut pada kata selesai yang disematkan Ben untuk mereka berdua. Begitu mudah menyelesaikan segalanya bagi Ben. Tapi biarlah, toh ini akan menjadi kali terakhir ia bertemu Ben, kali terakhir ia akan makan di tempat ini dengan bulan dan bau laut, dan.. senyum Ben.

Nanti setelah mereka berdua melangkahkan kaki keluar dari restoran maka tidak akan ada langkah untuk kembali masuk. Lail berjanji tidak akan membuat kenangan lagi

  • Semuanya bermula dari kesepakatan. Sepakat untuk menamakan media Kelas Literasi Paradigma Institute, yang bentuknya berupa lembaran, dengan nama Kala. Sejak kelas literasi ini dibuka untuk gelombang kedua, di pertemuan perdana pun sepakat untuk melahirkan media Kala ini. Banyak nama yang diusulkan, tetapi yang disepakati adalah Kala. Sepenggal kata yang diusulkan oleh Rahmat Zainal. Kala, bisa…

  • Pada akhirnya, hanya dua hal; disiplin dan sikap gigih. Biar bagaimanapun jadi penulis harus disiplin. Ini berarti di situ perlu pola, suatu rencana. Agak susah mau sebut disiplin, kalau di situ tidak ada suatu rencana. Penulis, saya kira orang yang punya agenda; dia menghitung, merancang, menetapkan. Dia mengklasifikasi bacaannya. Menulis catatannya. Dan, menyusun tulisannya. Sikap…

  • Pekan ke tujuh, kelas menulis PI agak molor. Hampir dua jam. Kesepakatannya, kelas harus dibuka pukul satu siang. Minggu lalu masih menumpuk beberapa tulisan, makanya perlu tambah waktu. Tapi, kelas dimulai sekira pukul tiga. Kawankawan satu persatu datang. Kelas mulai ramai. Yang buka kelas Heri. Saya, yang diplot jadi ketua kelas memilih bagi tugas. Kebiasaan…

  • Ini pekan yang panjang, terutama Kelas Menulis PI. Sudah jauhjauh hari tulisan diposting, sudah jauh sebelumnya kritik diajukan. FB jadi media, untuk tulisan dapat masukan. Sebelumnya tidak ada macam begitu. Ini hal yang baru. Sudah dua pekan hujan urung berhenti. Langit jadi basah, hitam. Tak sering malah bikin waswas. Apakah kawankawan mau datang, biar pun…

  • Awalnya agak ragu kelas menulis PI tidak jadi digelar. Tibatiba hujan datang. Deras. Tapi, selama berlangsung, kelas PI tidak pernah bolong. Sudah hampir tujuh bulan kelas dibuka. Sekarang, yang diuji konsisten. Juga disiplin. Semangat bisa datang, bisa lapuk, bahkan hilang. Kali ini biar bagaimana pun kelas tak boleh gagal. Pasca hujan reda, gegas berangkat. Semangat…


Kala Literasi

Jl. Pa’ Bentengang No.6, RT.01/RW.08, Mangasa Kec. Tamalate, Kota Makassar, Sulawesi Selatan 90221