MIWF Mencari Definisi

Di abad sebelum masehi, puisi dan seni pernah dianggap minor. Dipandang sesuatu yang tidak mampu mengungkapkan realitas. Ilmu yang tak cukup menyampaikan kebenaran secara bulat dan utuh. Seni dan sastra (puisi) terlalu penuh metaforis, sedangkan kebenaran dan realitas harus diungkapkan secara gamblang. Sehingga satu-satunya yang paling absah menyingkap kebenaran adalah filsafat. Satu-satunya ilmu yang menampilkan realitas dengan jernih, vulgar, dan jelas yakni filsafat. Di era sebelum masehi ini, Platon merupakan filosof yang terdepan berpendapat demikian. Platon menjadikan filsafat sebagai narasi tunggal ihwal penyingkapan dan pengungkapan realitas. Platon secara tidak langsung mencipta tragedi bagi sastra (puisi) dan seni. Meminggirkannya pada sudut yang tak berarti apa-apa bagi kebenaran. Selain hanya untuk ekspresi subyektif semata.

Dalam lintasan sejarah selanjutnya, ribuan abad setelah Platon. Pada abad yang kemudian dikenal sebagai modern, pun sastra dan seni menjadi minor. Lagi-lagi sastra dan seni tak punya metode-metode yang disebut ilmiah dan berlaku secara universal dalam mengungkapkan realitas dan kebenaran. Sastra dan seni terlalu subyektif dan hal subyektif sungguh bertentangan dengan kaidah ilmiah. Yang ilmiah tentunya obyektif—tanpa pelibatan interes personal di dalamanya. Yang ilmiah harus sesuai fakta.  Empirisme-Positivisme menjadi narasi tunggal menggatikan filsafat menghakimi sastra (puisi) dan seni. Menempatkan sastra dan seni bukanlah ilmu. Ini tragedi selanjutnya bagi sastra dan seni setelah apa yang dilakukan oleh Platon.

Ketika dunia modern didominasi narasi tunggal positivisme ini, kita beruntung punya Martin Heidegger yang “memunculkan” sastra (puisi). Baginya, sastra bisa menjadi medium ekspresi kebenaran. Barangkali Heidegger sadar betul apa-apa yang menimpa sastra. Walau dirinya bergelut dengan filsafat, tapi ia tidak menempu jalan seperti Platon mengenai sastra. Heidegger mengambil jalur lain. Ia sepertinya tak mau mengulangi kesalahan-kesalahan sebelumnya. Tak mau menciptakan tragedi selanjutnya. Heidegger sedang berjuang menempatkan disiplin ilmu yang lain secara sejajar—tanpa ada yang unggul satu dengan yang lainnya.

***

Di Makassar, 17-20 Mei 2016 telah dihelat sebuah pesta penulis bertaraf internasional. Tempat bersejarah Fort Rotterdam menjadi lokasi kemeriahan para penulis ini. Berbagai panggung diskusi disuguhkan bagi penikmat literasi. Kegiatan ini bisa menjadi penanda sebuah gairah literasi Makassar. Gairah literasi Indonesia. Ini juga mungkin upaya mengangkat keterpurukan literasi Indonesia. Kita tahu bersama, bahwa Indonesia menempati urutan kedua dari buncit literasi dunia. Kehadiran Makassar International Writers Festival (MIWF) barangkali bagi penggagasnya Yulianti Farid dan mungkin bagi kita semua, ini adalah tindakan nyata untuk berbuat bagi kemajuan literasi Indonesia. Inilah upaya untuk mensejajarkan Indonesia (Makassar) dengan dunia lain.

Di pembukaan MIWF edisi ketujuh kali ini, saya dengan seksama menyimak pidato Lily Yulianti Farid. Saya mencoba menangkap subtantif tema MIWF tahun ini. Di pidato Yulianti, ia banyak berbicara kebinekaan. Katanya, Indonesia bisa bertahan hingga sekarang ini, karena kita merawat kebinekaan. Meyakini bahwa kita beragam. Kira-kira melalui literasi, kebinekaan (keragaman) akan tetap lestari. Itu pesan subtantif saya tangkap di MIWF kali ini. Sebuah pesan yang sungguh mulia dan patut diapresiasi. Patut untuk kita perjuangkan sama-sama. Tapi, pada kemeriahan dan ide-ide MIWF, tetap kita perlu menghadirkan catatan. Memberi pertanyaan sebagai cara untuk melihat MIWF dari sudut yang lain. Tanya itu, mungkin saja seperti ini. Benarkah MIWF mendorong keragaman—Khususnya keragaman bagi genre penulis? Writers yang dimaksud oleh MIWF seperti apa?

Sejumlah pertanyaan di atas tentunya tidak terlalu sulit untuk kita jawab, bila kita mengamati dengan seksama MIWF. Sejauh pengamatan saya (mungkin saja ada yang luput), MIWF umumnya hanya memberi panggung para pelakon sastra dan seni. Dengan demikian, kita akan menemukan sebuah definisi writers yang dimaksud dalam MIWF yakni penulis sastra. Lalu bagaimana para penulis di luar sastra? Sebut saja penulis filsafat, penulis reportase penelitian, opini dll? Oleh karena itu, bagi saya MIWF telah mencipta sebuah definisi sempit tentang penulis. MIWF secara tidak langsung menciptakan frame bahwa penulis itu yang hanya bergelut pada bidang sastra semata.

Saya tidak tahu persis mengapa penggagas MIWF hanya memberi panggung pada genre tertentu saja. Mudah-mudahan di alam bawah sadar para penggagasnya tak bermaksud meminorkan yang lain. Sebab jika demikian, kita akan menemukan sebuah tragedi baru yang bentuknya sama dengan apa yang lalu. Sama di zaman Platon dan Heidegger. Namun yang berbeda hanya pelakunya. Kini para lakon sastra dan seni sebagai aktornya. Kita berharap bahwa di alam bawah sadar para pegiat di MIWF, tak menjadikan sastra dan seni menjadi satu-satunya kebudayaan literasi. Menjadi satu-satunya medium mengungkap realitas dan kebenaran. Tentunya kita semua berharap, mudah-mudahan MIWF tidak menjadi pesta otoritatif khususnya di Makassar dalam hal karya sastra dan sastrawan. Bahwa yang layak disebut karya sastra dan sastrawan adalah orang-orang dan karya-karya mengambil bagian di MIWF.

Kemudian pengamatan saya (tentunya subyektif) selanjutnya mengenai MIWF, yakni ia tak mengangkat literasi tentang petani, buruh dan nelayan yang kita tahu di negeri ini banyak mengalami ketidakadilan. Panggung itu tidak kita jumpai. Padahal bagi saya hal tersebut perlu diwartakan kebanyak orang dan melalui MIWF bisa menjadi mediumnya. Karena demikian, kita bisa mengajukan pertanyaan, apakah MIWF punya semangat emansipatoris? Apakah MIWF punya semangat kemanusiaan? Lalu semangat kemanusiaan seperti apa? Jangan-jangan MIWF hanya pesta tiap tahunnya untuk menciptakan selebritis penulis tanpa keberpihakan yang jelas? Jangan-jangan MIWF adalah sebuah pesta penulis yang terbingkai dalam “bebas nilai”—sastra untuk sastra dan seni untuk seni? Lalu dengan riang kita menyebut telah bekerja untuk peradaban. Peradaban apa? Untuk siapa? Pertanyaan-pertanyaan ini penting untuk diajukan. Urgen untuk memahami arah perjuangan MIWF sesungguhnya. Menyingkap yang terdalam tanpa harus terlena dengan gegap gempita pesta puisi dan nyanyian. Karena semua itu, bisa saja tak punya sumbangsih apa-apa pada kemanusiaan dan peradaban. Semoga tidak demikian.

  • (Suatu Tinjauan Sosiologi Kekerasan) Kawasan Timur Tengah kembali memanas pasca kelompok Hamas Palestina menggencarkan serangan mendadak ke Israel tidak jauh di perbatasan Gaza, Sabtu (7/10/23) dini hari waktu setempat. Akhir pekan yang berubah mencekam, karena serangan ribuan nuklir itu tepat ditujukan ke Tel Aviv dan Yerusalem, menembus sistem pertahanan Iron Dome menghancurkan banyak bangunan. Frank…

  • Aktivitas manusia di era sosial media adalah produksi dan distribusi konten. Konten quote-quote adalah konten yang paling banyak berseliweran. Quotation adalah sebuah kalimat atau syair pendek yang disampaikan dalam rangka memberi makna ataupun mengobati perasaan derita dalam hidup. Penderitaan divisualisasikan dan didistribusikan melalui quote pada jejaring sosial media dalam upaya agar setiap orang diharapkan dapat…

  • “Saya tidak memikirkan representasi kecantikan yang lebih baik daripada seseorang yang tidak takut menjadi dirinya sendiri.” Pernyataan Emma Stone ini memberi sugesti pada saya betapa cantiknya seorang perempuan yang dikisahkan oleh dosen-dosen filsafat, dan yang digambarkan dalam film Agora yang pernah saya tonton. Sekitar 8 Maret 415 Masehi, kota Alexandria (Mesir) telah menjadi saksi bisu…

  • “Cita-cita kamu apa?” Ini adalah sepenggal pertanyaan yang begitu membosankan bagiku. Aku masih, dan selalu ingat. Betapa orang-orang sering mengajukannya kala aku masih di Taman Kanak-Kanak. Mulai bapak dan ibu. Tante dan om. Nenek dan kakek. Juga sepupu yang usianya terlampau jauh di atasku. Di sekolah pun demikian. Para guru kerap melontarkan deretan kalimat ini.…

  • —mengenang 3 tahun kepergian Sapardi Djoko Damono SEJAK baheula manusia dikepung puisi. Sekira tahun 1.700 Sebelum Masehi di India, puisi sudah tengger di naskah kuno Veda dan Gathas. Puisi adalah ekspresi artistik mengenai pesona diri dan hidup. Ibarat bakul puisi mewadahi “benak” penyair, yang diperah dari peng-alam-an: imajinatif, emosional, dan intelektual—peng-alam-an ini dipahat penyair pada…


Kala Literasi

Jl. Pa’ Bentengang No.6, RT.01/RW.08, Mangasa Kec. Tamalate, Kota Makassar, Sulawesi Selatan 90221