“…bolehkah kami bertanya, Kapan kampus kami lebih baik dari kandang anjing? lebih baik dari pembuangan sampah? Tidak kebanjiran ketika hujan, dan tidak berdebu ketika kemarau? Tidak kepanasan ketika kuliah? Kapan biaya kuliah kami murah? Kenapa kami harus bayar mahal, padahal fasilitas dan kualitasnya sangat brengsek?”
Boleh dibilang, tulisan ini hanyalah upaya reflektif atau reinpretasi untuk melakukan pembacaan ulang terhadap masalah-masalah pendidikan, mudah-mudahan bisa dijadikan sebagai basis wacana dalam melakukan gerakan-gerakan sosial yang lebih nyata. Karena, di antara segudang persoalan, kita harus tetap optimis dan yakin bahwa hanya dengan pendidikanlah bangsa ini akan berdikari di dalam hal ekonomi, berkepribadian di ranah kebudayaan dan berdaulat di bidang politik. Sebab, sudah terlalu lama bangsa ini menganaktirikan pendidikan dalam proses pembangunan nasional. Politik sebagai panglima dahulu bergaung di era Orde Lama, Ekonomi sebagai panglima berjaya di era Orde Baru, maka kini di era reformasi sudah saatnya bangsa Indonesia menjadikan pendidikan sebagai panglima, sesuai amanat konstitusi kita yang menjadi dasar tujuan bernegara yakni “Mencerdaskan Kehidupan Berbangsa”.
Salah satu potret dunia pendidikan yang belakangan ini kerap menggelisahkan adalah mahalnya biaya pendidikan. Padahal di saat yang sama, jumlah orang miskin semakin bertambah, di negeri ini kemiskinan dan kemewahan hidup berdampingan, parahnya karena itu terjadi di sekitar kantor-kantor pemerintahan, institusi pendidikan dan rumah-rumah ibadah. Seolah-olah hal tersebut alamiah saja. Perhatikan saja, jurang kaya-miskin makin menganga lebar. Mereka yang dimiskinkan oleh berbagai kebijakan dan struktur negara, akhirnya harus pula dilindas oleh sistem pendidikan. Hal itu berarti, langsung tidak langsung, pengelola negara mengkhianati rakyatnya, si kaya menghisap si miskin, kaum terpelajar membodohi orang-orang yang tidak mampu mengenyam pendidikan.
Sudah lama dunia pendidikan (kampus) kita dikritik sebagai tempat yang kurang nyaman bagi peserta didik (mahasiswa) dalam mengeksplorasi dan menumbuhkembangkan potensi dirinya. Kampus tak ubahnya kerangkeng penjara yang menindas para mahasiswa. Mereka harus menjadi sosok yang serba penurut, patuh, dan taat pada komando. Imbasnya, mereka menjadi sosok mekanis yang kehilangan sikap kreatif, kritis dan mandiri. Mereka belum terbebas sepenuhnya dari suasana keterpasungan dan penindasan.
Yang lebih mencemaskan lagi, institusi pendidikan (kampus) dinilai hanya menjadi milik mereka yang kaya. Sedang mereka yang miskin—finansial dan pengetahuan— hanya bisa bermimpi dan terus bermimpi untuk mengenyam pendidikan tinggi. Usai menuntut ilmu, mereka yang kaya tersebut menjadi penindas-penindas baru sebagai efek domino dari proses dan sistem yang selama ini mereka dapatkan di institusi pendidikan. Sungguh sangat beralasan jika banyak pengamat pendidikan yang menilai bahwa dunia pendidikan kita selama ini hanya melahirkan kaum penindas. Sementara itu, anak-anak dari kalangan masyarakat kelas bawah yang tidak memiliki akses terhadap dunia pendidikan hanya akan menjadi kacung dan kaum tertindas. Lihat saja, hari ke hari, pendidikan makin menjadi barang mewah. Boleh dibilang pendidikan harganya seperti barang kebutuhan tersier saja, mahal sungguh-sungguh mahal. Pastinya, hanya mereka yang berkantong tebal yang bisa mengakses pendidikan negeri. Sementara bagi rakyat miskin hanya dapat merajut mimpi saja.
Faktanya dapat kita temukan di manapun, sebut saja misalnya, di tahun 2016 Universitas Negeri Mahal Makassar (UNM) membebankan mahasiswa baru dengan biaya kuliah (Uang Kuliah Tunggal) dari 500.000 hingga 7.500.000/semesternya dan ditahun ini kembali naik sampai 8.500.000. Parahnya, karena jumlah mahasiswa yang berada pada golongan I dan II dengan kisaran biaya 500.000-1.500.000 sangat sedikit bahkan di bawah 5% untuk setiap prodi dari total keseluruhan mahasiswa. Sedang yang berada di golongan IV sampai VIII justru sangat banyak, menumpuk. Ini baru UNM yang statusnya masih SATKER bagaimana dengan kampus-kampus yang sudah berstatus BLU apalagi PTN BH. Bisa dibayangkan bagaimana brengseknya harga yang dibayarkan.
Kini tak asing lagi di telinga kita keluh-kesah dari para mahasiswa dan orangtua mahasiswa atas kebijakan UKT. Karena apa yang di dapatkan mulai dari sarana-prasarana, kualitas pendidik, sistem pembelajaran dll, tidak sesuai dengan apa yang mereka harapkan dari besaran UKT yang dibayarkan. Banyak pembenaran yang dilontarkan pihak perguruan tinggi untuk mengelabui masyarakat bahwa setelah diberlakukan UKT maka tidak ada lagi pungutan yang akan ditanggung oleh mahasiswa, sebagaimana yang diutarakan oleh Mendikbud pada saat itu, Muhammad Nuh saat sosialisasi penerapan sistem UKT. Padahal itu hanya retorika sesat, karena tidak sesuai dengan realitas yang terjadi. Contohnya di Universitas Negeri Makasar dan ini merata dihampir semua fakultas, banyak mahasiswa utamanya mahasiswa baru yang mengelukan fasilitas yang didapatkan, mulai dari kursi yang sudah tidak layak pakai—mengingat usianya yang rata-rata lebih tua dari usia mahasiswa—, almamater yang harus beli sendiri dengan kualitas rendah tapi harganya sangat-sangat tinggi, penelitian yang harus dibayar, fasilitas kampus yang harus dipungut tarif ketika digunakan, ruangan yang sempit, panas karena tidak berbanding dengan rasio jumlah mahasiswa, dan masih banyak lagi yang dikeluhkan mahasiswa. Padahal, di UNM rata-rata biaya kuliah mahasiswa melonjak drastis setelah pemberlakuan sistem UKT. Yang harusnya biaya kuliah makin murah dan fasilitasnya makin meningkat.
Disinyalir bahwa biaya UKT lebih tinggi dibanding perguruan tinggi swasta. Kemudian di swasta biaya kuliah bisa dicicil bahkan di kampus-kampus swasta fasilitas dan kualitas pengajarnya lebih baik dari kampus “plat merah”. Inilah dasar pijakan mengapa sistem UKT dipersoalkan, karena di dalamnya ada spirit komersialisasi dengan kemasan baru, kedoknya saja yang seolah-olah manusiawi padahal nyatanya membinasakan.
Intinya, dalam sistem UKT, logika subsidi silang hanyalah ilusi, tidak lain hanyalah proyek untuk menstimulus negara lepas tanggungjawab dari pengelolaan pendidikan. Dimana, peran dan tanggung jawab pemerintah semakin jauh dari pendidikan dan hanya sebatas pemberi cap stempel saja. Inilah bentuk privatisasi pendidikan yang secara perlahan-lahan mendorong tata kelola pendidikan menjadi perusahaan, dengan orientasi pada akumulasi profit. Akibatnya, pendidikan tidak lagi mencerdaskan kehidupan bangsa tetapi dijadikan sebagai industri jasa atau ladang eksploitasi bagi kelas-kelas borjuasi.
Sampai saat ini potret muram pendidikan tinggi menjadi kegelisahan banyak orang, institusi pendidikan dengan amat mudah diperalat untuk melayani kepentingan kaum elit semata. Pendidikan lebih sebagai tempat untuk akumulasi status quo, bukan sebagai agen dan pelaku perubahan dalam kehidupan masyarakat. Tengok saja kampus-kampus di kota-kota besar pada musim pendaftaran mahasiswa baru, hanya kelas menengah ke ataslah yang bisa masuk dengan mudah. Dengan biaya yang mahal dan persyaratan yang rumit yakinlah pendidikan bagi kaum miskin tidak akan pernah terwujud. Padahal, dalam konteks ini, pendidikan seharusnya bekerja membantu kelahiran manusia-manusia dewasa, kreatif, kritis dan merdeka sehingga kelak dengan bebas dan sadar membantu melakukan transformasi di dalam masyarakat.
Terakhir, sebagai kerja humanisasi harusnya pendidikan dapat diakses oleh semua orang. Tanpa memandang status, entah ia anak PNS, anak petani, anak nelayan, anak buruh, anak miskin kota bahkan anak pengangguran sekalipun. Negara harus ambil peran, memastikan bahwa semua orang dapat mengakses pendidikan yang berkualitas dengan murah bahkan gratis.