Penikmat Ekspresi

“Jadi, apa yang membuatmu jatuh cinta kepadaku?” tanyamu, membuka cerita.

“Ekspresi.”

“Kau gila!” ucapmu, menyambut jawaban singkatku barusan. Aku tersenyum mendengarnya, aku suka caramu menjawab ucapanku, karena itulah aku menikmatinya, menikmati ekspresimu.

“Yah, aku jatuh cinta kepadamu pada pandangan yang ke-empat,” ucapku.

“Maksudmu?” lagi-lagi kau menyambut ucapanku barusan.

“Pada dasarnya, jatuh pada pandangan pertama benar-benar tidak pernah ada, kelakukan nakal penyair itulah yang membuat paradigma kita menjadi satu, tatapan pertama adalah ketidaksengajaan yang dibuat oleh keadaan, tatapan kedua karena aku mulai penasaran dari ketidaksengajaanku sendiri, tatapan ketiga aku mulai suka, namun, bukan berarti aku jatuh cinta, jatuh cinta tidak semudah itu, ada tatapan keempat yang tidak dilukiskan dalam bilangan, ia imaji yang bersetubuh dengan waktu, menggilai rasa yang dengan cepat menyerbak ke frasa yang lain, dan aku tidak sadar dibuatnya.”

“Ya, jatuh cinta tidak semudah itu, butuh proses,” tambahku.

“Berarti jatuh cintamu adalah soal tatapan?” kau sepertinya tertarik dengan cara pandang yang aku rancang sendiri, aku kembali tersenyum ke arahmu, mengangguk.

Kali ini kau terdiam, aku kembali memperhatikan ekspresi diammu, kau nampak memikirkan sesuatu, tapi pikiranku tidak ingin menembus pikiranmu, bagiku merekam ekspresimu lebih menyenangkan daripada merekam caramu berpikir.

Merekam cara berpikir bisa aku dapatkan dari jutaan bahkan miliaran makhluk di jagad raya, berpikir tentang cara bertahan hidup, belajar, mencerna masalah, cara menyelesaikannya, itu sangat mudah bagiku.

Tapi, aku butuh tantangan, yaitu mencari hal yang jarang aku temukan, ialah merekam ekspresimu, yang tiada duanya dengan makhluk lain di jagad raya ini, itulah yang aku sebut menyenangkan.

“Berarti kau sudah tidak suka dengan ekspresimu sendiri?” ucapanmu membuyarkan lamunanku.

“Hmm… aku manusia tanpa ekspresi,” jawabku.

“Aku adalah manusia yang senang memainkan lakon orang lain ke dalam tubuhku, termasuk ekspresi, tidak tahu diri sendiri, senangnya hanya bermain, tanpa harus mengetahui bahwa saya tidak sedang berada dalam diri saya sendiri, melainkan pergi, selalu pergi sampai lupa caranya pulang, dan kau datang merazia semua lakon dan ekspresi dalam diriku, mendobrak alam bawah sadarku, dan kau tahu dengan cara apa kau melakukan itu semua?”

“Ekspresi, bukan?” ucapmu menebak, tawaku meledak, kau akhirnya tersenyum, aku kembali menangkap ekspresi senyummu.

Hanya butuh beberapa menit aku merasakan fantasi itu lagi, fantasi yang menyenangkan, itu karena kau dan ekspresimu.

Aku menyelesaikan tawaku, kau sesekali tersenyum lagi ke arahku, aku menangkapnya lagi.

“Tapi, bagaimana jika akhirnya semua ekspresi yang ada dalam diriku hilang, lenyap dan tak tersisa? Apakah kau masih tetap jatuh cinta kepadaku?” kau sedikit mengagetkanku dengan pertanyaanmu barusan.

Aku diam, kau menunggu jawabanku, ekspresimu untuk kesekian kalinya terekam lagi dan lagi, “Aura yang membawa ekspresimu kemari, Qis, siapapun yang hendak membawa lari auramu, ekspresi tentang dirimu tidak akan pernah hilang, ekspresi tetap hidup, walau auramu mati, seberapa besar kau menunjukkan bahwa kau sedang bahagia, aku bisa saja menebak dan tahu kalau kau sedang merekayasa semuanya.”

Kau tersenyum mendengarnya, untuk kesekian kalinya aku kembali merekamnya saat waktu seolah berjalan lambat, nyatanya dia berjalan cepat tak terduga, tapi, aku dan kau tidak perlu lagi memperdebatkan masalah seperti itu, karena kau telah merekam ekspresiku dan aku telah merekam ekspresimu untuk dibawa pulang, dan kita berdua telah menjadi penikmat ekspresi.

  • Dalam satu dasawarsa terakhir, Kabupaten Bantaeng telah tampil sebagai barometer gerakan literasi, khususnya di Provinsi Sulawesi Selatan. Ketika kata “literasi” belum sepopuler hari-hari ini, pegiat literasi di Bantaeng sudah bergerilya menyebar benih gerakan literasi yang kini sudah tumbuh subur. Langkah-langkah gerilyanya ketika itu berupa pelatihan kepenulisan, diskusi buku, dan lapak-lapak baca. Di kemudian hari, langkah…

  • Adelio membuka mata ketika menyadari ombak Perairan Cempedak mengombang-ambing tubuhnya. Ia melihat ke bawah dan mendapati kedalaman laut yang tak terhingga. Ia mendongak ke langit, semburat cahaya matahari baru saja hendak menyapanya dari ufuk timur. Ia baru saja menyadari bahwa dirinya telah mengapung semalaman di tengah laut setelah mendapati sebagian kulitnya yang mulai mengeriput. Ia…

  • Buku terbaru Sulhan Yusuf, Gemuruh Literasi: Sederet Narasi dari Butta Toa boleh dibilang sebagai pembuktian, jika usia bukanlah aral melintang bagi seseorang untuk produktif dalam berkarya. Tapi, insight yang diwedarkan Gemuruh Literasi sebenarnya lebih dari itu. Buku ini adalah jawaban bagi rasa penasaran sebagian orang yang hendak mengetahui gerakan literasi Sulhan di Bantaeng. Kerja-kerja kultural yang…

  • Judul tulisan ini saya pinjam dari ungkapan Profesor Cecep Darmawan—dosen saya ketika studi magister beberapa waktu lalu. Beliau guru besar yang egaliter dan seringkali tampil di publik (media dan forum) untuk berbagi gagasan dan pencerahan. Seingat saya ungkapan itu beliau sampaikan saat kami kuliah “Pendidikan Politik Generasi Muda”. Saya terkesan dengan ungkapan itu, selain indah…

  • Membicarakan suatu topik, dalam hal ini filsafat Islam, maka rasa-rasanya kurang afdal apabila tidak memasukkan nama al-Ghazali di dalamnya. Akan tetapi bila seseorang mau menempatkan al-Ghazali dalam sejarah filsafat Islam, tentu ia harus membuat beberapa catatan. Poin utamanya bahwa al-Ghazali tidak menganggap dirinya filosof dan tidak suka dianggap sebagai seorang filosof. Ini tak hanya menjelaskan…


Kala Literasi

Jl. Pa’ Bentengang No.6, RT.01/RW.08, Mangasa Kec. Tamalate, Kota Makassar, Sulawesi Selatan 90221