Who Will Cry When You Die?

“inna lillahi wa inna ilaihi rajiun”  (QS:2 ayat 156)

“Iye, saya siap. Kapan dan di mana tempat acaranya?”  Bak ikan yang langsung menyambar umpan. Itulah jawaban singkat, serta pertanyaan balik saya ajukan, pada salah seorang mahasiswa yang meminta kesediaan saya, guna memberikan tausiah atas berpulangnya pada keabadian, dua orang temannya, walau dengan sebab dan waktu yang berbeda. Satu karena sakit, satunya lagi gara-gara kecelakaan. Namun, rangkaian takziahnya disatukan.

Sependek ingatan saya, barulah kali ini bersedia memberikan tausiah, pada takziah atas wafatnya seseorang. Biasanya saya langsung menolak. Apa pasalnya? Bukan karena saya takut pada kematian, dan tidak juga rendahnya tarif, yang bahkan kadang gratis kalau aktivis mahasiswa yang minta. Tapi, sekotahnya disebabkan oleh ketidakberdayaan saya, memberikan ceramah di hadapan keluarga yang berduka. Tak sanggup membikin pendengar tertawa. Kurang mampu membuat hadirin terhibur. Seperti pada umumnya para penceramah, yang tampil semirip lawakan, paling tidak, laiknya stand up comedy.

Kesediaan saya, berlapik dua hal. Pertama, karena yang minta adalah sekaum mahasiswa, yang tergabung dalam lembaga intra kampus. Pun, mahasiswa di kampus yang meminta ini, saya adalah alumninya. Jadi, amat sulit menolak, tatkala diajak oleh sekelompok aktivis. Inilah cara mudah dan murah, merawat spirit kemudaan dan kejuangan. Kedua, saya lagi melahap satu buku, yang ada hubung kaitnya dengan kematian. Judulnya, Who Will Cry When You Die? Karangan penulis bestseller, Robin Sharma. Tapi bukan isi buku ini yang bakal saya paparkan, karena memang bukan acara bedah buku. Tapi, judulnya yang memantik perbincangan, siapa yang akan menangis kala dikau mati?

Bagai seorang ustaz yang fasih berceramah, saya pun memulai tausiah. Mula sekali, saya kutipkan ayat Al-Qur’an, Surah Al-Baqarah ayat 155-156, yang penghujung ayatnya berbunyi, “inna lillahi wa inna ilaihi rajiun”, artinya, “sesungguhnya kami milik Allah dan kepadaNyalah kami kembali”. Lalu, saya babarkan tiga momen penting dalam siklus kehidupan. Lahir, kawin, dan mati. Ketiganya, merupakan tahapan perjalanan, yang sedapat mungkin, mencerminkan perjalanan dari Tuhan, bersama Tuhan, dan kembali ke Tuhan. Bukankah ketiga tahapan hidup dan kehidupan, seluruh kreativitas kebudayaan umat manusia tertumpahkan?

Ajaibnya, setiap tahapan kehidupan itu, berkonsekuensi pada tahapan berikutnya. Dan, tidaklah mengabadi dalam setiap tahapan. Sebelum lahir, maka tahapannya ada di alam rahim, yang memangsa waktu kurang lebih sembilan bulan. Semua proses kerahiman, tepatnya, masa kehamilan, sekotahnya diperuntukkan buat kesiapan menjalani di alam berikutnya, alam dunia. Maka, segala prilaku terhadap kehamilan, akan menentukan kesuksesan kesiapan melata di bumi, yang sementara hangat diperdebatkan bulat dan datarnya. Dan, wujud nyata dari berhasilnya kerahiman, manakala si bayi lahir, dan seolah berteriak merdeka, menangis. Orang sekitarnya menyambut dengan penuh tawa, senyum bahagia.

Agar kehidupan berlanjut, dan peradaban umat manusia berkesinambungan, maka dibutuhkanlah perkawinan. Momen kawin-mawin, adalah satu-satunya sarana seluruh makluk hidup memelihara kelangsungan hidupnya. Artinya, bentuk nyata dari sumbangsih setiap orang, atas tetap beradanya umat manusia di bumi, dengan jalan perkawinan. Maksudnya, orang yang enggan berketurunan, sama saja menjadi ancaman serius bagi kemanusiaan, terutama bila menjadi perilaku massal dan massif. Karenanya, manusia berusaha semaksimal mungkin, menyelenggarakan perkawinan, dengan mengatur kelahiran, agar terjadi keseimbangan dalam memelihara keberlangsungan peradaban umat manusia. Dan, di momen perkawinan, yang bakal memungkinkan adanya kelahiran, tawa dan tangis bersetubuh, haru dan bahagia bersatu.

Kemudian, tibalah pada kematian, yang sudah pasti menjadi pintu menuju alam berikutnya. Seperti halnya di alam rahim, masa kehamilan, yang kesemua aktivitasnya diperuntukkan agar sukses melata di bumi, maka di kemelataan hidup di dunia ini, semestinya dijalani buat mempersiapkan kesuksesan di tahapan perjalanan berikutnya, alam akhir, akhirat. Semua perilaku di alam dunia, yang fana ini, punya konsekuensi pada alam berikutnya. Pandangan semisal ini, tidak memisahkan antara urusan dunia dan perkara akhirat. Sekotah aktivitas duniawi, sekaligus kegiatan ukhrawi. Memisahkan keduanya, sama persis memisahkan alam rahim dan alam dunia. Dan, wujud ideal, dari kemantapan melata di bumi, tatkala kematian menjemput, orang yang mati tersenyum, sementara orang sekitar yang ditinggal menangis. Jadi, benarlah Robin, siapa yang akan menangis kala dikau mati?

Singkatnya,  tahapan perjalanan, dari Tuhan dan kembali ke Tuhan, berupa lahir, kawin, dan mati adalah satu kesatuan paket. Bagai paket traveling. Pada ketiganyalah, energi kebudayaan, pada setiap kaum memaksimalkan potensi budayanya, menghadapi ketiga momen penting perjalanan hidup dan kehidupan. Bagaimana berperilaku saat kehamilan, lalu menyambut kelahiran. Bagaimana perkawinan dilangsungkan agar hidup dan kehidupan berlanjut. Dan, bagaimana mengolah kematian sebagai arena tempat menyeberang ke kehidupan berikutnya.

Bila kelahiran terjadi, maka bayi menangis, dan orang banyak tersenyum, berbahagia. Jika perkawinan berlangsung, pasangan pengantin beriang, penghadir tertawa, bergembira. Kalau kematian menjemput, si mati tersenyum, pelayat menangis, bersedih. Tersenyum bahagia, tertawa gembira, dan menangis bersedih, adalah terminal-terminal perjalanan dari asal menuju muasal.

Tetiba saja waktu sudah sampai pada pucuk persamuhan. Acara tausiah saya akhiri. Oleh moderator saya diminta berdoa, tapi saya menolak. Soalnya, perkara doa akhir-akhir ini menjadi arena perlagaan kepentingan. Takutnya, doa yang saya maksudkan, tidak dimaksudkan sebagaimana mestinya. Sebab, celakanya, doa tidak bisa diinterupsi. Paling tinggi tingkat protesnya, tak mengaminkannya. Apatahlagi, sehabis berdoa, saya disoraki dengan tepuk tangan. Jadi, teman si Almarhumlah yang berdoa, saya mengaminkannya. Eh…, di penghujung perhelatan, jelang pulang, seorang mahasiswa menjabat tangan saya, dilapisi amplop. Rupanya, kali ini ndak gratis.

 


sumber gambar: menatahidup.com

  • Serupa Kemarau Seperti menyaksikan burung burung melintas di udara Sudah lama semenjak kita tak lagi bersua Pada malam malam yang panjang Dan doa yang tak lagi kita rapal Diantara hari yang buruk Aku sibuk mengulang percakapan kita Menanti nanti lonceng berbunyi Dalam ruangan yang menjemputmu pergi Serupa kemarau membunuh dengan hati hati sekali Menaruh dendam…

  • Seorang anak perempuan jadi korban kebodohan orangtuanya karena lebih memercayai halusinasi yang diciptakan kepalanya, daripada kenyataan bahwa yang ia lakukan adalah satu jenis kekerasan yang sebenarnya mudah dicerna akal sehat. Sang ibu bersikeras mencongkel bola mata anaknya menganggap si buah hati sedang kesurupan setan jahat. Itu disebut kebodohan karena ia melihat mata sang anak seperti…

  • Surat Kartini kepada Dr. Adriani (24 September 1902) Benarkah gerangan bahwa perempuan itu baru sempurna rasa sanubarinya, baru sempurna berkembang, hanya jika ia sudah kawin? Karena kemuliaan perempuan yang semurninya dan seindahnya adalah menjadi ibu? Tetapi mestilah perempuan beranak dahulu, maka baru boleh menjadi ibu menurut arti perkataan itu yang seharusnya, yakni makhluk yang semata-mata…

  • Seseorang mengatakan isu childfree adalah agenda kaum syiah, membuat seseorang mengomentarinya bahwa itu sebenarnya agenda golongan kiri, yang memang dikenal liberal. Si pencipta tweet menimpali, si pengomentar salah, justru kaum kiri hanya mendompleng isu dimaksud. Kaum syiah-lah sumber isu ini menjadi trend pembicaraan di generasi milenial belakangan, sehingga mendorong satu dua artis yang beralih menjadi…

  • Sebenarnya saya adalah salah satu orang yang tidak mau –bukan tidak suka, menonton drama korea. Menurut saya, menonton drama korea membutuhkan effort yang cukup menguras tenaga. Selain episodenya yang sangat panjang, berkisar 15 sampai 20 episode, alur ceritanya pun tak jarang memainkan emosi. Dalam satu judul drama korea saja, fluktuasi rasa terkadang sangat sulit untuk…


Kala Literasi

Jl. Pa’ Bentengang No.6, RT.01/RW.08, Mangasa Kec. Tamalate, Kota Makassar, Sulawesi Selatan 90221