Di suatu sore aku berjalan di koridor sebuah pertokoan yang panjang. Langkahku sedikit pelan tak seperti sediakala lagi. Seorang perempuan muda menyalibku dari sisi kanan dengan langkah tegap dan cepat. Aku berusaha mengikuti ritme kecepatannya namun rupanya tak dapat kucapai padahal semangatku masih buncah namun cepat kusadari bila usiaku tak muda lagi. Ia telah mulai memasuki usia senja.
Perempuan muda itu nampak sangat energik melampaui langkahku dengan cepat. Ia berpakaian uniform sebuah resto cepat saji. Aku membatin, mungkin langkah cepatnya disebabkan oleh waktu yang berkejaran mengejar-ngejarnya karena tuntutan pekerjaan atawa ia hendak menunai sebuah janji di kediamannya. Ataukah mungkin juga hal itu telah menjadi gaya hidup yang serba cepat mempengaruhi style-nya mengayun langkah-langkah dalam mengarungi hidupnya.
Sepanjang langkahku di koridor itu renungku jauh mengembara ke masa lampau dan akan datang. Mencoba menarik sebuah garis jejak-jejak kehidupan yang bersiklus alamiah bahwa pada diri seorang manusia mengalami proses penuaan yang berarti bahwa kala proses itu bergulir maka menjadi niscaya jasad atawa tubuh seseorang mengalami siklus menurun yang menggerogoti pisiknya.
Di kekinian oleh rona gemerlap dunia kerap usia tak tereja tergilas zaman di roda-roda pedati yang meninabobokkan. Hingga seorang yang mulai renta pun lupa merangkai bekal untuk hidup setelah hari ini dan setelahnya kemudian. Dikiranya hidup di alam fana ini adalah abadi dan tak bersudah. Walaupun sesungguhnya pada umumnya kita mengerti dan meyakini bahwa setelah kehidupan di semesta fana ini akan ada kehidupan selanjutnya yang mesti dipertanggungjawabkan.
Karenanya, jejak-jejak yang ditoreh tak berperspektif masa depan yang jauh, tapi sekadar memenuhi kewajiban dan panggilan ragawi di batas-batas rupa manusia berupa tulang dibungkus daging beserta unsur-unsur cairan lainnya. Sama sekali jauh dari pernak-pernik indah ruhaniah yang melahirkan budi pekerti elok di keseharian.
Tengoklah di hampir semua segmen kehidupan. “Pesta pora” sepertinya tak hendak usai. Pesta merusak sendi-sendi kehidupan secara kronis telah lama menyemai dalam wujud korupsi. Persekongkolan politik dan ekonomi yang merusak ranah kehidupan kemanusiaan, mewabah secara masif tak mengenal ruang dan waktu. Di waktu terang dan gelap. Di ruang-ruang mesum maupun di ruang-ruang suci. Semua dirambahinya hingga kehidupan rakyat kebanyakan terseret derita yang berkepanjangan.
Pesta dari cerita-cerita fitnah pun telah merambah jauh ke lubuk-lubuk peradaban bangsa ini. ceritanya seriuh sinetron picisan di layar-layar kaca. Dari bisik-bisik para jelata hingga di area media mainstream, pun digelegar para pesekolah dan pesuci di ruang-ruang politik yang sangat mengerikan. Masuk jauh ke ranah keyakinan seseorang. Sehingga, kabajikan dibacanya terbalik sebagai kebobrokan. Kebobrokan dan kebodohan bisa disulap menjadi sesuatu yang bajik dan cerdas.
Aku terenyuh kala mendengar dan mengeja senandung fitnah mengangkasa di ruang-ruang rumah ibadah hanya sekadar ingin meraih kekuasaan. Padahal mereka telah mafhum sabda nabinya yang sangat populer, bahwa “sebaik-baik manusia adalah yang paling banyak manfaat pada orang lain dan kehidupan ini”. tapi semua itu menjadi samar oleh hasrat dan nafsu kuasa yang tak terbendung.
Ulah dari para elit di menara gading menjalar hingga ke ruang-ruang jelata membodohinya membungkam akal sehat dan meredupkan hati nurani. Ruang-ruang fitnah pun jalar hingga di jalan-jalan bebas hambatan dan lorong buntu. Kala memasuki arena ini pastilah semakin gila sebab ia tidak hanya merasuki arena psikologis tapi juga pada kebutuhan pokok dan dasar dalam teori Abraham Maslow. Kebutuhan akan sandang dan pangan yang masih menjadi tujuan utama dalam jejak hidupnya. Ketika ranah ini di sentuh oleh para elit maka menjeritlah batinnya untuk berjuang kepada sesiapa saja yang menjamahnya. Apatahlagi bila sentuhannya di poles sedikit dengan seolah-olah sentuhan nurani dari seorang yang berpunya.
Di usia senja menapaki negeriku nampaknya fenomena ini tak beranjak dewasa dan semakin jauh merasuki relung kehidupan bangsaku. Pesan-pesan tetua sebagai penyanggah peradaban semakin jauh tersaku di lipatan-lipatan waktu. Pesan-pesan tetua di kampung dan negeriku, seperti yang kerap disenandung kakek nenekku “sipakatauki, sipakalebbi’ki, sipakainge’ki” (Bugis = “saling memanusiakan”, “saling menghargai”, dan “saling mengingatkan”) saat ini hanya menjadi penghias di baliho-baliho kampanye para politisi. Hanya semarak di kertas-kertas kesenian dan kebudayaan formal yang diusung oleh dinas pendidikan dan kebudayaan dan sesekali oleh dinas pariwisata sebagi pesan-pesan formal di teks-teks, namun tak membumi lagi.
Di usia senjaku, merajut hidup di bumi dan negeri yang kucintai ini hidup serasa berjibun formalitas. Seseorang hanya dihargai dan diapresiasi bila kekayaan melekat pada dirinya. Prestasi dalam arti yang sesungguhnya hanya sedikit menuai apresiasi. Makanya hampir di semua segmen kehidupan, indikator utama seseorang itu menjadi utama bila mampu maraup rupiah sebanyak-banyaknya. Maka, berbanding luruslah dengan laku korup yang sepertinya tak hendak hengkang dari negeriku.
Sumber gambar: http://i3.wp.com/pindai.org/wp-content/uploads/2015/11/senjakala-media-pindai-1021×580.jpg