Demokrasi dan Runtuhnya Nalar Kebangsaan

Demokrasi sebagai sebuah sistem pemerintahan, mengikrarkan diri bahwa kedaulatan, pemegang kekuasaan tertinggi ada di tangan rakyat. Sebagaimana Francis Fukuyama meyakini bahwa demokrasi adalah sebuah sistem yang terbaik. Selain daripada itu demokrasi sebagai reaksi terhadap perlakuan buruk sistem monarki dan otoriter (Andi Faisal Bakti, 2012:2)

Demokrasi sebagai sebuah sistem yang menjadi sistem pemerintahan di Indonesia menghadapi berbagai dialektika intelektual, sosial dan syahwat liar elit politik. Selama orde baru, Pemilu sebagai instrumen demokrasi secara prosedural berjalan lancar namun sikap otoriter rezim penguasa ketika itu, rakyat sulit merasakan dan mewujudkan – seperti apa yang dideskripsikan oleh Plato sebagai basis psikologis dan spritualitas – thumos yang menjadi akar dari demokrasi itu sendiri.

Reformasi yang menandai tumbangnya rezim otoriter diharapkan menjadi lahan subur demokrasi, awal perjalanannya memberikan kabar gembira. Undang – Undang Dasar telah berhasil diamandemen untuk memastikan dan memberikan jaminan dan kepastian hukum berdasarkan konstitusi, demokrasi dapat terwujud secara substansial.

Memperhatikan fenomena kebangsaan, minimal tiga tahun terakhir banyak hal yang menjadi antitesa demokrasi, rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi dalam berbangsa dan bernegara, di Indonesia nampak bahwa itu hanya di atas kertas, implementasi sebagai harapan semua rakyat jauh panggang dari api.

Kesewenang-wenangan pemerintah, monopoli tafsir ajaran dan pengamalan keagamaan, Islam sering menjadi korban narasi segelintir elit pemerintah, kebodohan dan kemiskinan, semua itu adalah di antara dari sekian banyak permasalahan yang menjadi penanda bahwa demokrasi di Indonesia sedang mengalami cuaca “buruk dan ekstrim”. Meminjam istilah Haedar Natsir −Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah −Perspektif fenomena “hilir” dan fenomen “hulu”, kita jangan hanya melihat fenomen hilirnya saja tetapi kita perlu memahami secara mendalam dan komprehensif fenomena hulunya karena pada dasarnya demokrasi sudah matang −sebagaimana deskripsi Plato dalam Francis Fukuyama (2004) −salah satunya memiliki thumos sebagai basis psikologi dan spritualitasnya dan built-in dalam diri manusia. Namun − masih oleh Haedar Natsir −aktornya yang belum akil baligh dan ini relevan dengan kajian akademis Fajrurrahman Jurdi  yang melihat relasi kuasa, ideologi dan oligarki menemukan: Demokrasi cenderung mengarah ke oligarki, dan menurutnya “Indonesia pada 2009 bisa menjadi negara paling demokratis sekaligus menjadi paling korup di Asia Tenggara”.

Saya selaku penulis, menemukan bahwa apakah demokrasi atau penerapannya di Indonesia bisa terimplementasi secara substansial atau tidak itu memiliki korelasi positif dengan konstruksi, bangunan nalar kebangsaan kita. Dan bagi saya sebagaimana istilah Haedar Natsir, inilah perspektif fenomena “Hulu” itu. Narasi nalar kebangsaan, itu lebih daripada sosialisasi empat pilar bangsa yang selama ini menjadi agenda penting dan strategis para Anggota DPR RI dan DPD RI. Nalar Kebangsaan bukan hanya dipahami secara tekstualis tetapi perlu dipahami secara ideologis. Karena pentingnya Nalar Kebangsaan ini, dalam satu tahun terakhir, saya terus melakukan proses internalisasi dalam jiwa dan pikiran kader-kader Muhammadiyah Bantaeng, dan bahkan berupaya menggolkan menjadi materi untuk beberapa kegiatan yang ada tanpa kecuali kegiatan yang akan dilaksanakan oleh DPD KNPI Kab. Bantaeng, Besok Sabtu, 24 Maret 2018.

Memperhatikan fenomena kebangsaan Indonesia di bawah atmosfir demokrasi yang kian buruk dan ekstrim, ini karena runtuhnya bangunan nalar kebangsaan itu. Memperhatikan dinamika politik yang diperankan oleh eksekutif, legislatif dan yudikatif sebagian besar di antara mereka menampilkan perilaku dan sikap yang meruntuhkan Nalar Kebangsaan.

Nalar Kebangsaan yang kini telah runtuh itu, antara lain nilai-nilai Pancasila, amanah Pembukaan UUD 1945 dan UUD 1945, Spirit NKRI dan Bhineka Tunggal Ika dan beberapa nilai-nilai dasar yang telah diletakkan jauh sepanjang perjalanan bangsa ini. Semua itu hanya menjadi bahan hapalan, dipahami secara tekstualis, hanya menjadi narasi indah dalam pidato kenegaraan dan seremoni dalam setiap pelaksanaan upacara terutama upacara peringatan Kemerdekaan Indonesia.

Pancasila sejatinya dipahami secara ideologis, menjadi pedoman hidup, sebagai instrumen dalam menafsirkan realitas kehidupan serta menjadi spirit dalam melakukan aksi-aksi konkret dengan sebuah kesadaran sebagaimana secara historitas bahwa pasca perubahan dan dihapusnya tujuh kata dalam pancasila sebagai perjuangan ideologis ummat Islam, sila ketuhanan yang sebelumnya menempati posisi pengunci, penutup bergeser menjadi posisi pembuka, secara filosofis dan ideologis bahwa fundamen moral (sila pertama) menjadi kunci atas fundamen politik (sila kedua sampai sila kelima) (Yudi latif, 2012). Ini berarti bahwa sejatinya kita semua terutama elit bangsa baik eksekutif, legislatif dan yudikatif dalam setiap sikap dan perilakunya harus memperhatikan dan mempedomani nilai-nilai moral (nilai ketuhanan), namun yang terjadi adalah antitesa dari fundamen moral tersebut. Korupsi yang semakin liar dan massif yang mewarnai tiga institusi tersebut adalah salah satu bukti nyata bahwa fundamen moral tidak menjadi bagian dalam hidupnya. Belum lagi berbicara tentang kemanusiaan dan keadilan, pengkhianatan mereka terhadap nalar kebangsaan telah menenggelamkan juta rakyat dalam samudra kebodohan dan kemiskinan.

Cita-cita dan tujuan nasional sebagaimana termaktub dalam Pembukaan UUD 1945 alinea IV, selain hanya menjadi janji-janji politik, bahkan secara nyata telah melakukan konspirasi menjadikan Indonesia hanya sebagai kue lezat bagi asing dan aseng, dan menanamkan kesadaran palsu kepada rakyat dan generasi muda sehingga kita ikut bangga dan minimal diam kue lezat itu dinikmati oleh asing dan aseng. Ini adalah sebuah pengkhiatan terhadap rakyat dan konstitusi terutama sebagaimana dalam Pasal 33 UUD NRI 1945. Bahkan di Indonesia dikenal dengan adanya pasar gelap, di dalamnya terjadi transaksi jual beli pasal, kebijakan diputuskan bukan berdasarkan kepentingan rakyat tetapi besarnya nilai rupiah.

Bhineka Tunggal Ika, di dalamnya toleransi menjadi hal penting kini oleh sebagian ditafsirkan dengan standar ganda, jika berbeda dengan keyakinannya maka itu anti pancasila dan anti NKRI. Ini sebagian gambaran sebagian kecil runtuhnya nalar kebangsaan. Nalar Kebangsaan perlu dipahami secara komprehensif, Historitas, Rasionalitas Aktualitas, Filosofis dan Ideologis.

 


sumber gambar: www.key4biz.it

  • Dalam satu dasawarsa terakhir, Kabupaten Bantaeng telah tampil sebagai barometer gerakan literasi, khususnya di Provinsi Sulawesi Selatan. Ketika kata “literasi” belum sepopuler hari-hari ini, pegiat literasi di Bantaeng sudah bergerilya menyebar benih gerakan literasi yang kini sudah tumbuh subur. Langkah-langkah gerilyanya ketika itu berupa pelatihan kepenulisan, diskusi buku, dan lapak-lapak baca. Di kemudian hari, langkah…

  • Adelio membuka mata ketika menyadari ombak Perairan Cempedak mengombang-ambing tubuhnya. Ia melihat ke bawah dan mendapati kedalaman laut yang tak terhingga. Ia mendongak ke langit, semburat cahaya matahari baru saja hendak menyapanya dari ufuk timur. Ia baru saja menyadari bahwa dirinya telah mengapung semalaman di tengah laut setelah mendapati sebagian kulitnya yang mulai mengeriput. Ia…

  • Buku terbaru Sulhan Yusuf, Gemuruh Literasi: Sederet Narasi dari Butta Toa boleh dibilang sebagai pembuktian, jika usia bukanlah aral melintang bagi seseorang untuk produktif dalam berkarya. Tapi, insight yang diwedarkan Gemuruh Literasi sebenarnya lebih dari itu. Buku ini adalah jawaban bagi rasa penasaran sebagian orang yang hendak mengetahui gerakan literasi Sulhan di Bantaeng. Kerja-kerja kultural yang…

  • Judul tulisan ini saya pinjam dari ungkapan Profesor Cecep Darmawan—dosen saya ketika studi magister beberapa waktu lalu. Beliau guru besar yang egaliter dan seringkali tampil di publik (media dan forum) untuk berbagi gagasan dan pencerahan. Seingat saya ungkapan itu beliau sampaikan saat kami kuliah “Pendidikan Politik Generasi Muda”. Saya terkesan dengan ungkapan itu, selain indah…

  • Membicarakan suatu topik, dalam hal ini filsafat Islam, maka rasa-rasanya kurang afdal apabila tidak memasukkan nama al-Ghazali di dalamnya. Akan tetapi bila seseorang mau menempatkan al-Ghazali dalam sejarah filsafat Islam, tentu ia harus membuat beberapa catatan. Poin utamanya bahwa al-Ghazali tidak menganggap dirinya filosof dan tidak suka dianggap sebagai seorang filosof. Ini tak hanya menjelaskan…


Kala Literasi

Jl. Pa’ Bentengang No.6, RT.01/RW.08, Mangasa Kec. Tamalate, Kota Makassar, Sulawesi Selatan 90221