Orang Miskin Dilarang Kuliah

Judul Buku     : Kuliah Kok Mahal? (Pengantar Kritis Memahami Privatisasi,  Komersialisasi dan Liberalisasi Pendidikan Tinggi)

Penulis            : Panji Mulkillah Ahmad

Penerbit          : Best Line Press

Cetakan          : Pertama, April 2018

Tebal               : vii + 251 Halaman/SC/Book Paper

 

“Pasar dan penjara, mahal dan fasis” barangkali itu kata yang tepat untuk menggambarkan isi buku “Kuliah Kok Mahal?” ini. Buku ini ditulis oleh Panji Mulkillah Ahmad. Di dalamnya mengulas praktik pendidikan tinggi yang menurut Panji semakin disorientasi, mulai dari biaya kuliah yang kian mahal, penyalahgunaan anggaran pendidikan, birokrasi kampus yang makin tidak demokratis, kurikulum yang berorientasi pasar, maraknya pungutan liar, kekerasan akademik serta setumpuk persoalan-persoalan lainnya. Tema-tema seperti UKT, PTN-BH, UU Dikti, kredit pendidikan, liberalisasi, privatisasi dan komersialisasi pendidikan tinggi  sampai pada wacana gerakan massa diulas secara detail.

Buku ini bagi penulisnya didedikasikan untuk siapapun terutama mereka yang selama ini menjadi korban dari maling-maling berdasi di institusi pemerintahan dan institusi pendidikan. Buku ini mengupas habis tentang mahalnya pendidikan tinggi di negeri ini. Mencari kuliah murah apalagi berkualitas di republik ini rasa-rasanya sulit sekali, seperti mencari jarum dalam timbunan jerami. Semua hal dikenakan biaya, tentu dengan beban biaya yang cukup besar, ditambah lagi pungutan-pungutan liar tambahan. Hal ini menyebabkan hanya mereka yang kaya saja yang berkesempatan untuk mengakses pendidikan tinggi.

Tak hanya itu, persoalan pokok lain yaitu pengambil kebijakan tidak sensitif untuk segera merespon mahalnya biaya pendidikan, banyak kampus yang statusnya negeri tapi malah dikelola seperti perguruan tinggi swasta. Kalau negeri saja nasibnya seperti demikian, bagaimana dengan kampus-kampus swasta. Prakteknya kita menemukan fakta bahwa ada banyak perguruan tinggi yang diswastanisasi karena malasnya pemerintah mengambil peran. Buktinya bisa kita lihat pada politik hukum pemerintah yang lebih memprioritaskan APBN ke pertahanan keamanan dan infrastruktur daripada ke sektor pendidikan. Seolah-olah kita dibawa untuk kembali ke jaman rimba, yang kuat yang menang.

Sepuluh tahun terakhir, gelombang protes atas kebijakan-kebijakan pendidikan tinggi semakin masif. Hal ini seiring dengan biaya kuliah yang meningkat lebih dari 10 kali lipat selama beberapa tahun terakhir. Tentu mahalnya biaya kuliah akan sangat menghambat kemajuan generasi muda Indonesia dalam membangun bangsanya. Hal ini terbukti dari mayoritas angkatan kerja Indonesia merupakan lulusan SD dan SMP, sedangkan yang merupakan lulusan sarjana dan diploma hanya 11 persen saja. Cukup jauh dari negara tetangga seperti Malaysia yang sarjana dan diplomanya mencapai 24 persen, ataupun Singapura yang mencapai 29 persen dari angkatan kerja di negerinya. Dengan riwayat pendidikan formal yang rendah, banyak generasi muda Indonesia terserap di industri sebagai buruh murah dengan hubungan kerja yang tidak adil seperti outsourcing dan kontrak berkepanjangan, maupun sebagai buruh migran di luar negeri yang minim perlindungan.

Secara global, keadaan pendidikan amatlah memprihatinkan. Pendidikan berubah  menjadi proses dehumanisasi, dimana orang kehilangan kemanusiaannya justru dengan belajar untuk mengembangkan dirinya. Inilah ironi pendidikan terbesar di abad 21. Tak heran jika Noam Chomsky, menulis di dalam bukunya yang berjudul Class Warfare, bahwa pendidikan justru membunuh kecerdasan, kepekaan moral dan kebahagiaan yang merupakan tiga ciri utama kemanusiaan. Kalau kita analisis lebih dalam sepertinya praktek liberalisasi pendidikan di Indonesia jauh melebihi negara-negara yang mengaku menganut sistem liberal sekalipun di Eropa dan Amerika. Akibatnya sekolah-sekolah, kampus-kampus hanya menghasilkan mesin pekerja tanpa peduli apa potensi Anda sebenarnya. Di dalam proses itu, soal-soal yang amat penting, seperti pendidikan kemanusiaan, kepedulian sosial dan pendidikan nilai, justru sama sekali diabaikan.

Membaca buku ini, kita akan sampai pada kesimpulan sederhana bahwa sebetulnya pendidikan kita belum benar-benar menjalankan mandat konstitusi, sebab faktanya kita masih merasakan pendidikan terjebak dalam penjara-penjara feodalisme dan kapitalisme. Pertama adalah minimnya sarana dan prasarana. Kedua, ketimpangan akses bagi warga negara. Ketiga rendahnya kualitas tenaga pendidik dan kependidikan. Dan keempat kurikulum pendidikan yang bongkar pasang dan seringkali salah memilih paradigma pendidikan yang tepat.

Padahal Indonesia adalah negara yang punya cita-cita mulia yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa. Negara yang melindungi warganya, termasuk dalam hal menjamin pemenuhan hak atas pendidikan. Negara mengupayakan pembebasan anak didik dari kemiskinan serta kebodohan, mendewasakan di dalam berpikir (rasional) dan bertindak (bertanggung jawab), serta membuatnya sadar akan situasi diri maupun masyarakatnya. Tetapi dalam kenyataannya, pendidikan diperlakukan seperti komoditas yang diperdagangkan (baca bab xvi). Apa yang membuat pendidikan seperti seolah diperdagangkan? Apakah mungkin pendidikan dapat dijadikan barang dagangan? Kenapa kuliah semakin mahal? Apa yang bisa dilakukan? Buku ini mencoba menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut.

Buku ini tidak hanya asal menghujat mahalnya pendidikan di Indonesia, namun juga dilengkapi dengan data-data konkrit dan berita-berita nyata. Buku ini mengajak kita tertawa, dan di saat yang sama kritis melihat dunia pendidikan tinggi di Indonesia. Buku ini layak dijadikan referensi sebagai evaluasi bagi kita bagaimana kondisi kehidupan pendidikan di republik Indonesia, juga renungan bagi para pengambil kebijakan, para pendidik, para aktivis mahasiswa dan semuannya yang menginginkan negeri adil makmur dan damai serta pendidikan yang menghasilkan sumberdaya berkualitas dan cerdas.

Melalui buku ini, kita dapat ikut merasakan bagaimana pilunya hati tak dapat menimba ilmu karena tak memiliki uang. Begitulah buku banyak bercerita, buku ini meneriakkan kembali suara protes untuk mengingatkan kembali bahwa pendidikan yang bobrok menghasilkan lulusan yang juga bobrok, lemah, bodoh dan tak bermoral. Buku ini menjadi nyanyian yang mengingatkan bahwa kuliah harus murah dan juga membangkitkan kembali sebuah mimpi kuliah ideal bahwa pendidikan harus murah bahkan gratis, ilmiah, demokratis, mengabdi pada rakyat dan kemanusiaan. Alasan konstitusional mengapa kuliah harus murah, adalah bunyi amandemen UUD 1945 yang mewajibkan kuliah bisa menampung semua warga. Karenanya, kuliah memang perlu murah agar bisa menyedot semua orang.

Lalu apa solusi yang ditawarkan oleh buku ini ? dihalaman 210 pertanyaan itu terjawab. Sebagai penutup, saya mengajak anda dan kita semua untuk membaca buku ini.

 


sumber gambar: twitter.com/panjimulki

  • Dalam satu dasawarsa terakhir, Kabupaten Bantaeng telah tampil sebagai barometer gerakan literasi, khususnya di Provinsi Sulawesi Selatan. Ketika kata “literasi” belum sepopuler hari-hari ini, pegiat literasi di Bantaeng sudah bergerilya menyebar benih gerakan literasi yang kini sudah tumbuh subur. Langkah-langkah gerilyanya ketika itu berupa pelatihan kepenulisan, diskusi buku, dan lapak-lapak baca. Di kemudian hari, langkah…

  • Adelio membuka mata ketika menyadari ombak Perairan Cempedak mengombang-ambing tubuhnya. Ia melihat ke bawah dan mendapati kedalaman laut yang tak terhingga. Ia mendongak ke langit, semburat cahaya matahari baru saja hendak menyapanya dari ufuk timur. Ia baru saja menyadari bahwa dirinya telah mengapung semalaman di tengah laut setelah mendapati sebagian kulitnya yang mulai mengeriput. Ia…

  • Buku terbaru Sulhan Yusuf, Gemuruh Literasi: Sederet Narasi dari Butta Toa boleh dibilang sebagai pembuktian, jika usia bukanlah aral melintang bagi seseorang untuk produktif dalam berkarya. Tapi, insight yang diwedarkan Gemuruh Literasi sebenarnya lebih dari itu. Buku ini adalah jawaban bagi rasa penasaran sebagian orang yang hendak mengetahui gerakan literasi Sulhan di Bantaeng. Kerja-kerja kultural yang…

  • Judul tulisan ini saya pinjam dari ungkapan Profesor Cecep Darmawan—dosen saya ketika studi magister beberapa waktu lalu. Beliau guru besar yang egaliter dan seringkali tampil di publik (media dan forum) untuk berbagi gagasan dan pencerahan. Seingat saya ungkapan itu beliau sampaikan saat kami kuliah “Pendidikan Politik Generasi Muda”. Saya terkesan dengan ungkapan itu, selain indah…

  • Membicarakan suatu topik, dalam hal ini filsafat Islam, maka rasa-rasanya kurang afdal apabila tidak memasukkan nama al-Ghazali di dalamnya. Akan tetapi bila seseorang mau menempatkan al-Ghazali dalam sejarah filsafat Islam, tentu ia harus membuat beberapa catatan. Poin utamanya bahwa al-Ghazali tidak menganggap dirinya filosof dan tidak suka dianggap sebagai seorang filosof. Ini tak hanya menjelaskan…


Kala Literasi

Jl. Pa’ Bentengang No.6, RT.01/RW.08, Mangasa Kec. Tamalate, Kota Makassar, Sulawesi Selatan 90221