Bencana Itu Bernama Korupsi

Dulu orang korupsi di bawah meja,

sekarang tidak hanya korupsi di atas meja, mejanya pun dikorupsi

[Gusdur]

“Jika korupsi demikian menggurita, itu karena negara dan warganya membiarkannya merajalela. Selama ini raga koruptor terpenjara tapi bisnis dan hidup sosialnya lancar jaya”

[Najwa Shihab]

Tidak banyak negara yang ditakdirkan sekaya indonesia. Kaya dengan sumber daya alamnya begitupun sumber daya manusia dan kebudayaannya. Sayang sekali kekayaan itu tidak terkelola dengan baik, akibatnya bangsa ini malah menjadi bangsa yang salah urus. Kekayaannya justru melahirkan malapetaka. Jadilah bangsa ini menjadi bangsa yang kaya akan masalah. Di sana-sini terjadi krisis, baik sosial, politik, moral, hukum lebih-lebih ekonomi. Parahnya, di tengah-tengah krisis tersebut para elit politik justru sibuk ngurus citra, kepentingan dan kesejahteraan pribadi dan kelompok sendiri. Sungguh sangat ironi dan ngeri menyaksikan realitas kebangsaan kita ini, tahun ke tahun terus berjalan tak tahu arah, pembangunan yang timpang, kebijakan yang melenceng dari azas dan norma. Lihat saja tingkah para pejabatnya, lebih sibuk menumpuk harta dan memperkaya diri dan golongan sendiri. Mereka yang harusnya menjadi pelayan, pengabdi sebagai mandataris rakyat untuk mengelola kekayaan Negara justru abai bahkan sengaja melanggarnya.

Karena itu, barangkali apa yang dikhotbahkan si filsuf gila Nietzche bahwa naluri manusia yang tidak pernah padam adalah kehendaknya untuk berkuasa ada benarnya. Sebagaimana yang dikatakan Lord Acton dalam salah satu suratnya kepada uskup Mandell Creighton pada april 1887, bahwa kekuasaan cenderung membuat sesorang berbuat korup. “Power tends to corrupt, and absolutly power corrupts absolutely”. Korupsi dan kekuasaan ibarat dua sisi mata uang yang tak bisa dipisahkan. Kekuasaan atau jabatan, sering kali membuat manusia terpesona hingga lupa terhadap hakikat dibalik itu semua. Yang lebih parah dan tragis adalah ketika kekuasaan dipersepsikan sebagai lahan “mencari kerja”. Ketika kekuasaan dimaknai demikian, maka tidak heran ketika terjadi penyelewengan, penyalahgunaan kekuasaan.

Fenomena korupsi memang takkan pernah habis untuk diperbincangkan di negeri ini. Bangsa ini sudah terkenal sebagai pusat pariwisata koruptor. Hampir setiap jenis korupsi tersaji dengan meriah. Sejak rezim totaliter orba hingga era reformasi yang selalu mengatasnamakan diri sebagai yang paling demokratis, korupsi begitu subur hingga negeri ini mendapatkan predikat sebagai salah satu Negara terkorup di dunia. Korupsi sepertinya sangat sulit untuk diberantas di negeri ini. Kita bisa mengutuk bahwa Soeharto dan rezimnya yang memimpin negeri ini sebagai era yang paling bobrok berantakan karena praktik pelanggaran HAM serta korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) mengakar dan menggurita. Tapi dimasa orba praktik busuk itu setidak-tidaknya hanya terjadi di lingkaran eksekutif semata, kini praktek tersebut tidak hanya terjadi di lingkungan eksekutif tapi sudah menggejala sampai pada lingkaran elit legislatif bahkan yudikatif, dari pusat hingga ke pelosok desa dan itu semua dilakukan secara berjamaah.

Di negeri ini, sepertinya korupsi menjadi sebuah amal ibadah. Bahkan, ada sebuah pameo yang diyakini secara kolektif sebagai sebuah fatwa politik bahwa “barangsiapa yang mendapatkan jabatan politik lalu tidak memanfaatkannya untuk memperkaya diri dan kelompok maka menyesallah dia seumur hidup”. Bahkan konon katanya, kalau ada pejabat yang tidak bisa mengeruk kekayaan Negara, ataumenumpuk kekayaan dengan menghalalkan segala cara, maka ia akan dianggap tidak sukses kariernya di pentas politik. Begitulah dogma yang tertanam dalam tingkah dan watak para penguasa di panggung perpolitikan bangsa ini.

Korupsi memang menggiurkan, pesona korupsi membuat elit-elit politik kita kehabisan akal sehat,etika-moralitas serta hati nuraninyapun habis terjual demi setumpuk rupiah. Dihadapan setumpuk uang, idealisme dan kewarasan mereka runtuh seketika. Begitulah kenyataan yang tengah kita hadapi saat ini, korupsi telah membuat tatanan kebangsaan, moralitas, etika dan stabilitas ekonomi-politik menjadi porak-poranda. Dan parahnya mereka yang tertuduh dan terbukti berbuat korupsi seakan tidak memiliki beban atau rasa malu di hadapan publik. Mereka masih dengan santainya menebar senyumannya di media-media, seakan-akan tak ada rasa bersalah atau dosa akan perbuatannya.

Ketika sudah seperti demikian kenyataan politik di negeri ini maka satu-satunya harapan kita adalah social movement dan integritas penegak hukum, ditangannyalah kita menggantungkan harapan agar hukum benar-benar menjadi panglima. Karena seperti kita pahami bahwa perilaku korup itu tidak terlepas dari kekuasaan, korupsi pasti selalu dimulai dari pintu kekuasaan, maka mengakhirinya pun harus menggunakan otoritas hukum dan politik kekuasaan negara. Sebab negara tak mungkin mampu mengurus rakyatnya, jika birokrat sudah bermental korup. Dengan hadirnya social movement maka penegakan hukum akan berjalan maksimal.

Dari beberapa data yang pernah dirilis oleh P2EB UGM dari tahun 2001-2012 negara mengalami kerugian kurang lebih 168,19 T akibat ulah para koruptor, dari jumlah itu hanya sekitar 15,1 T atau 9 % saja yang kembali pada negara. Dan selebihnya 153 T hilang entah kemana,angka ini belum termasuk subsidi negara terhadap mereka para pelaku korupsi, yang mencakup biaya untuk penyeledikan, penyidikan, penuntutan, pengadilan dan penghukuman. Angka tersebut kalau dikalkulasikan kemudiandidistribusikan ke sektor pendidikan, maka sekitar 2,5 juta anak-anak negeri inidapat mengakses atau mendapatkan pendidikan dari S1 – S3 secara gratis, pembangunan 102.000 Puskesmas, pengadaan BLT 100.000/bulan untuk 127 juta rakyat indonesia, dan penyediaan 17 juta ton beras kepada masyarakat.

Data tersebut diatas seharusnya membuat nurani rakyat tergerak, lebih-lebih para penegak hukum.Karena kalau hal tersebut terus dibiarkan maka sampai kapanpun bangsa ini akan terus dihantui penyakit korup. Hukuman pada para koruptor sepertinya harus lebih dipertegas. Sudah ada banyak tawaran hukuman untuk memberikan efek jera kepada para Napi koruptor, seperti misalnya memaksimalkan hukuman penjara, uang pengganti serta denda, ditambah dengan hukuman pemiskinan, pencabutan hak politik serta penghapusan hak mendapatkan remisi pembebasan bersyarat. Selain itu pemerintah dan aparat penegak hukum boleh belajar atau menggunakan konsep ATM (amati, tiru dan modifikasi) aturan dan contoh yang diterapkan di negara-negara yang sudah berhasil memberantas korupsi. Barangkali China dapat menjadi negara rujukan untuk belajar menghentikan sepakterjang koruptor. Penyediaan peti mati bagi koruptor merupakan simbol perlawanan terhadap korupsi. Sekalipun model semacam ini perlu dipertimbangkan lebih matang lagi. Barangkali dengan sanksi yang sangat berat akan menghentikanpenyakit korupsi di tubuh pemerintahan.

Entah sampai kapan bangsa ini terus dirundung malapetaka akibat kasus korupsi. Belum selesai tumpukan kasus korupsi di rezim sebelumnya, seperti Centuri, simulasi SIM, BLBI, Hambalang, datang lagi tumpukan yang baru, skandal papa minta saham beberapa waktu silam, mega skandal KTP-Elektronik, korupsi beberapa legislator, menteri, kepala daerah dan pimpinan perguruan tinggi, dan yang terbaru OTT terhadap Kalapas Sukamiskin, entah besok kasus apa lagi? Kita berharap, semoga saja bangsa ini masih memiliki nurani perlawanan terhadap korupsi. Tidak cukup, hanya dengan ikhtiar KPK dan para hakim untuk menegakkan keadilan, tetapi harus ada perlawanan dari civil society untuk menista kejahatan korupsi tersebut. Seharusnya untuk sebuah kejahatan luar biasa, penanganannya pun harus dengan cara luar biasa, tidak dengan cara yang biasa-biasa saja. Mengingat akhir-akhir ini kita menyaksikan ada upaya dari beberapa kelompok untuk melakukan pelemahan KPK. Padahal kita ketahui bersama bahwa KPK lah satu-satunya institusi yang sejauh ini masih terjaga integritasnya dalam melakukan pemberantasan korupsi. Karena itu melalui catatan ini, penulis mengajak kepada hadirin pembaca yang budiman untuk tetap merawat kewarasan, dengan menolak pelemahan KPK dan melawan kajahatan korupsi.

  • Dalam satu dasawarsa terakhir, Kabupaten Bantaeng telah tampil sebagai barometer gerakan literasi, khususnya di Provinsi Sulawesi Selatan. Ketika kata “literasi” belum sepopuler hari-hari ini, pegiat literasi di Bantaeng sudah bergerilya menyebar benih gerakan literasi yang kini sudah tumbuh subur. Langkah-langkah gerilyanya ketika itu berupa pelatihan kepenulisan, diskusi buku, dan lapak-lapak baca. Di kemudian hari, langkah…

  • Adelio membuka mata ketika menyadari ombak Perairan Cempedak mengombang-ambing tubuhnya. Ia melihat ke bawah dan mendapati kedalaman laut yang tak terhingga. Ia mendongak ke langit, semburat cahaya matahari baru saja hendak menyapanya dari ufuk timur. Ia baru saja menyadari bahwa dirinya telah mengapung semalaman di tengah laut setelah mendapati sebagian kulitnya yang mulai mengeriput. Ia…

  • Buku terbaru Sulhan Yusuf, Gemuruh Literasi: Sederet Narasi dari Butta Toa boleh dibilang sebagai pembuktian, jika usia bukanlah aral melintang bagi seseorang untuk produktif dalam berkarya. Tapi, insight yang diwedarkan Gemuruh Literasi sebenarnya lebih dari itu. Buku ini adalah jawaban bagi rasa penasaran sebagian orang yang hendak mengetahui gerakan literasi Sulhan di Bantaeng. Kerja-kerja kultural yang…

  • Judul tulisan ini saya pinjam dari ungkapan Profesor Cecep Darmawan—dosen saya ketika studi magister beberapa waktu lalu. Beliau guru besar yang egaliter dan seringkali tampil di publik (media dan forum) untuk berbagi gagasan dan pencerahan. Seingat saya ungkapan itu beliau sampaikan saat kami kuliah “Pendidikan Politik Generasi Muda”. Saya terkesan dengan ungkapan itu, selain indah…

  • Membicarakan suatu topik, dalam hal ini filsafat Islam, maka rasa-rasanya kurang afdal apabila tidak memasukkan nama al-Ghazali di dalamnya. Akan tetapi bila seseorang mau menempatkan al-Ghazali dalam sejarah filsafat Islam, tentu ia harus membuat beberapa catatan. Poin utamanya bahwa al-Ghazali tidak menganggap dirinya filosof dan tidak suka dianggap sebagai seorang filosof. Ini tak hanya menjelaskan…


Kala Literasi

Jl. Pa’ Bentengang No.6, RT.01/RW.08, Mangasa Kec. Tamalate, Kota Makassar, Sulawesi Selatan 90221