“Terpujilah mereka yang gigih sebarkan bahan bacaan, kepada mereka yang haus ilmu pengetahuan. Merekalah yang menyodorkan jendela dunia, agar anak-anak bangsa dapat berpikir seluas cakrawala.” (Najwa Shihab)
***
Sabtu malam di paruh purnama kedua belas, anak-anak muda itu sedang sibuk berjibaku merefleksikan gagasan sederhana di akhir tahun. Menabur benih kebaikan dan menebar virus ammaca bo’bo (baca: membaca buku) di masyarakat desanya. Hal ini seiring dengan “menjenuhkannya” perdebatan tentang mengucapkan selamat natal kepada umat kristiani, atau membunyikan terompet tahun baru, dan perdebatan-perdebatan lainnya yang sedang digandrungi umat sosial media.
Sama menjemukannya dengan mendengar pertengkaran sengit anak-anak tentang 1+1 sama dengan berapa? Si Sulung yang ditanya menjawab sama dengan 2, sesuai dengan yang diajarkan guru matematikanya di sekolah. Tetapi si Bungsu yang bertanya ngotot bahwa jawaban si Sulung salah. Jawaban yang benar adalah 3, karena BBM sudah naik. Setelahnya si Sulung lebih ngotot dan minta adu otot. Padahal pertanyaan itu hanyalah tebak-tebakan, tapi dijawab serius ala akademis oleh si Sulung. Begitulah umat media sosial sibuk mempertahankan kebenarannya dan memaksakan pemahamannya ditancap di kepala orang-orang yang dianggapnya sebagai “domba-domba tersesat”.
Saling mencibir, ujar-ujar kebencian menjadi sah-sah saja di dunia yang ramai dan gaduh itu. Dan ada juga orang yang sekadar “bagus-bagusan” statement dengan mengutip kata-kata tokoh intelektual atau ustas-ustasah agar memperoleh like dan pujian dari warga net. Sehingga tahun depan akan kembali diingatkan oleh aplikasi Mark Zuckerberg karena mendapat like yang berlimpah. Kalau ditimbang mungkin bisa ditukar dengan batu akik. Karena senang merasa benar dan menang, siklus perdebatan itu akan kembali diulang tahun depan. Maaf terlalu jauh kita membahas tentang fenomena umat media sosial, padahal itu bukan lagi anomali tetapi sudah menjadi rutinitas di setiap momen penting.
Supaya tulisan ini tampak lebih dramatis, izinkan saya memulai cerita ini dengan kata “pada suatu hari”. Alkisah, karena melihat geliat teman-teman melaksanakan event refleksi akhir tahun yang memiliki segudang manfaat, saya memutuskan untuk menetap lebih lama di Butta Toa. Refleksi akhir tahun menjadi tontonan bagi masyarakat dengan menampilkan beragam seni pertunjukan. Hakikatnya kegiatan tersebut semacam kampanye. Bukan kampanye politik sebagaimana yang dilakukan para caleg. Kampanye macam ini cukup membosankan, karena kadang disajikan sok retoris dan ternyata utopis.
Akan tetapi kegiatan tersebut merupakan kampanye literasi sekaligus mendeklarasikan rumah baca kepada masyarakat desa Tombolo. Maklumlah, rumah Baca Panrita Nurun merupakan arsenal untuk menebar virus-virus literasi di seantero desa Tombolo. Saya menduga, provokator ulung penggemar Arsenal dan selalu merasa bersaudara lain kali dengan kang Maman atau Andy F. Noya merupakan dalang dari semua ini.
Jika ada orang yang mesti dimintai pertanggungjawaban soal menyebarnya virus literasi di Tombolo, mungkin beliaulah salah satu orangnya. Pasalnya beberapa pekan sebelumnya Kanda Sulhan Yusuf menjadi pemantik dari kegiatan yang dilaksanakan Karang Taruna. Dan pada kegiatan refleksi akhir tahun, Sulhan Yusuf juga menjadi narasumber utama. Beliau membawakan orasi kebudayaan dengan tema “Literasi dan Perubahan Sosial”.
Saya tidak menyimak betul orasi narasumber di Sabtu malam bersejarah itu. Saya asyik menikmati suasana bersejarah malam itu. Pasalnya bukan lagi elekton yang mengumpulkan masyarakat sedemikian rupa. Melainkan acara bertajuk orasi kebudayaan yang merupakan hal baru bagi mereka. Rumah Baca Panrita Nurun telah menjadi cahaya yang menyatukan masyarakat dan memperlihatkan keinginan besar masyarakat desa Tombolo untuk bertransformasi menyambut perubahan-perubahan yang ada.
Apa yang terjadi malam itu, juga membuktikan bahwa kita telah telah tersesat di jalan yang benar. Saat sebagian besar orang meringkuk menonton dangdut, atau sibuk menyusun rencana untuk acara tahun baru, beberapa masyarakat desa tombolo berduyun-duyun menghadiri hajatan literasi Rumah Baca Panrita Nurun. Antusiasme masyarakat bak menonton pertandingan klasik antara Barcelona dan Real Madrid – yang tentunya tempo hari dimenangkan Barcelona, atau PSM melawan Persija – yang ini dimenangkan mafia bola.
Kegiatan tersebut bukan hanya dihadiri anak-anak muda, tetapi juga didominasi bapak-bapak dan ibu-ibu lengkap dengan anak-anak kecil. Hal ini tentu saja menyebabkan ketua panitia harus menambah nama-nama yang akan disebutkan saat sambutan.
Bicara soal literasi dan perubahan sosial, Butta Toa telah bergerak menuju The New Bantaeng Part 2 (versi penulis). Menjadikan Butta Toa sebagai Butta literasi. Setidaknya sudah terdapat lebih dari 12 rumah baca yang tersebar di empat penjuru mata angin kabupaten Bantaeng. Dan kini, desa Tombolo mulai melibatkan diri dalam konspirasi apik nan epik tersebut. Inilah cara paling cantik melawan perubahan sosial yang ada. Satu langkah yang tepat membendung budaya-budaya asing yang kian menyamarkan kearifan lokal kita. Di sisi yang lain, kehadiran Rumah Baca Panrita Nurun diharapkan mampu menggiring anak-anak muda desa Tombolo, untuk lebih sering bercengkrama dengan buku tinimbang gawai. Kita pasti bisa berubah!
Sebab perubahan adalah satu hal yang pasti terjadi. Yamir Asraf Piliang dalam karya anggitannya, Dunia yang Dilipat mengatakan bahwa perubahan merupakan hal yang niscaya. Setiap saat segalanya berubah. Setiap detik kota-kota berubah. Dunia ini berubah. Tetapi tanda-tanda perubahan itu kadang tidak terasa. Perubahan baru akan dirasakan ketika ditandai dengan kejadian-kejadian besar.
Begitulah masyarakat. Mengalami dan terus bergerak dalam arus besar perubahan. Ada yang melawan, ada juga membiarkan dirinya terseret arus. Rumah Baca Panrita Nurun telah berusaha menyambut perubahan besar yang ditandai melalui kegiatan tersebut. Animo masyarakat menjadi pertanda pula bahwa masyarakat menyambut baik keberadaan “rumah perubahan”. Sekarang yang dibutuhkan adalah terus bergerak dan bekerjasama menggiring arus perubahan ke arah yang positif. Membangun peradaban berbasis literasi di desa Tombolo. Bukan sekadar literasi dalam makna baca tulis. Tetapi lebih luas lagi, membangun kesadaran masyarakat.
Sebagai rumah baca yang masih seumur jagung, pegiat-pegiat literasi Panrita Nurun harus memiliki daya tahan yang kuat. Sebab jalan yang mereka tempuh adalah lorong sunyi. Mereka harus memiliki konsistensi yang lebih kukuh dari sebelumnya. Tangan-tangan yang lebih terbuka dan kuat untuk mengajak dan merangkul orang-orang yang hendak belajar. Tentunya hati mereka harus ditanami jiwa altruisme untuk senantiasa berbuat dan menebar kebaikan di seantero desa Tombolo.
Walakhir, saya ingin menyampaikan pesan Najwa Shihab sebagai ungkapan terimakah, untuk teman-teman pegiat literasi di Panrita Nurun. Terpujilah kalian yang gigih sebarkan bahan bacaan, kepada masyarakat desa Tombolo yang haus ilmu pengetahuan. Kalian telah menyodorkan jendela dunia, agar anak-anak desa Tombolo dapat berpikir seluas cakrawala.