Tewasnya Pemimpin Be’ban di Bawah Pohon Keramat

Pagi itu begitu riuh. Orang-orang jalan bergerombol. Dari penjuru mata angin berbeda. Tetapi, tujuannya persis sama. Sebuah pohon besar—pohon beringin tua, tumbuh menjulang dan rimbun, di sembir sungai.

Sudah menjadi kebiasaan orang-orang Be’ban. Telah turun-temurun. Kala mentari tengger di dahan-dahan pohon. Orang-orang berduyun-duyun membawa dulang penuh sesajen, ke pohon beringin. Pohon tua itu sangat dikeramatkan. Orang-orang Be’ban percaya bahwa arwah leluhur sudah mati tinggal di pohon beringin. Dan selalu mengawasi mereka. Itulah sebabnya, orang-orang Be’ban acapkali membuat sesajen. Sebagai bentuk terima kasih. Karena, di hari penuh penyakit, atau malam yang beku, mereka—orang-orang Be’ban diselamatkan arwah leluhur.

Keyakinan ini terus tumbuh, seiring leluhur mereka memilih tinggal dan beranak-pinak di Be’ban. Namun pagi itu. Kebiasaan telah dilakon berabad-abad, berubah. Itulah awal sebuah kebinasaan. Dan setelah kejadian ini, orang-orang luar sana, tak pernah mendengar nama Be’ban. Selama-lamanya.

* * *

Sungguh, pagi itu. Air muka tiap penduduk berparas duka. Sial nian. Dulang tak berderak-derak. Tak ada sesajen. Selain, dijumpailah seorang laki-laki muda, terkapar. Ia telah tewas. Persis di bawah pohon beringin tua itu.

Orang-orang dibuat sontak kaget. Bagaimana tidak? Bola mata laki-laki itu terbelalak. Mulutnya terbuka lebar dan dikerumui lalat. Di lehernya, ada bekas cekik. Dan sangat mempihatinkan. Laki-laki itu, terkapar tanpa sehelai pakaian membungkus tubuhnya—ia tewas dalam keadaan telanjang.

“Damian, tewas!”

“Siapa orang yang senekad ini?”

Berita kematian sang pemimpin Be’ban, kini, terngiang di mana-mana. Banyak warga yang tak percaya. Sebab, Damian, baru sepekan dikukuhkan menjadi pemimpin Be’ban.

Secepat itu juga. Kibarlah desas-desus. Begitu heboh. Beberapa orang pemuda yang ditemui membuat sebuah pengakuan.

“Damian, diserang kawanan serigala. Saat bulan sempurnakan lingkarannya, dan ia salah membaca mantra.”

Ada juga menimpal serupa; “Damian saat ia bercinta dengan istrinya di bawah pohon beringin. Dan saat itupula, beberepa orang melompat dari dahan pohon. Lalu, mencekik lehernya.” Dihadapan seluru warga Be’ban, mereka terbata-bata menerangkan.

Dan orang-orang pun mulai percaya. Mereka mengait-kaitkan bekas cekik dileher bangkai itu.

Di tengah duka cita yang mendalam. Penyelidikan atas kematian Damian pun digelar. Mereka pun menyelidiki: Apakah komplotan orang itu adalah anggota Babal? Ataukah mereka adalah para pembunuh. Yang dibayar murah oleh istrinya, hanya dengan merelakan selakangannya dihunus. Dan memang, sudah lama, istrinya sangat berambisi menjadi pemimpin di Be’ban?

* * *

Adalah Be’ban, sebuah negeri para penyihir ulung. Di Be’ban, selain manusia yang dilahir dari mantra sihir. Di sini, burung hantu dan kucing hitam lebih banyak dari burung gereja dan onta. Dan memang di negeri sihir, binatang kerap diandalkan. Dari ihwal kenegaraan ke-sihiran-an. Hingga hal-hal terkecil. Berupa menyebar luas segala titah, dari sang pemimpin kepada warganya.

Kala itu, orang-orang Be’ban hendak mencari dan mengkukuhkan sosok pemimpin yang ideal. Memiliki kemampuan ilmu sihir. Dan berkat binatang-binatang ini. Titah sayembara tersebar di mana-mana.

“Penyihir muda, buktikan kepantasanmu untuk Be’ban,” beginilah isi pesan sayembara.

Pesan ini terpajang di pohon-pohon, bangkai-bangkai, genangan darah, dan nisan-nisan.

Pesan dikibar. Waktu tiba, dan sayembarapun dihelat.

Orang berbondong-bondong datang mengikuti sayembara. Bahkan, dari pelosok negeri Be’ban. Meraka rela berjalan kaki berkilo-kilo meter, demi turut nimbrung dalam persamuhan. Sangatlah disayangkan. Segala usaha ditunai. Tidak satupun menuai harap pemuka-pemuka Be’ban.

Dari sekian banyak orang yang datang mementaskan diri. Tidak satupun layak dipilih. Padahal Syaratnya sederhana, seorang calon pemimpin sihir dapat meruba cermin menjadi kubu’la—sebuah pusara—taman bagi burung hantu dan kucing hitam dengan bebas bercinta.

Di antara warga Be’ban yang datang, adalah Damian. Ia seorang pemuda lugu. Sejak kedatangannya. Ia telah membuktikan ketidakpantasannya dipilih. Bahkan, di hadapan seluruh warga Be’ban. Pasalnya, mantra-mantra, yang biasanya dilafazkan ibu-ibu saat menidurkan anak-anak, ia tidak sanggup menghafalnya.

Tentunya hal ini bertentangan dengan kebiasaan orang-orang Be’ban. Mereka percaya, malapetaka kerap datang menderah. Musababnya, pemimpin mereka, tidak sanggup membaca mantra. Dengan begitu, ia tidak dapat melindungi warga dan negerinya.

Sudah sepekan, waktu terpakai untuk sayembara. Namun hasilnya masih tetap nihil. Orang-orang Be’ban mulai jenuh, pesimis, dan patah.

“Tidak mungkin kita temukan sosok pemimpin seperti harapan leluhur.”

“Damian itu baik!”

“Tidak!”

“Damian itu tidak percaya mantra,” ada yang menimpal serupa.

Sesaat orang-orang lengah.

“Saya pernah mendengar, bahwa, Damian itu anak keturunan Dewi Amor yang menikah dengan manusia. Pasti ia tahu tentang mantra!”

“Tetapi ia tidak bisa menghafal mantra.”

“Tidak masalah!”

“Nanti kami yang ajarkan Damian.” Timpal seorang di antara sesepuh yang paling disegani.

* * *

Babal adalah sekelompok orang yang tidak percaya terhadap hal-hal yang dikeramatkan di Be’ban. Mereka anti terhadap pohon-pohon yang dikeramatkan. Anti terhadap sesajen —iman orang-orang Be’ban, turun-temurun. Anti terhadap mantra. Bagi mereka, orang-orang Be’ban telah syirik—kafir, sesat. Dan kata-kata serupa lainnya. Teralamatkan kepada orang-orang Be’ban.

Jika dicari kulit kembar dengan negeri kita. Yang telah memiliki keyakinan resmi—diakui negara. Barangkali, komplotan Babal, mirip-mirip, organisasi keagamaan. Yang konon katanya, sebagai penegak orisinal ajaran agama. Mereka, dengan sesuka, mengeluarkan fatwa sesat dan kafir. Kelak jika salah satu jamaah dinilai menyimpang dari praktik-praktik keagamaannya. Tapi sangat disayangkan, Be’ban bukan negeri yang percaya pada agama-agama resmi. Sebab, mereka tak kenal agama resmi. Terkecuali keyakinan leluhur—keyakian akan sihir.

Di Be’ban tidak semua warga bebas pergi ke dunia luar. Berbaur dengan orang-orang di luar Be’ban. Hanya saja, beberapa orang yang membawa diri keluar berbaur dengan orang-orang di luar Be’ban. Dengan alasan, memperbaiki nasib. Belakangan, orang-orang ini diketahui kembali ke Be’ban dengan pemikiran-pemikiran baru. Atau boleh jadi, mereka telah beriman kepada agama resmi.

Dan, di antara orang Be’ban, Damianlah yang sangat menentang kelompok ini. Meskipun kepada istrinya sendiri.

Istrinya—Sarbini, memiliki keyakinan serupa. Sebab, sebelum menikah dengan Damian, Sarbani—sang istri. Sudah mengenal dunia luar—perkotaan. Ia sudah bolak-balik pergi ke kota. Di antara perempuan-perempuan Be’ban, hanya dirinya, yang bersolek dan berpikir, layaknya orang kota. Bahkan, beberapa kali, ia melontarkan ketidaksukaannya, kepada suaminya. Perihal lakon orang-orang Be’ban yang dinilai menyimpang.

* * *

Segala hal yang telah diusahan kemplotan Babal, belum menuai hasil. Orang-orang Be’ban masih percaya pada mantra dan sihir. Masih mengkeramatkan pohon dan membuat sesajen untuk arwah leluhur.

Namun semua beruba begitu saja. Pada suatu hari.

Berkat sebuah konspirasi yang dijalankan komplotan Babal. Kelompok ini, membuat persengkokolan bersama sang istri. Bagi keyakinan mereka, usaha tersebuat dapat berbuah hasil, jika mereka dapat menyingkirkan sang pemimpin. Damian harus dibunuh. Dengan begitu, orang Be’ban, dengan mudah dipengaruhi. Dan pembunuhan ini hanya dapat ditangani oleh orang-orang dekat—istrinya, sendiri. Agar tidak menimbulkan jejak dan curiga.

“Jika kau ingin menjadi pemimpin di Be’ban. Dan, kita dapat meruba hal di sini. Maka, bunuhlah suamimu!” ini titah pertama.

“Kau boleh gunakan cara-cara lembut. Atau, kasar sekalipun. Tidak ada di Be’ban sini yang curiga!” titah kedua.

“Siapa yang menghalangimu. Binasakan ia juga!” titah ketiga.

“Kau telah siap?!”

Begitulah akhirnya, tepat di malam hari. Saat bulan sempurnakan lingkaran. Di bawah pohon beringin, yang dikeramatkan. Sarbini mengajak suaminya bercinta. Saat-saat puncak kenikmatan. Tetiba saja, beberapa orang kompoltan Babal melompat dari dahan pohon. Lalu, tanpa iba, mencekik leher Damian—sang pemimpin sihir hingga tewas.

“Dan kau tahu sendiri, apa yang diwujudkan setelah Damian tewas? Dan bagiaman nasib orang-orang Be’ban, tanpa pohon, tanpa mantra, dan tanpa sesajian?”

Segala curiga meski menyala. Meski kepada suami atau istri. Patut dicurigai. Sebab, manusia adalah kumpulan kejahatan yang sedang berpura-pura menjadi kebaikan.

 

Sumber gambar: https://www.deviantart.com/11thoclock/art/The-Banyan-Tree-475012209

  • Semuanya bermula dari kesepakatan. Sepakat untuk menamakan media Kelas Literasi Paradigma Institute, yang bentuknya berupa lembaran, dengan nama Kala. Sejak kelas literasi ini dibuka untuk gelombang kedua, di pertemuan perdana pun sepakat untuk melahirkan media Kala ini. Banyak nama yang diusulkan, tetapi yang disepakati adalah Kala. Sepenggal kata yang diusulkan oleh Rahmat Zainal. Kala, bisa…

  • Pada akhirnya, hanya dua hal; disiplin dan sikap gigih. Biar bagaimanapun jadi penulis harus disiplin. Ini berarti di situ perlu pola, suatu rencana. Agak susah mau sebut disiplin, kalau di situ tidak ada suatu rencana. Penulis, saya kira orang yang punya agenda; dia menghitung, merancang, menetapkan. Dia mengklasifikasi bacaannya. Menulis catatannya. Dan, menyusun tulisannya. Sikap…

  • Pekan ke tujuh, kelas menulis PI agak molor. Hampir dua jam. Kesepakatannya, kelas harus dibuka pukul satu siang. Minggu lalu masih menumpuk beberapa tulisan, makanya perlu tambah waktu. Tapi, kelas dimulai sekira pukul tiga. Kawankawan satu persatu datang. Kelas mulai ramai. Yang buka kelas Heri. Saya, yang diplot jadi ketua kelas memilih bagi tugas. Kebiasaan…

  • Ini pekan yang panjang, terutama Kelas Menulis PI. Sudah jauhjauh hari tulisan diposting, sudah jauh sebelumnya kritik diajukan. FB jadi media, untuk tulisan dapat masukan. Sebelumnya tidak ada macam begitu. Ini hal yang baru. Sudah dua pekan hujan urung berhenti. Langit jadi basah, hitam. Tak sering malah bikin waswas. Apakah kawankawan mau datang, biar pun…

  • Awalnya agak ragu kelas menulis PI tidak jadi digelar. Tibatiba hujan datang. Deras. Tapi, selama berlangsung, kelas PI tidak pernah bolong. Sudah hampir tujuh bulan kelas dibuka. Sekarang, yang diuji konsisten. Juga disiplin. Semangat bisa datang, bisa lapuk, bahkan hilang. Kali ini biar bagaimana pun kelas tak boleh gagal. Pasca hujan reda, gegas berangkat. Semangat…


Kala Literasi

Jl. Pa’ Bentengang No.6, RT.01/RW.08, Mangasa Kec. Tamalate, Kota Makassar, Sulawesi Selatan 90221