Menegok Sejenak Sebuah Kisah Awal dari Pembangunan Bendungan Bili-Bili

Sudah beberapa hari ini nama Bendungan Bili-Bili begitu tenarnya. Musababnya stasiun televisi swasta nasional menguritkan bencana banjir yang melanda Sulawesi Selatan yang di mana salah satu penyebabnya adalah meluapnya air di Bendungan Bili-Bili, sehingga pintu bendungan terpaksa dibuka dan membuat arus dan volume air meningkat di sepanjang Daerah Aliaran Sungai Je’ne Berang.

Selain itu curah hujan yang begitu derasnya—sedari 21 Januari hingga 23 Januari 2019—mengguyur Sulawesi Selatan memperparah banjir yang terjadi di Kabupaten Gowa, Kabupaten Takalar, Kabupaten Je’ne Ponto, Kabupaten Maros, Kabupaten Pangkep, dan Kota Makassar. Salah satu daerah yang paling parah terkena dampak adalah Kabupaten Gowa.

Sebagaimana yang telah saya uraikan sebelumnya, penyebab banjir yang terjadi di Kabupaten Gowa selain curah hujan yang begitu derasnya, juga dikarenakan luapan air dari Bendungan Bili-Bili yang membuat volume air dan arus meningkat di sepanjang Daerah Aliran Sungai Je’ne Berang.

Ketika membicarakan mengenai Bendungan Bili-Bili maka secara tak langsung ingatanku tereduksi pada satu nama, yakni Pak Jamal. Beliau adalah eks Mahasiswa Program Pascasarjana UNM yang menulis tesis tentang Bendungan Bili-Bili : 1992-2016.
Saya masih mengingat, kala sore itu sesaat setelah Pak Jamal melangsungkan prosesi wisuda, di kediaman beliau di bilangan Pallangga, Pak Jamal mengisahkan mengenai ide awal pembangunan Bendungan Bili-Bili. Bersama secangkir kopi dan kudapan ringan, beliau mengisahkan tentang bencana banjir di Ujung Pandang—sebutan untuk Kota Makassar di tahun 1971 sampai dengan 1999.

Pada Bulan Desember 1975 Sulawesi Selatan telah memasuki puncak musim hujan. Kota Ujung Pandang dan Daerah Tingkat II Kabupaten Gowa telah merasakan hujan yang berkepanjangan. Akibatnya dua daerah tersebut menjadi sasaran banjir besar. Musim hujan yang berkepanjangan pada bulan Desember berlanjut hingga bulan Januari 1976. Ada beberapa penyebab banjir tersebut, pertamameluapnya Sungai Je’ne Berang, dan kedua hujan lebat yang tidak sanggup diserap oleh tanah.

Pak Jamal kemudian menghentikan penuturannya. Saya masih mengingat beliau kemudian beranjak dari tempat duduknya dan menuju almari dan mengambil salah satu buku hardcover bewarna merah. Pak Jamal kemudian memberikan kepada saya. Itulah Tesis Magister yang berjudul Bendungan Bili-Bili : 1992-2016. Sembari saya membuka halaman-halaman pertamanya, Pak Jamal kemudian melanjutkan penuturannya yang sempat terpotong.

Untuk merespon masalah banjir yang hampir terjadi tiap tahun, maka pemerintah kala itu berusaha menempuh sebuah langkah strategis, salah satunya perbaikan Daerah Irigasi (DI). Perbaikan tersebut untuk mengelolah air yang melimpah saat memasuki musim hujan. Jadi kala itu, Gubernur Sulawesi Selatan Pak Ahmad Lamo dan Bupati Gowa Pak K.S. Mas’ud memasukkan rencana pembanungan ini dalam repelita I dan II. Proyek ini dikenal dengan nama “Crash Proyek”, inilah cikal bakal dari awal pembangunan Bendungan Bili-Bili.

Pada perkembangan selanjutnya proyek pembangunan Bendungan Bili-Bili terbagi atas empat paket: (1) Paket 1 1986/1988 yang merupakan paket awal berupa survei dan kajian teknis proyek Bendungan Bili-Bili; (2) Paket II 1992/1993 merupakan paket persiapan proyek berupa relokasi, pembebasan lahan, dan perbaikan Jalan Malino; (3) Paket III 1993/1994 merupakan paket pembuatan jembatan dan pelindung tebing sungai; (4) Paket IV 1994/1997 merupakan paket akhir berupa pengerjaan coffer dam utama, bendungan utama, dan bendungan sayap kiri – kanan, spilway, outlet intake, dan fasilitas outlet.

Sembari menyeruput kopi, Pak Jamal menuturkan bahwa tahap awal proyek pembangunan Bendungan Bili-Bili memangsa anggaran sebesar hampir tujuh puluh juta. Angka yang cukup besar pada tahun tersebut. Tak dapat dinafikan bahwa proyek pembangunan Bendungan Bili-Bili memiliki dampak yang besar terutama pada ketersediaan sumber air baku bagi masyarakat yang bermukim di ibukota Propinsi Sulawesi Selatan. Selain itu Bendungan Bili-Bili berfungsi sebagai penyedia air untuk irigasi di tiga daerah; Bili-Bili, Kampili, dan Bissua.

Megahnya Bendungan Bili-Bili yang selesai pembangunannya tahun 1999 silam telah banyak berkontribusi terhadap kehidupan masyarkaat di sekitar, namun pada kenyataannya setiap musim hujan Bendungan Bili-Bli dan Daerah Aliran Sungai (DAS) Je’ne Berang sering menjadi bahan perbincangan; mulai soal sedimentasi, kekeruhan air, kekuatan dan kapasitas daya tampung. Beberapa kali masyarakat Kabupaten Gowa dan sekitarnya pernah merasa cemas atas daya tahan bendungan (baca : takut jebol) kala diterjang lumpur longsoran dari Gunung Bawakaraeng dan curah hujan yang begitu tinggi di tahun 2004.

Sebenarnya ada satu kisah menarik yang ingin dibagi Pak Jamal kala itu, yakni sisi-sisi sosial yang jarang terungkap di balik proses pembangunan Bendungan Bili-Bili. Seperti perasaan emosional masyarakat yang harus direlokasi, prosesi penenggelaman pemukiman penduduk (pengisian waduk), dan nasib penduduk yang terdampak dari pembangunan Bendungan Bili-Bili terutama persoalan ganti rugi lahan. Tapi karena waktu yang harus memisahkan saya dan Pak Jamal kala itu, maka mungkin kisah itu kelak akan dibagi di lain waktu.

Rujukan
Ahmad Rifqi Arsib, dkk., 2011. South Sulawesi-Dampak Longsran Kaldera terhadap Tingkat Sedimentasi di Waduk Bilii-Bili Provinsi Sulawesi Selatan. Jurnal Ann Anesthesiol Fr.

Bidang Pengairan. 1992. Profil Kegiatan Pembangunan Bidang Pengairan di Provinsi Sulawesi Selatan. Makassar : Bagian Proyek di Sulawesi Selatan.

Dep. Pekerjaan Umum. 1995. Bendungan Besar di Indonesia. Jakarta : Departemen Pekerjaan Umum

Jamaluddin. 2018. “Bendungan Bili-Bili : 1992-2016”. Tesis. Makassar : Program Pascasarjana UNM

  • Parasnya lelah. Mukanya sendu, keringatnya cucur. Di penghujung pukul sembilan malam suaranya berubah parau. Awalnya, perempuan ini bersemangat memimpin forum. Namun, waktu berderap, energi banyak dikuras, forum masih panjang. Di waktu penghabisan, Hajrah merapal karya tulisnya. Kali ini gilirannya. Satu persatu huruf diejanya. Tulisannya agak panjang. Kali ini dia menyoal masyarakat tanpa kelas perspektif Marx.…

  • Semuanya bermula dari kesepakatan. Sepakat untuk menamakan media Kelas Literasi Paradigma Institute, yang bentuknya berupa lembaran, dengan nama Kala. Sejak kelas literasi ini dibuka untuk gelombang kedua, di pertemuan perdana pun sepakat untuk melahirkan media Kala ini. Banyak nama yang diusulkan, tetapi yang disepakati adalah Kala. Sepenggal kata yang diusulkan oleh Rahmat Zainal. Kala, bisa…

  • Pada akhirnya, hanya dua hal; disiplin dan sikap gigih. Biar bagaimanapun jadi penulis harus disiplin. Ini berarti di situ perlu pola, suatu rencana. Agak susah mau sebut disiplin, kalau di situ tidak ada suatu rencana. Penulis, saya kira orang yang punya agenda; dia menghitung, merancang, menetapkan. Dia mengklasifikasi bacaannya. Menulis catatannya. Dan, menyusun tulisannya. Sikap…

  • Pekan ke tujuh, kelas menulis PI agak molor. Hampir dua jam. Kesepakatannya, kelas harus dibuka pukul satu siang. Minggu lalu masih menumpuk beberapa tulisan, makanya perlu tambah waktu. Tapi, kelas dimulai sekira pukul tiga. Kawankawan satu persatu datang. Kelas mulai ramai. Yang buka kelas Heri. Saya, yang diplot jadi ketua kelas memilih bagi tugas. Kebiasaan…

  • Ini pekan yang panjang, terutama Kelas Menulis PI. Sudah jauhjauh hari tulisan diposting, sudah jauh sebelumnya kritik diajukan. FB jadi media, untuk tulisan dapat masukan. Sebelumnya tidak ada macam begitu. Ini hal yang baru. Sudah dua pekan hujan urung berhenti. Langit jadi basah, hitam. Tak sering malah bikin waswas. Apakah kawankawan mau datang, biar pun…


Kala Literasi

Jl. Pa’ Bentengang No.6, RT.01/RW.08, Mangasa Kec. Tamalate, Kota Makassar, Sulawesi Selatan 90221