Survei dan quick count itu prediksi, begitulah cara kerja matematika. Tak puas? Bantah dengan temuan yang lebih kuat, bukan dengan status Facebook.
—————-
Banyak pelawak yang terus saja meragukan hasil quick count perolehan suara kandidat presiden dan wakil presiden dari sejumlah lembaga survei. Saya menyebutnya pelawak, karena berkoar-koar tentang adanya upaya pembentukan opini dari lembaga survei tersebut karena dianggap hasil belum final. Padahal lembaga survei tersebut tidak pernah mengatakan hasil survei dan quick count-nya sudah final. Itu lucu sekali.
Jika lembaga survei tersebut mengatakan, tingkat akurasi dari hitung cepatnya cukup tinggi, itu karena mereka percaya terhadap metodologi dan hitung-hitungan statistik yang mereka terapkan. Tapi namanya tingkat akurasi, itu bukan penegasan soal absoluditas dari capaian perhitungan mereka. Akurasi punya makna: kemungkinan ketepatannya tinggi. Jadi hanya kemungkinan, bro.
Mengapa hanya kemungkinan? Karena matematika itu memang punya fungsi mengukur dan meramal masa depan. Karena ada rumus yang diciptakan untuk mengukur dan meramal masa depan, maka matematika punya kemampuan menghasilkan sebuah kesimpulan sebelum kesimpulan itu dikuak sendiri oleh waktu.
Matematika yang memiliki kemampuan mengukur dan memprediksi, sekaligus membuat matematika dapat mengatasi ruang dan waktu. Ketika ada yang bertanya, mengapa hanya melalui ribuan sampel lantas pekerja survei itu bisa mengetahui perolehan suara capres? Padahal di TPS ku Prabowo menang, kok hasil quick count menyatakan Jokowi menang? Ini pertanyaan dungu. Apalagi hasil quick count mau dibandingkan dengan hasil perolehan suara di kampung Anda. Matematika memang fungsinya seperti itu. Mengukur, memprediksi, melalui keketatan metodik, juga melalui kaidah formal dan logis. Sehingga sanggup mengatasi batas ruang dan waktu.
Ribuan tahun yang lalu ilmuan Islam bernama Abu Rayhan al-Biruni menemukan diameter Bumi, suatu hal yang tak pernah dibayangkan oleh seseorang di zamannya. Bagaimana caranya? Tentu tak harus mengelilingi Bumi, itu pekerjaan yang melelahkan. Seperti tak perlu pekerja survei mengumpulkan suara dari TPS di seluruh Indonesia hanya untuk memprediksi perolehan suara capres. Statistik hanya perlu sampel. Dan Al-Biruni hanya butuh rumus trigonometri, alat ukur bernama Astrolabe, dan ukuran tinggi gunung. Pertama-tama Al-Biruni mencari jari-jari Bumi yang saat itu hasilnya 6.335,725 km.
Kemudian mengukur keliling bumi dengan rumus keliling lingkaran. Dan hasil hasilnya, 40.075 km. Lantas bagaimana dengan ketepatannya? Berdasarkan perhitungan sains modern, keliling bumi yang diakui saat ini adalah 40.075,071 km. Ketepatannya nyaris, nyaris, nyaris akurat. Rumus trigonometri yang digunakan Al-Biruni pun bisa Anda pakai untuk mengukur ketinggian sebuah tebing tanpa harus memanjatnya. Bahkan Anda bisa mengukur lebar sungai tanpa harus menyeberanginya terlebih dahulu.
Sebagaimana quick count bisa Anda gunakan untuk memprediksi perolehan suara tanpa harus mengumpulkan seluruh suara di seluruh Indonesia, melalui statistik. Tentu ketepatannya tergantung bagaimana rumus dan metodologi yang diterapkannya. Apakah bisa dibantah? Sangat bisa. Sekali lagi, ini soal prediksi dan pengukuran. Hasilnya pun mungkin benar dan mungkin salah. Persoalannya adalah dengan cara apa Anda membantahnya. Kalau kritikan Anda hanya sebatas opini di Facebook dan keraguan tak berdasar, lantas Anda mau membantah hasil quick count yang sudah punya keketatan logis yang lebih tinggi levelnya daripada sekadar opini, maka lebih baik Anda pergi tidur saja.
Saya kasih tahu yah. Karl Popper sudah memberi ruang bagaimana caranya membantah hasil kesimpulan sains melalui metode falsifikasi. Yakni membantah temuan itu dengan cara menggugurkannya. Tentu, untuk menggugurkan suatu teori dan temuan sains, Anda harus punya teori, metode yang lebih kuat dibanding temuan yang Anda ingin salahkan.
Hipotesa apapun bisa Anda gunakan sejauh punya dasar yang kuat. Feyerabend sudah pernah mencetuskan pluralitas metodik dalam ilmu pengetahuan, melalui teori ‘anything goes’. Maksudnya adalah, metode apa saja boleh Anda gunakan dalam membantah teori sebelumnya. Tapi berhasil atau tidak, diukur dari sejauh mana cara Anda membantahnya. Anda mau membantah hasil quick count? Lakukan dengan quick count, atau cara apapun sejauh dapat dipertanggungjawabkan.
Bukan hasil quick count yang hanya berbentuk klaim tanpa transparansi metodologi dan sampel. Tapi, benar-benar sebanding dengan seluruh struktur keketatan yang diterapkan dari quick count yang Anda ingin bantah. Kalau tidak bisa, silakan tunggu hasil hitungan dari KPU. Dan berdoa, semoga hasil quick count dari sejumlah survei itu salah.