Aku sungguh melihat
Sang Kebenaran
Dalam realitas-realitas
Dalam nama-nama
Aku tidak melihat semuanya
Kecuali Aku
–Ibnu Arabi–
Puisi punya sejarah panjang. Di Sumeria (Mesopotamia—Irak) milenium ke-3 SM sebuah epos gilgamesh disinyalir sebagai puisi pertama. Ia ditulis dalam bentuk baji dan tablet tanah liat. Kemudian papirus ditemukan, di sana syair-syair indah dituliskan selanjutnya.
Epos gilgamesh, syair-syairnya tidak menceritakan ihwal romantika manusia. Bait-baitnya, menguraikan asa persahabatan antara Gilgamesh dan Enkidu. Enkidu, sosok ciptaan dewa-dewa. Alam liar adalah kehidupannya. Ia tercipta menjadi penanding Gilgamesh yang semena-mena pada orang kecil. Enkidu adalah titisan langit untuk melawan penindasan Gilgamesh. Namun perjalanannya, mereka bersahabat dan melakukan banyak penaklukan. Dewa marah, Enkidu dihukum mati.
Puisi adalah salah satu karya sastra tertua dalam sejarah manusia. Awalnya, puisi dan syair-syair banyak menarasikan mitologi. Mengungkapkan kebijaksanaan semisal dalam Tao dan Konfusius. Puisi muncul di antara catatan-catatan paling awal kebudayaan manusia. Dalam kata-kata puisi merekam peristiwa. Melalui puisi, kita dapat ikut melihat isi pikiran penyair dan merasakan apa yang ia alami sehingga dapat melacak sejarah hidup seorang penyair bahkan sejarah suatu bangsa.
Di tahun 400-an SM, perjalanan puisi, tak bisa pula dilepaskan dari nama Platon. Bukan karena Platon seorang yang sangat memuja puisi, namun sebaliknya ia sangat tidak respek pada puisi. Kita tahu dalam filsafatnya, Platon membagi dua dunia. Dunia atas (idea—segalanya kebenaran) dan dunia bawah yang materi, penampakan dari dunia atas (imitasi—doxa).
Puisi berpijak pada dunia bawah. Kata-katanya merupakan ekspresi dari dunia imitasi. Puisi adalah imitasi dari imitasi. Puisi adalah penampakan dari penampakan. Kebenaran apa yang bisa diharapkan dari dua kali lipat dari penampakan? Tak ada, selain kekacauan dan jauh dari cahaya. Puisi semakin menjauhkan dari yang idea. Intinya puisi tak mampu menarasikan kebenaran. Satu-satunya juru bicara kebenaran adalah filsafat. Demikian Platon kira-kira melihat puisi.
Seperti menghiraukan pandangan Platon. Manusia setelahnya tetap memakai puisi menarasikan apa yang mereka rasakan. Mengungkapkan situasi (ahwa) jiwa dalam syair indah. Merangkai kata-kata untuk menuturkan kenyataan.
Begitu pentingnya puisi sebagai bagian hidup manusia. Filosof muslim semisal Al-Farabi dan Ibnu Sina memberikan perhatian khusus terhadap puisi. Puisi adalah diskursus imajinatif. Puisi merupakan tiruan (imitasi) dari objek. Dan puisi yang terbaik jika mengandung imitasi terlengkap dari realitas.
Filosof muslim melihat puisi semisal analogi (tamtsil) atas realitas. Karenanya ia analogi, puisi adalah cabang dari logika. Ia mengandung silogisme walau berbeda dengan silogisme pada umumnya. Silogisme puisi tidaklah rigid dan runtut.
Puisi adalah diskursus imajinatif. Ibnu Sina berujar, sepanjang puisi itu diskursus imajinatif, ia menjadi perhatian ahli logika. Atau ahli logika mengkaji puisi sepanjang ia imajinatif. Imajinatif imitatif demikianlah sifat dasar puisi.
Lalu yang imajinatif itu seperti apa? Filosof muslim menguraikan:
“Yang imajinatif adalah yang kepadanya jiwa tunduk sedemikian rupa sehingga ia “senang” karena hal-hal tertentu dan tertekan karena hal-hal lainnya, tanpa penalaran….terlepas apakah objek diskursus itu benar atau salah”.
Melihat uraian ihwal imajinatif di atas, sepertinya sesuatu yang imajinatif memengaruhi jiwa lepas dari pemikiran rasional dan mengabaikan benar-salah. Jika puisi adalah seni imajinatif murni, maka puisi sepertinya tak berurusan dengan benar dan salah.
Lalu bagaimana bisa filosof muslim memasukkan puisi menjadi bagi bagian logika? Tidakkah logika seperangkat kaidah untuk membedakan yang benar dari yang salah dan untuk menarik dari tidak diketahui menjadi diketahui.
Jawabnya, imajinasi punya dua “fungsi”. Ia bisa independen (an sich) dapat pula ia terikat dengan kaidah-kaidah intelek praktis. Terikat intelek praktis imajinatif masuk dalam ranah logika. Di sini puisi menjadi bagian dari logika.
Walau puisi adalah imitasi tapi imitasi puisi hanya menyentuh sesuatu yang eksistensinya ada dan mungkin. Dengan demikian, puisi berada pada pijakan alam keniscayaan. Barangkali puisi tak mungkin benar-benar berangkat dari yang imajinatif murni tanpa terikat oleh intelek (batasan rasional)
Seorang penyair dalam menuliskan puisi tentunya tetap mengikatkan diri pada realitas ada. Sebab bagi filosof muslim, sebuah kekeliruan bagi penyair yang melakukan imitasi pada hal-hal yang tidak ada. Atau meniru hal-hal yang ada namun menyelewengkan dari sesungguhnya ada. Tak pelak lagi, bagi filosof muslim melihat bahwa subjek puisi adalah nyata. Hal ini memudahkan fungsi etis puisi. Agar seseorang terpengaruh dengan puisi ia harus menyadari sesuatu itu nyata.
Ibnu Sina menjelaskan, yang maujud dan mungkin maujud lebih meyakinkan jiwa daripada yang bukan maujud atau mustahil. Puisi lebih meyakinkan bila ia berangkat dari pengalaman maujud. Puisi terasa “abadi” dalam jiwa jika ia benar-benar berangkat dari maujud.
Ilustrasi: https://goodvibeblog.com/stretch-imagination/