Gerakan literasi sejatinya bukan hanya tentang menulis dan membaca. Namun ia bisa dibilang hal yang paling elementer dari literasi. Membaca dan menulis memiliki beberapa maqam. Pertama ia adalah penuntasan buta aksara. Ini level rendah dari literasi. Kedua membaca dan menulis karena tuntutan profesi. Yang ini bisa dikatakan karena kerjaan yang menuntutnya. Ketiga karena kebutuhan jiwa. Inilah maqam tertinggi.
Pada tingkatan ketiga inilah, membaca dan menulis memiliki posisi yang vital pada manusia. Kira-kira pada level ketiga ini, memiliki relevansi seruan iqra dalam al-Quran. Membaca adalah asupan untuk jiwa agar kaya nutrisi. Sedangkan menulis upaya untuk berbagi nutrisi kepada jiwa yang lain. Pada level ketiga ini, membaca dan menulis adalah upaya menemukan diri. Upaya memahami diri dan orang lain.
Membaca dan menulis sejatinya dua hal bertautan. Dalam tradisi wahyu misalnya, bisa kita lihat bagaimana para nabi setelah membaca “pikiran” Tuhan, kemudian hasil membaca kalam Tuhan itu dituliskan. Kemudian hasil tulisan kita namai kitab. Apa jadinya jika “pikiran-pikiran” Tuhan tak diabadikan dalam bentuk tulisan? Bisa jadi kita akan kehilangan banyak pemaknaan akan Tuhan. Kehilangan memahami apa “maunya” Tuhan atas alam semesta dan manusia.
Seandainya tidak ada Platon yang menuliskan, mungkin Socrates menjadi hilang dari peradaban. Kita tak akan mengenal model berfilsafat melalui dialog. Kita tidak menemukan cara “mengeluarkan” pikiran orang lain dan menjumpai pengetahuannya sendiri. Persis seperti bidan yang mengeluarkan anak dari rahim.
Kita tidak bisa menikmati cerita-cerita kosmologis Sulawesi Selatan khususnya Luwu dalam I Laga Ligo, tanpa kegigihan Colliq Pujie menuliskannya. Intinya banyak karya yang bisa kita nikmati sekarang ini, dilatarnya ada ketekunan dalam menuliskannya.
Menulis upaya untuk mengabadikan bacaan. Sedang membaca upaya untuk memperkaya tulisan. Jadi sekali lagi keduanya dua hal saling terkait. Tanpa membaca proses menulis kehilangan kreativitas dan ide yang dalam. Tanpa dituliskan bacaan akan “terbang” begitu saja. Ia tidak akan abadi. Dengan menuliskan ilmu pengetahuan dari bacaan akan terikat. Seperti kata Imam Ali, ikatlah pengetahuan dengan menuliskannya.
Akhir-akhir ini, patut disyukuri. Gerakan literasi menjamur. Hampir setiap komunitas melakukannya. Mulai bertaraf internasional hingga skala lokal. Tujuannya memperkenalkan pentingnya membaca tentunya juga menulis. Di persamuhan tersebut diundanglah para pesohor literasi jadi pembicara. Kadang kala yang dibicarakan proses kreatif dalam menulis, bagaimana meramu ide-ide lalu mengikatnya menjadi tulisan utuh. Tapi setiap pembicaraan selalu ditutup dengan kalimat pamungkas tak ada tulisan yang baik dan dalam akan gagasan tanpa ketekunan membaca.
Sisi lain dari kegiatan literasi yang ada bukan berarti tanpa cacat–titik lemah. Titik lemah itu terlihat, jika kegiatan literasi berubah menjadi sekadar pesta. Perayaan yang sejatinya minus literasi. Literasi menjadi trend alias gaya hidup yang dangkal secara literasi. Kegiatan literasi sekadar menjadi rutinitas tahunan tanpa memiliki agenda yang konkret. Misalkan setiap kegiatan literasi mampu melahirkan produk. Apakah penulis baru atau karya baru. Sehingga kegiatan itu punya tugu ingatan. Atau yang paling sederhana mungkin adalah gerakan kumpul buku yang bisa disumbangkan ke perpustakaan desa.
Sisi cacat selanjutnya, sejauh penulis amati ialah pelaksana atau panitia dari kegiatan literasi biasanya tidak akrab dengan buku-buku. Apalagi tulis-menulis. Barangkali, ini juga yang membuat kegiatan literasi itu tidak punya ide-ide konkret. Tidak punya arah gerakan literasi selain hanya menjadi pesta. Sampai kapan pun jika ini yang terjadi, kita tidak menemukan arah perubahan. Bahkan ke depan bisa jadi kegiatan literasi menjadi “proyek” untuk kepentingan profit.
Mulailah dari diri sendiri baru orang lain. Kalimat ini menjadi relevan di setiap level hidup manusia. Kira-kira jika kalimat ini digunakan dalam ruang literasi, bisa digubah seperti ini. Biaskan membaca dan menulis dari diri sendiri kemudian mengajak orang lain untuk melakukannya. Akrabkanlah diri dengan buku kemudian ajak orang lain akrab pula dengan buku. Simpulannya, untuk menjadi pegiat literasi. Langkah pertama dan utama, kita terlebih dahulu yang harus melakukannya.
Membaca dan menulis memang buka segalanya. Tapi jika telah mengikrarkan diri sebagai pegiat literasi, maka hukumnya menjadi sangat penting—untuk tidak mau menyebutnya wajib. Sebab sekali lagi ia adalah elemen dasar dari gerakan literasi. Ia seperti fondasi dalam bangunan rumah. Menjadi dasar untuk dinding dan atap serta segala ornamen-ornamen di dalamnya.
Ilustrasi: https://natlib.govt.nz/blog/posts/media-and-information-literacy-in-critical-times