Kuliah (Sekolah), untuk apa?

Sekarang musim daftar kuliah. Ini bisa jadi berita gembira ataupun berita yang manyayat hati bagi calon dan keluarga calon mahasiswa. Gembira bagi yang lulus dan mampu membayar biaya kuliah. Derita bagi yang tak lulus, dan jalan satu-satunya untuk kuliah, lewat jalur mandiri. Itupun kalau ada koneksi dan isi tas untuk biaya kuliah jalur Mandiri. _Hmmmm, Mandiri.. tapi bukan Bank Mandiri yang hari ini down sistemnya_ 😂. Mandiri adalah salah satu jalur prestise masuk kampus Negeri. Prestise dengan bayar yang lebih aduhai.

Kalau saat ini saya baru masuk kuliah, sudah dipastikan tidak akan mampu masuk lewat jalur Mandiri. Maka harus bersaing merebut “Golden Ticket” Bidik Misi agar bisa kuliah. Jalur Bidik Misi adalah harapan bagi kaum yang mumpuni kecerdasan akademik namun kurang beruntung dalam hal finansial. Negara memfasilitasinya lewat jalur ini. Semoga jalur ini tidak dimasuki siluman. Sebagaimana yang terjadi pada jalur Mandiri pada umumnya. 😁

Tahun 2005 saat resmi berstatus Sarjana Sains Matematika. Saya membaca tulisan Bob Black, Penghapusan Dunia Kerja. Yang menyebabkan saya mengurungkan niat ikutan wawancara di salah satu perusahaan raksasa di Makassar. Saat kuliah tidak serius-serius amat, kecuali saat menjelang selesai, menjelang persentasi tugas akhir. Saya lulus dengan durasi hampir maksimal 6 tahun 8 bulan. IPK tiga koma sembilan……………..

belas. Alhamdulillah. “Baru ka santai-santai kuliah IPK-ku sudah setinggi itu” Apalagi kalau serius. 😁 Sahutku pada teman2 di bawah beton jamur Matematika UNM bersama teman-teman ngobrol di bawah naungan Jamur beton itu.

Kemarin LDSI Al Muntazhar menggelar diskusi tentang Kerja dan Rev. Industri 4.0. Mengingatkanku pada tulisan Bob Black. Saya memulai pembicaraan dengan mengutip sana-sini uraian Bob Black tentang “Penghapusan Dunia Kerja”. Awalnya kukira peserta diskusi akan resisten, ternyata sebagai besar mengamini analisa Bob.

Pada diskusi itu, saya mengambil kasus-kasus yang saya dan teman-teman alami di dunia kerja. Apapun profesi pekerjaannya, yang sok santai (pelapak online), ataupun pekerja kantoran yang sebenarnya bekerja bukan 8 jam perhari atau minimal 35 jam perminggu. Tetapi 24 jam perhari selama seminggu. Sesekali menertawai diri sendiri “sebagai pengamen hasil bacaan dan pelajaran” di salah satu kampus negeri di Makassar.

Dalam diskusi tersebut, saya kemukakan bahwa, akhir-akhir ini Kerja telah mengalami reduksi yang sangat dalam. Orang tidak akan dikatakan kerja kalau tidak berkantor, dengan jam kerja paten 08.00-17.00. Paling mutakhir tidak dikatakan kerja kalau bukan PNS. Maka wajar antrian pendaftaran CPNS akan melimpah.

Tapi pada prinsipnya kerja yang kita pahami selama ini adalah yang ada kantor (ataupun yang online berkantornya cukup bayar kopi di warkop atau cafe), ada jam kerja, ada bos, ada jobdesk, ada target, dst. Prinsip inilah menurut Bob Black yang melanggengkan sistem kerja penindasan kapitalisme a la fasisme pabrik. Yang mana setiap orang yang terlibat di dalamnya mengalami dehumanisasi, alieansi diri dan ketertindasan.

Terdehumanisasi karena kita dipaksa diam atau terpaksa diam atas keburukan-keburukan yang terjadi dalam lingkungan kerja. Kita ketahui ada penyelewengan, ada korupsi, ada kebiadaban tetapi apa daya kita memperbaikinya dan mengubahnya. Melawan secara frontal akan memberikan implikasi panjang pada nasib kita.

Nah, kita yang terlanjur larut dan terdehumanisasi dalam dunia kerja. Tanpa berani mempertanyakan apa sebenarnya kerja? Untuk apa dan siapa, tujuannya apa? Akan diam-diam saja dan merasa semua hal berjalan normal-normal saja. Padahal jika dicermati dengan seksama kerja dan institusinya telah banyak merusak relasi-relasi kemanusiaan kita.

Nilai kemanusiaan yang paling mendasar adalah kebebasan. Dan dalam dunia kerja tiada lagi kebebasan. Catat, tiada lagi kebebasan. Sejak menandatangani kontrak kerja, maka pada saat itu kita menggadaikan kebebasan kita. Hal paling mungkin kita lakukan adalah mencuri kembali sedikit demi sedikit kebebasan itu yang telah dirampas oleh dunia kerja.

Berapa jam kita bekerja /hari? 8 jam, tidak. Sebenarnya 24 jam per hari.

Seorang bapak yang bekerja bukan hanya dia yang akan terlibat dalam dunia kerja. Istrinya akan menyetrika bajunya, memasak masakan bergizi agar berstamina prima. Pun, istirahat kita di siang hari dan malam hari adalah rangkaian dunia kerja. Agar esok hari, bisa fit and fresh lagi masuk kerja. Demikian seterunsya dan seterusnya berputar. Berlibur pun adalah rangkaian dari merefresh ketegangan kerja. Semua adalah rangkaian dunia kerja.

Lalu buat apa kita Sekolah, Kuliah? Apakah hanya sekadar memperpanjang barisan perbudakan dunia kerja? Atau sesekali menginterupsinya. Interupsi dengan event-event budaya, diskusi, meditasi, atau lainnya.

Sekolah sebenarnya adalah bahan kayu bakar dari “fasisme pabrik”. Apalagi sekolah atau kampus yang tujuan tunggalnya sekadar untuk menciptakan ‘Worker‘ bukannya ‘Human‘. Institusi sekolah lah yang mengajarkan disiplin dan kadang menkondisikan ketaatan total tanpa interupsi pada suatu aturan. Jika sekolah atau kampus sudah demikian, maka tak ada bedanya dengan penjara. Dan oara pengelola kampus adalah sipir.

Karena untuk merealisasikan tawaran Bob Black yang begitu radikal butuh perjuangan dan nafas yang panjang.

Saya justru melihat tawaran Bob, dapat ditelusuri pada jejak-jejak kehidupan kaum sufi. Yang bekerjanya dilakukan dengan riang gembira, bukan atas paksaan dan intimadasi. Kerja yang bermartabat adakah kerja yang dilakukan dengan riang gembira ibarat dunia permainan yang didalamnya ada konsensus yang sifatnya sukarela. Yang apabila ada teman bermain yang “curang” atau menyalahi konsensus bersama bisa kita tegur ramai-ramai dengan santai dan tanpa dendam.

Singkat cerita….

Pada sesi penutup diskusi saya bertanya pada audience. Yang bekerja ataupun yang berniat bekerja, Anda sebenarnya mencari apa dipekerjaan, uang atau rejeki? Kekayaan atau kesejahteraan?

  • Kurang lebih lima tahun silam, kami pernah menyatukan diri dalam sebuah komunitas belajar yang pesertanya para orangtua dan calon orangtua, laki-laki dan perempuan. Mereka memiliki tekad dan keinginan besar untuk berubah. Bagi yang belum menjadi orangtua, mereka ingin melakukan persiapan dengan sebaik-baiknya agar siklus pengalaman buruk dalam hidupnya tidak berulang kembali. Di antara mereka bahkan…

  • Sejumlah penghadir terkesan dengan tayangan twibbon ucapan selamat atas peluncuran buku, Empati untuk Kebaikan Baru, di Aula KPU Bantaeng, 25 Desember 2021. Ketika salah satu gambar menunjukkan seeokor kucing ikut memberikan ucapan selamat, tidak sedikit penghadir heran bin takjub. Lebih dari seorang ikut tersenyum lalu terkekeh. Lainnya, menabalkan ungkapan,  “Wow.. ommale, kungai nakke jeka. Oh…

  • Dalam suatu diskusi di hadapan beberapa pasang mata orangtua, seseorang mengajukan satu pertanyaan, “Bagaimana agar anak-anak mereka di rumah mau mendengarkan kata-kata orangtuanya?” Sebentuk kegundahan yang umum kita jumpai menghinggapi hati dan benak banyak orang dewasa selama ini. Dalam usaha mencari jawabannya, orangtua telah mencoba berbagai trik dan metode pendekatan yang diperkirakan akan efektif memberikan…

  • Tas selempang berisi laptop dan sebuah buku ketinggalan di mobil angkutan umum. Untungnya, sopir mobil tersebut saya kenal. Maklum saja, saya sudah berlangganan cukup lama. Lebih dari lima tahun. Ini hanya salah satu mobil langganan. Paling tidak, ada sembilan sopir yang siap saya kontak, tatkala akan melakukan perjalanan dari Makassar ke Bantaeng atau sebaliknya. Bergantung…

  • Tahun 2021 ini merupakan tahun dukacita bagi seluruh bangsa Indonesia. Beberapa kasus yang mencuat di tengah perjalanannya menjadi peringatan akan rentannya tingkat keamanan mereka. Baik yang masih berusia di awal tahun-tahun sekolah ataupun pada mereka yang berusia remaja jelang dewasa. Kejadian yang tidak lagi mengenal batasan ruang dan status pelaku. Ada ayah yang memangsa putrinya,…


Kala Literasi

Jl. Pa’ Bentengang No.6, RT.01/RW.08, Mangasa Kec. Tamalate, Kota Makassar, Sulawesi Selatan 90221