“Jika ingin menghancurkan sebuah bangsa dan peradaban, hancurkan buku-bukunya; maka pastilah bangsa itu akan musnah,” kata Milan Kundera. Namun hari ini, di Makassar, kita tak menyaksikan buku dibakar karena perang saudara sebagaimana yang terjadi di Alexandria. Pun kita tak menyaksikan buku dibuang ke sungai sebagaimana yang dialami ratusan ribu koleksi perpustakaan kerajaan Islam di Baghdad. Namun kita bisa bersepakat, pelarangan buku tak ada bedanya ketika buku dibakar atau dibuang ke sungai: sama-sama metode penghancuran sebuah bangsa dan peradaban.
Anda pasti sudah tahu. Saya menyinggung peristiwa miris yang lagi viral di jagat maya. Gerombolan yang mengatasnamakan dirinya Brigade Muslim Indonesia (BMI) Sulsel melakukan sweeping buku berpaham komunisme, marxisme dan leninisme di toko buku Gramedia di salah satu Mal di Makassar. Dengan gaya bak pahlawan dan sok tahu, mereka sedang menyicil kehancuran sebuah peradaban.
Bagi Anda yang tak resah, mungkin dengan enteng bisa mengatakan, “hanya menyita”. Tapi bagi kami yang menganggap ini serius, gerombolan itu punya semangat yang sama dengan penghancuran buku di sejumlah peradaban besar di masa lalu: dogmatisme dan sentimentalisme. Yah, tak sesederhana kata ‘menyita’. Perkara ini bukan seperti seorang guru yang menahan smartphone siswanya karena main PUBG Mobile saat pelajaran berlangsung. Ini perkara hak dan kebebasan publik mengakses buku. Gerombolan ini ingin buku yang dianggap berlawanan dengan akidah dan ideologinya tidak beredar.
Motivasi mereka jelas tak jauh beda dengan gerombolan kristiani yang membunuh Hypatia dan membakar perpustakaan di periode akhir kejayaan Alexandria pada abad 4 Masehi. Mereka menganggap Hypatia sesat, karena berusaha menguak misteri semesta melalui riset-riset ilmu pengetahuan dan filsafat. Sementara kaum kristiani masa itu hanya mengakui doktrin agama sebagai satu-satunya sumber pengetahuan: di luar itu, menentang firman Tuhan.
Atau mereka tak jauh beda dengan gerejawan abad skolastik yang tak ingin buku Abelard, Introductio ad Theologiam, beredar bebas karena dianggap menyimpang dari ajaran. Buku filsuf sekaligus teolog itu dibakar dan penulisnya dipenjara. Gerombolan itu perlu tahu jika abad kegelapan sudah lewat. Ini bukan zaman Paus Paulus IV yang pada 1559 lalu menerbitkan Index Librorum Prohibitorum (Daftar Buku-buku Terlarang) untuk melindungi iman sebuah kaum.
Sekarang kita hidup di sebuah tatanan dunia di mana menjual, membeli dan membaca buku adalah hak segala bangsa. E-book untuk buku-buku marxisme sudah beredar luas di dunia maya dan bisa didownload gratis. Penelitian ilmiah tentang marxisme sudah banyak meluluskan sarjana hebat. Artikel tentang marxisme sudah beredar luas di banyak website dan blog pribadi. Buku-buku marxisme terpajang rapi di perpustakaan kampus. Percuma ‘main larang-larang’. Itu bikin geli dan memuakkan.
Sebenarnya saya ingin menulis banyak hal. Namun saya ingin fokus pada tujuan utama saya: mengajak para komunitas literasi dan pelapak buku untuk tidak diam. Ayo melawan. Mereka sudah berani mengutak-atik Gramedia. Tak menutup kemungkinan mereka datang ke toko buku kecil. Maka dengan ini saya mengajak, jika kelompok seperti ini datang ke toko buku Anda, pertahankan apa yang menjadi hak dan rezeki Anda.
Putusan Mahkama Konstitusi pada 2010 lalu menyatakan UU No 4/PNPS/1963 tentang Pengamanan terhadap Barang-barang Cetakan yang Isinya Dapat Mengganggu Ketertiban Umum bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Razia buku ilegal. Jangan beri kesempatan pada kelompok seperti ini berbuat sesukanya, apalagi tanpa izin.
Memangnya membaca marxisme otomatis membuat seseorang menjadi komunis? Saya, membaca beberapa buku berpaham marxisme, justru membuat saya tak sepakat dalam beberapa hal terhadap diskursusnya. Tapi bagaimana pun buku-buku marxisme itu penting untuk perkembangan ilmu pengetahuan. Pun patut dikenang sebagai warisan dunia. Tak ada yang boleh mengganggu jalannya perkembangan pemikiran dengan razia buku. Itu sama halnya melecehkan wibawa ilmu pengetahuan, yang paling berperan dalam pembentukan peradaban.
Terakhir. Terkhusus yang suka sweeping buku. Anda bisa saja punya massa yang bisa digerakkan untuk menyita buku. Tapi Anda tak akan mungkin membendung rasa ingin tahu manusia. Setiap masa akan ada generasi yang akan kembali mengkaji marxisme, atau pemikiran paling gila dan ateis sekalipun. You yang tak mau ingin tahu dan tak mau membaca buku tak usah mengajari publik mana boleh dan tak boleh. Sebab mereka akan membaca atas dorongan ingin tahunya sendiri. You mau bodoh silakan. Tapi Anda tak punya wewenang melarang orang untuk pintar.
Kopi, mana kopi….
Sumber gambar: https://falkvinge.net/2017/10/20/british-lawmakers-announce-15-years-prison-reading-banned-literature/