Seorang guru terburu-buru keluar dari kelas menuju ruang kantor. Ia duduk sambil berkata
“Miss, ada masalah tadi di kelas. Saya tidak tahu apakah ini masalah besar, tapi menurutku harus saya jelaskan di sini.”
Saya dan dua orang staf di kantor pun terdiam, dengan rasa cemas saya mendengarkan penuh perhatian informasi yang ia sampaikan. Ia bercerita jika sewaktu mengajar, antara siswa A dan B terjadi clash, karena perbedaan pendapat mengenai penilaian tugas yang diberikan. Lalu si B mengancam, tidak akan mengerjakan tugas, walau ia akan mendapatkan nilai nol, tetap ia terima. Akhir cerita, si guru tetap mengambil keputusan atas voting siswa terbanyak daripada memilih keinginan si B. Kami pun berjanji akan mengkomunikasikan masalah itu.
Sebenarnya, masalah ini tidak sebesar yang guru pikirkan. Hal ini wajar, melihat kondisi siswa berjumlah enam orang dengan latar belakang masalah berbeda belajar secara bersama. Sama halnya ketika mereka berada di sekolah formal, tempat mereka sebelumnya bersekolah. Namun, karena mereka berada di Home Schooling, sekolah non-formal, maka masalah seperti ini terlihat besar. Demi menciptakan kedamaian pasca kehebohan guru itu saya berkata, “Konflik itu adalah normal, yang menjadi pembeda adalah bagaimana kita merespon dan menyelesaikan. Akan lebih mengherankan, jika mereka tidak mengalami konflik sama sekali.”
Setelah memberi quotes terpuji, saya membuka instastory. Layaknya menonton iklan di televisi, silih berganti dengan durasi singkat menampilkan sejumlah kabar terkini dari netizen. Keberadaan pemeran utama monyet dari film Rise of the Planet of the Apes adalah paling banyak dibagikan melalui akun-akun yang di-repost. Tulisan “kami monyet jawa” dan “kami monyet sulawesi, mendukung pembebasan Papua Barat” menemani gambar pemeran itu. Terakhir gambar favorit namun paling sedih ialah caption berbunyi “kalau kami monyet, jangan paksa monyet kibarkan merah putih”.
Keheranan saya mengenai “monyet” ini terjawabkan melalui akun-akun yang telah di-repost. Kejadian ini dipicu oleh pengepungan aparat kepolisian, sipil dan TNI di Asrama Mahasiswa Papua. Mereka mengepung dengan mengeluarkan beraneka ragam nama-nama hewan, salah satunya monyet. Pengepungan itu terjadi di Surabaya, dengan dua kasus sebelumnya di daerah berbeda namun di Pulau Jawa. Disisi lain, layaknya pengetahuan dari nenek moyang secara turun-temurun, sumber daya alam Papua telah lama menjadi tambang emas terutama bagi Pulau Jawa. Tidak heran, caption Monyet Jawa pun menjadi favorit netizen.
Namun, belum pula tuntas penelusuran yang saya lakukan. Tiba-tiba saya teringat dengan kejadian salah seorang siswa bernama Farhat (bukan nama sebenarnya, namun lebih baik dari sebutan mawar ataupun bunga), ia berada di kelas satu SMA jurusan IPS. Sewaktu saya mengajar mapel sosiologi ia melihat di buku pelajaran, ada sekelompok orang Papua, lalu ia pun tertawa terbahak-bahak, dimana situasi itu sama sekali tidak lucu. Dengan rasa heran, saya bertanya kepadanya “Apa yang menurutnya lucu?” Ia menunjuk gambar itu. Dilanjutkan, ia bercerita mengenai ketidaksukaannya. Katanya, pernah suatu ketika ia bepergian dengan ayahnya naik pesawat, entah bagaimana kejadian rincinya, orang Papua itu bersikap kasar kepadanya. Sejak saat itu, di kepalanya hanya ada satu stigma, orang Papua itu kasar. Padahal, sejatinya kita tidak pernah tahu kedalaman hati seseorang hanya berdasarkan cara berbicaranya.
Sebagai guru sosiologi yang bijak dengan pengetahuan antropologi selama enam tahun namun tidak menjadi antropolog, saya berkata kepada dia “Apakah semua orang Papua seperti itu?” dia pun terdiam. Selanjutnya saya memberi pengandaian “Bagaimana seandainya Farhat dicap sebagai orang pemarah, hanya karena Farhat memakai jaket kulit dan bertampang sangar?” Pada akhirnya saya hanya berkata, “Kita tidak dapat menggeneralisirkan hanya karena satu kejadian” Maka sejak itu, ketika ia secara tidak sadar berkelakuan rasis, kami hanya berkata “Mau juga diperlakukan seperti itu?” Dia pun tertawa kecut.
Isu rasis merupakan gorengan paling nikmat. Kenapa? Karena hal itu dapat membuat kita merasa lebih baik hanya karena ada perbandingan yang tidak sepadan. Sangat nikmat bukan menjadi orang istimewa hanya karena kita merasa spesial, padahal kita bukanlah martabak pakai dua telur.
Dalam kajian antropologi, ada mata kuliah membahas relativisme budaya. Secara sederhana, semua budaya adalah sama. Masing-masing memiliki keisitimewaannya. Tidak ada yang lebih ataupun kurang dari yang lain. Pernyataaan ini dapat bermakna negatif ataupun positif dan tentu saja mengandung perdebatan. Namun karena ini bukan perkuliahan, maka saya tidak melanjutkan pro dan kontranya.
Secara kelulusan, saya merupakan jurusan antropologi. Namun demikian, tidak menutup kekhilafan saya dalam menikmati gorengan rasis ini. Sejak dua bulan terakhir, kantor kami kedatangan staf dan office boy berasal dari Surabaya. Pernah suatu ketika, mereka berdua berdiskusi mengenai pemasangan bingkai dengan logat khas Surabaya. Secara refleks saya berbalik kepada dua orang teman saya yang lahir dan besar di Makassar, berkata “Rasanya seperti ada di warung Sari Laut.” Kami pun tertawa. Kekhilafan lainnya, saya memiliki teman berasal dari Tegal, merantau di Makassar, masih dengan kekentalan logat tegalnya saya sekali lagi merasa seperti berada di warung makan tunjuk-tunjuk.
Sialnya, ketika saya diikutkan workshop nasional di Jogja, saya mengalami rasisnya orang Jakarta beserta orang Jawa mengenai orang Makassar. Apalagi selain kami dinilai kasar walaupun hati sehalus sutera. Belum lagi, keberangkatan itu bertepatan dengan pertandingan PSM vs Persija. Namun, mereka heran ketika saya dapat berkomunikasi mengikuti tempo bicara mereka, “Kok mba Aqilah bisa pelan bicaranya?” Saya hanya menjawab dengan terkekeh renyah “sudah kena’ jawanisasi mas.”
Sebenarnya “jawanisasi” ini merupakan hal lucu-lucu empuk. Ketika kawan-kawan saya datang ke Makassar, saya berusaha agar mereka bisa mengerti yang ingin saya sampaikan dengan cara tidak menggunakan logat Makassar. Sedangkan ketika, saya berada di luar Makassar, maka usaha itu tetap saya lakukan. Di manakah pepatah “Di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung?” Sepertinya sudah tenggelam dalam lautan manusia saling bersahutan memanggil mba dan mas.
Sejak itu, saya selalu saja diminta untuk berbicara logat Makassar agar mereka bisa tertawa. Hanya itu? Oh tentu tidak. Masih ada banyak hal yang saya alami ketika berempat hari bekerja berkedok liburan bersama cabang Jakarta dan bos Jogja tercinta.
Sejak saat itu, saya berjanji untuk tidak hanya menasehati Farhat saja. Namun, menasehati diri sendiri agar tidak memesan martabak spesial hanya untuk diri sendiri saja. Saatnya saya melanjutkan penelusuran yang sempat tertunda, sembari menikmati gorengan hangat.
Kredit gambar: https://lpmrhetor.com/menghapus-rasisme-dalam-kamus-kita/