Via Dolorosa dan Puisi-Puisi Lainnya

Via Dolorosa

:Kepada 700 warga yang dibantai
tentara Jepang di sungai Tiwi,
Emplawas Babar, MBD,
5 Oktober 1944

Kau bukanlah
bunga sakura
mekar dari jin;

kemurahan hati,
atau tangkai-tangkai
falsafah Bushidu.

“Jadilah yang pertama
memaafkan.”

Tapi, kau adalah
samurai

tajam dari paku
di bukit Golgotha,
atau peluru di kamp
Ghetto.

Sekarang,
kau di sini
di sungai Tiwi.

Eli

Eli

Kau dengar orang-
orang menjerit?

Bukan dari tiang salib,
bukan pula dari kamp-kamp
pemusnahan.

Tapi, dari dasar telaga.

Kau dengar itu?

Kau lihat itu?

Bedil meruncing
samurai mengibas

“Kudus,”

“Kudus,

“Kudus.”

Lihat!
Lihat!

Jangan pejam
matamu!

Lihat,
di antara pohon–pohon nira
ratusan orang berjalan
kehabisan darah
menuju gereja
menuju tuhan.

“Inilah via dolorosa
:jalan kesengsaraan.
Dan, hanya penderitaan
yang menyatukan manusia.”

Setelah itu,
hanya hembus
sisa napas dan
lonceng berbunyi.

(2019)

 

Di Masa Kanak Bila Malam Tiba

Di masa kanak bila malam
tiba, aku berselimut dongeng
dipetik Ibu dari pohon ingatan
tumbuh dekat jendela.

“Dongeng adalah bunga tidur,
helai-helai kebenaran,” kata Ibu.

Pernah di suatu malam,
Ibu mengisahkan dongeng
tentang Seorang Isteri melepaskan
suaminya pergi ke arah maut:

“Beratus-ratus tahun silam,
laut menelan sebuah perahu
penuh bedil dan meriam.

Karena laut adalah bentang
sajadah tuju ajal.
Maka tiap-tiap kapal berlayar
ke arah kita,
kerab menakar maut.

Antara jalur laut dan jalur Sutra,
menuju Maluku. Di sanalah sang suami
bersujud karena kecut

:ditawan ombak,
patah layar, dan karam perahu.
Sementara aroma kematian melilit tubuh,
pulau mengabur.

Sialnya, dia bukanlah nelayan yang mahir
mendayung dan fasih membaca musim
membeku, angin menyulut, dan
laut beriak

:dia hanyalah bala yang kantuk.
Tetapi kematian tidak pernah tidur
—ia lebih dekat daripada pantai
dan aroma rempah.

Saat dia tiba di sini,
ajaibnya seekor burung
mematuk bolamatanya.

Dalam kegelapan ia lari terberai,
meriam-meriam meratakan
bukit-bukit dan bedil-bedil tegak
seperti pohon-pohon kamboja.

Atau kayu-kayu bakar
jadi unggun
merebus ketakutan
dengan airmata.

(Di masa kanak bila malam
tiba, aku berselimut dongeng)

Tapi kini aku sudah dewasa
kekar seperti matahari atau
seorang prajurit.

Sedang, dongeng ini
tertinggal di tepi malam
jauh di masa kanak.

(2019)

 

Seribu Luka

Hari hampir lengkap
di bangku taman,

senja merengkuh
mega berkafan.

Aku tiada di sana
menggesek biola
mengusir halimun
mengembang
di pelupuk.

:bulu-bulu mata yang
basah adalah bulir-bulir
hujan runcing dan perak

yang kau simpan
bersama selusin rahasia
di dada yang koyak
dan dingin.

Sekali waktu
kau ingin menjahit
dengan seribu jarum jam

waktu berhenti dan tidak
diketahui siapa-siapa,
kecuali dirimu dan seribu luka
menganga

kepada diam dan sunyi
sehelai demi sehelai
kau buka.

(2019)

Ilustrasi: https://www.deviantart.com/la-psycho-artist/art/Via-Dolorosa-583101130

  • Sair wa suluk. Lorong khusus bagi pelancong rohani. Ramadan sebagai sair wa suluk adalah wahana khusus bagi manusia yang mengkhususkan diri untuk melancong menuju Tuhannya. Bagi mereka Ramadan bukan Ramadan biasa, Ramadan adalah hamparan jalan sutra cahaya yang dengan jalan ini Tuhan memperjalankan hamba-Nya untuk hadir di haribaan-Nya. Ramadan bukan jalan untuk mereka lalui dengan…

  • Konon dunia olah raga mesti dipisahkan dari politik, termasuk sepak bola, permainan kolektif paling banyak digandrungi di muka bumi saat ini. Pernyataan ini nampak aneh untuk tidak mengatakannya naif. Kiwari, sepak bola modern bukan lagi sekadar olah raga, tapi sudah menjadi industri, budaya, dan bahkan identitas, yang karena itu ketiga dimensi ini bertalian pula dengan…

  • Kurang lebih sepekan lalu kami kedatangan tamu yang telah dinanti berhari-hari sebelumnya. Beberapa buah kardus berisi buku “Gemuruh Literasi” beriring-iringan masuk ke tengah ruangan toko, mencari tempat ternyaman untuk mengaso. Rupanya lantai yang berposisi di bawah kipas angin menjadi tempat aman untuk beristirahat. Sembari menanti tangan-tangan pembeli datang meminangnya. Senyum paling lebar tentu saja datang…

  • pamer harta itu adalah hal yang tak baik, dari sudut pandang apapun, tapi sebagai pejabat publik bukan disitu pangkal persoalannya. Pemerintah semestinya berfokus pada ketakwajaran harta kekayaan pejabat dan pegawainya, bukan pada sikap pamernya.

  • Menurut hadis, di ujung puasa, dua kenikmatan menanti: santap berbuka dan bertemu Tuhan. Ini keren sekali. Dapat dua sekaligus. Sekali rengkuh puasa langsung dapat dua, kenikmatan lahir dan kenikmatan batin. Makan yang enak cita-cita tinggi manusia materi bumi. Bertemu Tuhan cita-cita tertinggi manusia cahaya langit. Melalui puasa dua jenis manusia yang menyatu dalam satu tubuh…


Kala Literasi

Jl. Pa’ Bentengang No.6, RT.01/RW.08, Mangasa Kec. Tamalate, Kota Makassar, Sulawesi Selatan 90221