“Earthquake today at 09.17” sebuah tulisan besar yang ditulis oleh dosen sesaat setelah memasuki kelas. Saya terheran-heran. Gempa? Sejak kapan gempa bisa diprediksi? Mentang-mentang Amerika negara adidaya bukan berarti mereka jago dalam semua hal kan? Termasuk memprediksi gempa. Anehnya lagi, pembelajaran tetap berlanjut. Dosen tetap mengajar dengan santai dan tanpa beban sama sekali. Loh, bukannya mau gempa yah?
Sampai pada pukul 09.17 waktu setempat tiba-tiba proyektor yang kami pakai belajar langsung berubah warna dan bertuliskan “WARNING, EARTHQUAKE”. Handphone kami semua langsung menerima email untuk evakuasi secepatnya, beberapa petugas pemadam dan polisi kampus juga berkeliling ke semua kelas dan menghentikan pembelajaran. Kami diminta berjalan dengan cepat melewati tangga darurat.
Sesaat setelah sampai di halaman depan kampus, kami hanya diminta berdiri di tempat yang jauh dari tiang listrik atau benda-benda lain yang boleh jadi membahayakan saat terjadi gempa. Setelah berdiri cukup lama dan tanpa merasakan getaran sedikit pun (kecuali getaran hati kami yang sudah rindu kampung halaman hehehe), kami para mahasiswa yang berasal dari Indonesia hanya bisa saling bertatapan dan seolah-olah sudah saling tahu isi hati kami yang berbunyi “Gempanya mana?”
Udara dingin di musim gugur ini yang berkisar 8-10 derajat celcius sudah sangat menyiksa kami (sebagai perbandingan, suhu di Malino atau di Loka Bantaeng berkisar antara 13-18 derajat celcius) penderitaan ini semakin menjadi-jadi karena angin yang lumayan kencang bertiup.
Setelah berdiri cukup lama, kami kembali menerima email dari kampus yang menyatakan bahwa gempa telah selesai. Hah? Sejak kapan gempanya dimulai? Kenapa sudah selesai? Ternyata oh ternyata ini hanya sebuah simulasi saja. Pantas saja Amerika selalu jadi gudangnya film-film box office keren, karena tanpa diminta pun, meski hanya sebuah simulasi, orang-orang Amerika ini sudah sangat pandai berakting seolah-olah memang sedang terjadi gempa.
Sesaat setelah kembali ke kelas dan memulai pembelajaran lagi, pikiran saya bergerak sejauh 16.348 kilometer ke sebuah negara yang sangat akrab dengan gempa-gempa besar dan mematikan. Negara itu boleh dibilang secara acak di beberapa daerahnya akan mengalami gempa dengan magnitudo yang sangat besar bahkan sampai memicu gelombang tsunami, tapi ajaibnya, simulasi kadang hanya dilaksanakan bila anggaran sedang mencukupi dan dalam momen-momen tertentu saja.
Simulasi yang diadakan lebih didominasi oleh sambutan-sambutan orang-orang penting yang sangat tidak berpengaruh bila bencana sesungguhnya sedang terjadi. Simulasi juga kadang hanya menjadi pelatihan bagi orang-orang yang itu saja. Kegiatan itu tidak pernah menyentuh sampai ke akar rumput ke seluruh lapisan masyarakat, sehingga masyarakat luas tidak pernah tahu betul apa yang harus mereka lakukan bila bencana sesungguhnya sedang terjadi.
Secara umum, saya sendiri melihat bahwa memang mindset tentang kesiapsiagaan itu sangat kuat ditanamkan di sini di Amerika. Sebagai sebuah contoh, suatu ketika saya pernah makan di kafe kampus, tidak begitu lama suara alarm kebakaran berbunyi dengan begitu bisingnya. Mata saya menjelajah melihat semua sudut ruangan mencari asap atau api yang berkobar, tapi tidak begitu lama mata saya menjelajah, saya menyadari bahwa sayalah orang terakhir yang belum keluar dari kafe, semua pengunjung sudah berada di luar.
Dalam pendidikan mitigasi bencana yang diajarkan pada anak-anak Amerika ini, tak peduli alarmnya benar atau keliru, tugas mereka hanya menyelamatkan diri. Sama dengan simulasi gempa yang saya alami ini, antara lucu dan miris, Amerika sebenarnya adalah sebuah negara yang lempeng tektoniknya sudah lumayan matang dan sangat jarang bergerak, alhasil gempa bumi sangat jarang terjadi di sini. Di negara bagian saya, Virginia, gempa hanya terjadi pada tahun 1997, 2003 dan 2011 dengan magnitudo berkisar antara 2.5 sampai 5 skala richter.
Meskipun gempa sangat jarang terjadi, tapi simulasinya sudah jadi kewajiban dan rutinitas bagi semua institusi di sini. Kapan yah, negara sejauh 16.348 kilometer nun jauh di sana itu bisa menjadikan pendidikan mitigasi bencana sebagai bagian utama dari pendidikannya?