Menteri Agama (Menag), Fachrul Razi, kabarnya telah meminta maaf atas pernyataannya mengenai larangan cadar dan celana cingkrang di lingkungan aparatus sipil negara. Pernyataan yang membuat isu tentang radikalisme kembali memanaskan situasi kita . Meski demikian, tetap saja ia menganggap pemahamannya sudah benar. “Rasa-rasanya tidak ada yang salah rasanya. Mungkin saya mengangkatnya agak terlalu dini,” katanya yang saya kutip di tempo.co (5/11/10). Pembenaran apapun yang berusaha dibuat oleh Fachrul Razi, ia tetap keliru.
Di samping ia keliru menggambarkan identitas seseorang, ia juga secara arbitrer mengklasifikasi seseorang dalam satu kategori identitas saja. Menag baru kita, sebagaimana juga dialami banyak orang, masih terjebak oleh apa yang Amartya Sen sebut sebagai ilusi identitas tunggal.
Maka pertanyaan berikut penting untuk diutarakan kembali: haruskah kita selalu melihat seseorang dalam kerangka identitas tunggal semata? Jika pemahaman sebagian orang susah menerima identitas pengguna cadar dan celana cingkrang. Bukankah mereka bisa dihargai sebagai warga negara yang memiliki kebebasan berkeyakinan?
Kita ini sudah kenyang dengan problem identitas yang terus merundung Indonesia beberapa tahun belakangan ini. Konflik antar kelompok terus diproduksi, melalui praktik politik para elit dan perlakuan diskriminatif suatu kelompok atas kelompok lainnya. Dan, seluruh kejadian tersebut sering dipicu oleh adanya pertentangan dan ketidaksepahaman antar kelompok karena perbedaan identitas. Padahal seseorang atau kelompok layak dihargai pada sisi identitasnya yang lain.
Bahkan dalam banyak hal, kita bisa memiliki identitas yang sama dan terafiliasi pada kelompok yang sama. Artinya, setiap orang dan kelompok terkait dengan beragam identitas yang dapat menjadi pembeda dan persamaan antar mereka. Kemajemukan identitas setiap orang membuat kita tak bisa lagi melihat yang lain hanya berafiliasi pada satu kelompok saja.
Menarik dicermati Pameran Asal usul Orang Indonesia (ASOI) yang diselenggarakan oleh majalah Historia bekerja sama dengan Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan. Kegiatan yang diselenggarakan di Museum Nasional, 15 Oktober-10 November 2019 ini bisa menjadi pelajaran penting, bahwa setiap orang memiliki keragaman identitas dalam dirinya. Melalui tes DNA, setiap relawan yang terlibat dalam proyek tersebut menunjukkan campuran gen dari berbagai etnis dan ras dalam tubuhnya.
Salah satu relawan dari proyek tes DNA ini adalah Ariel, vokalis grup band Noah. Hasil tes DNA menunjukkan Ariel memiliki 79% gen Asia Selatan, 15.14% Asia Timur, 5.04% Asian Dispersed, dan 0.05% Timur tengah (Dikutip dari Artikel Nur Janti di historia.id). Sains masa kini dapat menunjukkan asal-usul manusia yang ternyata tersusun dari beragam etnis dan ras.
Kemajemukan identitas akhirnya menjadi fakta yang tak terelakkan. Saya misalnya, lahir dan besar di Kabupaten Pangkep. Namun,saya juga adalah keturunan dari orang Enrekang. Kedua orang tua saya berasal dari daerah tersebut. Saat ini saya tak hanya dikenal sebagai seorang jurnalis, namun juga sebagai pegiat literasi dan mahasiswa Program Studi Pascasarjana Teknologi Pendidikan UNM. Keragaman identitas yang saya miliki, membuat saya terafiliasi pada unit-unit kelompok yang beragam.
Meski demikian, ada hal yang membuat masalah identitas menjadi tak sederhana. Fakta akan kemajemukan identitas mungkin bisa diterima oleh seluruh orang. Namun, dalam praktiknya, selalu ada upaya dari individu dan kelompok tertentu memberi cap identitas tunggal pada yang lain dengan cara merendahkan dan mendiskriminasi mereka. Pun, banyak orang yang juga kerap memusatkan dirinya hanya pada satu identitas saja. Sehingga loyalitas mereka diserahkan untuk satu kelompok yang terkait dengan identitas tunggalnya itu.
Maka tak heran, banyak orang yang mengidentikkan dirinya dan orang lain hanya terkait dengan etnis, agama, komunitas tertentu saja. Sehingga cenderung mengabaikan kemajemukan identitas. Sikap seperti ini tentu berbahaya. Sebab, rasa keterikatan pada satu kelompok membuat seseorang cenderung menegasi kelompok yang dianggap berlawanan dengannya. Kondisi tersebut semakin membuka lebar potensi konflik identitas.
Sebenarnya identitas tak selalu buruk, sebagaimana yang dibilangkan Sen dalam teorinya tentang identitas. Kata Sen dalam Identity and Violence—diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh Marjin Kiri dengan judul Kekerasan dan Identitas—, rasa kepemilikan atas satu identitas memang bisa melahirkan kebanggaan, kekuatan, kepercayaan, mempererat persaudaraan dan solidaritas.
Namun, Sen juga percaya, sikap ekslusif pada suatu identitas dan kelompok bisa memicu perselisihan individual dan komunal. Sebab kecenderungan demikian selalu melahirkan persepsi tentang adanya jarak dan keterpisahan antar identitas dan kelompok satu dengan yang lain.
Problemnya kemudian, sikap memprioritaskan satu identitas atas yang lainnya adalah suatu hal yang tak bisa dihindari, dan saya menyadari hal tersebut. Misalnya, dalam pertandingan sepak bola, Indonesia berhadapan dengan Malaysia. Saya pasti akan mendukung negara saya sendiri. Pada konteks tersebut, kesetiaan saya pada negara sendiri lebih tinggi dibanding keterikatan saya sebagai sesama manusia dengan pemain Malaysia.
Namun, ada yang menarik dalam pandangan Sen. Bahwa afiliasi kita pada satu identitas tak seharusnya membuat kita meniadakan identitas lain. Jika dalam pertandingan tersebut, pemain Malaysia mengalami kekerasan dan diskriminasi oleh suporter Indonesia, tentu saya harus membela mereka, atas dasar kesetiaan sesama manusia, tanpa harus meniadakan identitas saya sebagai warga negara Indonesia.
Olehnya itu, seluruh afiliasi kita dengan beragam identitas, masing-masing memiliki prioritas penting bergantung pada konteksnya. Warga muslim bisa saja merasa mayoritas di Indonesia. Namun, dalam konteks hubungannya dengan pemeluk agama lain, konflik identitas tak akan terjadi jika masing-masing memosisikan diri sebagai warga negara, yang sama di mata hukum, tanpa harus meninggalkan identitas keagamaan masing-masing.
Pada posisi inilah, kata Sen, pentingnya peran pilihan dan nalar. Ada saat ketika seseorang harus mengambil pilihan, dengan pertimbangan nalarnya, dalam menentukan derajat kepentingan relatif yang harus diberikan pada masing-masing identitas. Di mana pilihan tersebut selalu bergantung pada konteksnya. Hanya dengan cara itulah, hungungan antar sesama dapat dikelola dengan baik.
Sayangnya, sikap kita selama ini selalu terjebak oleh apa yang Sen sebut sebagai pengabaian identitas dan afiliasi tunggal. Pengabaian identitas adalah perilaku menampik rasa berbagi identitas dengan orang lain. Sementara afiliasi tunggal adalah mengandaikan jika seseorang hanya terkait dengan satu kelompok dan identitas semata.
Itulah mengapa kita tak pernah selesai dengan konflik identitas. Jika kita masih terjebak dalam dua reduksionisme tersebut, selamanya kita akan melihat Ahmadiyah, Syiah, Papua, dalam satu sisi saja, tanpa melihat sisi lain yang juga harus dihargai. Pun, selamanya kita akan melihat pengguna cadar dan celana cingkrang sebagai muslim yang dengan serampangan dianggap “radikal”, dan mengabaikan identitasnya sebagai warga negara. Menampiknya sebagai manusia.
By the way, di sela-sela permintaan maaf Fachrul Razi, ada pernyataannya yang saya senangi. “Polemik tentang cadar itu sudah clear. Saya meminta maaf kalau sampai menimbulkan amarah. Kini akan fokus melayani seluruh umat beragama seadil-adilnya,” katanya yang saya kutip di bisnis.com (8/11/19). Semoga komitmen ini bisa terus dijaga hingga lima tahun ke depan, Pak. Keadilan memang sangat dibutuhkan di sebuah negeri yang bineka seperti Indonesia ini.
Ilustrasi: http://theconversation.com/a-hybrid-australia-where-identity-has-a-multi-layered-crunch-34861