Satu Nusa Beragam Sepeda

Sejak malam Kota Makassar diguyur hujan cukup lebat hingga pagi menjemput, mentari tak kunjung menampakkan percik indahnya. Sejak semalam aku dan istri telah menyiapkan properti gowes seperti biasa bila ingin mengikuti event esok paginya. Hingga jelang berangkat dari kediaman hujan tak kunjung menepi. Kami bertekad untuk tetap berangkat menuju lokasi event digelar dengan sedikit “berjudi” bahwa bila hujan reda ketika tiba di lokasi maka event tahunan ini kami ikuti dan bila hujan tetap tak memberi jeda sedikit pun maka kami akan lanjut mencari warung kopi di bilangan Panakkukang itu.

Pagi sekali, Minggu ,29 Desember 2019, event tahunan bersepeda santai dengan jarak tempuh 50 km digelar lagi seperti tahun-tahun sebelumnya. Event ini berjuluk LSR (Last Sunday Ride) adalah event yang setiap tahun digelar pada akhir tahun di minggu terakhir, tepatnya setiap tanggal 29 Desember di kota-kota besar di seluruh Indonesia. Untuk Kota Makassar pelaksanaannya diamanatkan kepada komunitas SLIM (Sepeda Lipat Makassar) yang merupakan komunitas sepeda lipat termasuk yang terbesar di negeri ini, baik dari sisi keanggotaan maupun dari sisi pelaksanaan event-event bersepeda, kegiatan-kegiatan sosial yang rutin dilakukannya, dan didukung oleh Hotel Santika, Hotel Amaris, Roda Link, dan Dunia Sepeda.

Sekira pukul 6.30 pejabat Wali Kota Makassar mengajak semua peserta berdoa sebelum gowes santai dimulai agar perjalanan yang berjarak sekira 50 Km dapat ditempuh dengan lancar dan selamat tak kurang satu apa pun, setelahnya Pak Wali Kota kemudian mengibar bendera start sebagai penanda gowes santai ini dimulai. Gowesers yang dibatasi jumlahnya itu diikuti sekira 250 orang peserta dari berbagai komunitas dan daerah. Seperti biasa perhelatan gowes seperti ini berlangsung dengan santai, sepanjang jalan para goweser ngobrol dan bercengkrama, pada spot-spot yang indah dapat dipastikan ada yang mampir sejenak mengambil gambar, berfoto bersama dan ber-selfie ria. Di perhelatan ini salah satu view yang menarik dan indah adalah hamparan sawah yang baru saja ditanami dan berlatar belakang pegunungan di Kabupaten Gowa. Topografi jalan-jalan yang dilintas tidaklah menanjak, ada tanjakan yang sedikit panjang tapi tidak terlalu menukik jadi perjalanan ini relatif santai.

Lagi-lagi gerakan LSR  (Last Sunday Ride) ini awalnya diprakarsai oleh komunitas sepeda “Fixed Gear” yang rutin bersepeda bersama, pun dengan komunitas sepeda lainnya, lalu menggagas gerakan ini dengan mengusung visi dan cita menjadikan sebuah kota yang ramah, aman, dan nyaman untuk rotasi. Dari Jakarta ibu kota negeri ini lalu prakarsa bergulir dan menyebar ke pelbagai kota termasuk kota Makassar. Untuk kota Makassar, event LSR baru tahun kedua dilaksanakan pada tahun 2019 ini. dimulai tahun 2018 pada momen LSR ke 9.

LSR sebagai bentuk pergerakan urban bersepeda mengutamakan keselamatan dan berbagi jalan dengan pengguna jalan lainnya dan tetap bersenang-senang saat berkendara menyusuri dan melintasi sudut-sudut kota dengan jarak tempuh yang tidak terlalu jauh (50–100 km), tergantung kota peneyelenggara. Dalam perkembangannya kemudian LSR semakin mendapat ruang dan respek dari masyarakat pada umumnya dan para goweser secara khusus, indikasinya dapat dilihat dari banyaknya peminat yang hendak bergabung di event bersepeda akhir tahun ini kendati panitia membatasi peserta, namun antusiasme goweser tak dapat dibendung.

Event LSR pertama kali dihelat pada tahun 2010 yang hanya diikuti oleh sekira 40-an goweser yang mengeksplorasi dan menyusuri Kota Jakarta. Seiring semakin berkembangnya kebersamaan pesepeda LSR semakin banyak pula peminat yang ikut di event LSR ini dan akhirnya menjadi agenda wajib komunitas pesepeda di Ibu Kota pada setiap akhir tahun.

Digaungkannya kampanye “bagikan jalan” pada tahun 2015 disetujui, animo peserta terus bertambah. Kemudian pada tahun 2016, visi LSR ditambahkan dengan kampanye “berbagi jalan dan berbagi menyenangkan” dari semangat visi dan kampenye itu, pada tahun itu (2016), LSR menyedot peserta gowes hingga 1000 pesepeda. Untuk tahun 2019 ini peserta dari pelbagai kota yang menggelar event LSR diperkirakan berjumlah di atas lima ribuan walaupun beberapa kota termasuk kota Makassar telah membatasi pesertanya hanya berkisar 250-an goweser.

***

Ternyata sepeda yang kita kenal sekarang dan yang kami gowes hampir setiap hari memiliki perjalanan sejarah yang sangat panjang, mulai dari bentuknya yang sangat sederhana hingga sepeda modern dengan berbagai tipe dan variasi. Tentu perkembangannya kemudian tidak terlepas dari kreativitas dan inovasi para ahli dan kebutuhan kekinian masyarakat penikmat sepeda. Dari sepeda lipat, dua dan tiga yang ringan dan mudah dimobilisasi ke mana-mana. Sepeda balap atawa road bike (RB) yang berbahan ringan hingga bisa diangkat memakai jari kelingking, sepeda gunung atawa MTB (Mountain bike), dll.

Dalam catatan sejarah dan dari berbagai informasi, diketahui bahwa sepeda pertama kali ditemukan atawa dibuat oleh Baron Karls Von Sauerbrons atau lebih dikenal dan dipanggil Karl Drais, lahir di Jerman pada 29 April 1785. Ia berprofesi sebagai pengawas hutan, kala itu Ia sangat membutuhkan alat transportasi dengan mobilitas tinggi. berdasarkan kebutuhan tersebut, Kars Drais kemudian berinovasi menciptakan sebuah alat transportasi untuk menunjang pekerjaannya yang kemudian berhasil menciptakan sebuah terobosan yang sangat penting bagi teknologi sepeda modern di kekinian.

Karls Drais, diketahui melakukan perjalanan pertamanya dengan menggunakan sepeda pada 12 Juni 1817, dari Mannheim ke Schwetzinger Relaishaus. Sedangkan perjalanan keduanya dari Gernbach ke Baden, juga dilakukan pada tahun yang sama, dan perjalanan keduanya dilaporkan mampu beliau lakukan dengan kecepatan yang lebih cepat dan lebih baik. Gowes pertama dan keduanya itu sudah diliput oleh koran-koran atawa media lokal. Dan sejak itu Karls Drais memberi nama sepeda ciptaannya itu  dengan “Draisiene”. Setelah bermunculan berbagai jenis sepeda baru dengan keunggulan masing-masing. Berkat kreativitasnya itu, Karls Drais, dianugrahi gelar Duke atawa Grand Duke sebagai profesor mekanika. Gelar ini merupakan gelar kehormatan yang tidak ada kaitannya dengan universitas. Ketika beliau pensiun dari pekerjaannya di layanan sipil, Karls Drais tetap menerima gaji sebagai bentuk apresiasi penemuan sepedanya.

Di Negeri ini, popularitas sepeda banyak diperkenalkan di masa kolonial Belanda. Orang-orang Belanda membawa sepeda dari Eropa sebagai alat transportasi di masa pendudukan mereka di sini. Lalu perkembangan dan dinamikanya kemudian sangat dinamis dengan kedatangan berbagai jenis dan merek sepeda dari Eropa, maka tersebutlah beberapa merk sepeda yang saat ini sudah terbilang kuno atawa antik, di antaranya yang buatan Inggris ; Humber Cross (1901), Releigh (1939), Philips (1956), Hercules (1922). Sedangkan sepeda buatan Belanda, di antaranya adalah, Batavus (1920), Gazelle (1925), Valuas (1940), Master (1950).

Mungkin karena semakin ramainya produk sepeda masuk ke negeri ini yang berdatangan dari Belanda dan Amerika, yang mereka sering membilangkan sepeda “onthel” dan “yengki” sempat juga terimbas dengan suasana politik kala itu, sejak awal perang dingin antara Amerika dan Uni Sovyet pada tahun enam puluhan, Presiden Sukarno bahkan melakukan pelarangan masuknya segala produk buatan Barat yang berakibat pula dilarangnya memasukkan sepeda buatan Belanda dan Eropa Barat, serta Amerika. Maka saat itu pasar sepeda di Indonesia diramaikan oleh sepeda-sepeda buatan Tiongkok dengan bentuk dan proporsi baru yang lebih cocok dengan postur tubuh orang Indonesia, maka dikenallah merek sepeda Butterfly dan Phoenix.

***

Sembari mangayuh sepeda di tengah hujan yang guyur kotaku dalam event LSR pagi itu, aku membayangkan sekiranya pemerintah Indonesia sejak awal memberlakukan pengetatan pemakaian kendaraan bermesin pribadi di jalan-jalan, dengan alternatif dan solusi memperbanyak angkutan massal sejenis kereta api, bus, LRT (Lintas Rel Terpadu) KRL (Kereta Rel Listrik), dll, dan mendorong pemakaian kendaraan sepeda dan sejenisnya yang tanpa mesin dan pemakaian bahan bakar dengan jumlah besar, tentu kota-kota di negeri ini akan lebih ramah lingkungan dan nyaman, seperti di beberapa kota besar dunia.

Hingga finis renungku jeda kala berkumpul dengan para gowesers, kebahagiaan kembali dibagi. Satu dengan yang lainnya berbagi senyum, berbagi cerita. Dingin tubuhku tak terasa lagi oleh cengkrama dan silaturrahim yang sangat cair itu, umur dan strata social cair dalam kegembiraan yang proporsional. Karena bersepeda adalah solusi tanpa polusi maka mari mengawal dan kampanyekan terus untuk lingkungan yang lebih baik dan sehat. Satu Nusa beragam sepeda.

 

Makassar, Januari 2020.

 

Bahan Pemerkaya : – Lastsundayride.com

  • com
  • Dalam satu dasawarsa terakhir, Kabupaten Bantaeng telah tampil sebagai barometer gerakan literasi, khususnya di Provinsi Sulawesi Selatan. Ketika kata “literasi” belum sepopuler hari-hari ini, pegiat literasi di Bantaeng sudah bergerilya menyebar benih gerakan literasi yang kini sudah tumbuh subur. Langkah-langkah gerilyanya ketika itu berupa pelatihan kepenulisan, diskusi buku, dan lapak-lapak baca. Di kemudian hari, langkah…

  • Adelio membuka mata ketika menyadari ombak Perairan Cempedak mengombang-ambing tubuhnya. Ia melihat ke bawah dan mendapati kedalaman laut yang tak terhingga. Ia mendongak ke langit, semburat cahaya matahari baru saja hendak menyapanya dari ufuk timur. Ia baru saja menyadari bahwa dirinya telah mengapung semalaman di tengah laut setelah mendapati sebagian kulitnya yang mulai mengeriput. Ia…

  • Buku terbaru Sulhan Yusuf, Gemuruh Literasi: Sederet Narasi dari Butta Toa boleh dibilang sebagai pembuktian, jika usia bukanlah aral melintang bagi seseorang untuk produktif dalam berkarya. Tapi, insight yang diwedarkan Gemuruh Literasi sebenarnya lebih dari itu. Buku ini adalah jawaban bagi rasa penasaran sebagian orang yang hendak mengetahui gerakan literasi Sulhan di Bantaeng. Kerja-kerja kultural yang…

  • Judul tulisan ini saya pinjam dari ungkapan Profesor Cecep Darmawan—dosen saya ketika studi magister beberapa waktu lalu. Beliau guru besar yang egaliter dan seringkali tampil di publik (media dan forum) untuk berbagi gagasan dan pencerahan. Seingat saya ungkapan itu beliau sampaikan saat kami kuliah “Pendidikan Politik Generasi Muda”. Saya terkesan dengan ungkapan itu, selain indah…

  • Membicarakan suatu topik, dalam hal ini filsafat Islam, maka rasa-rasanya kurang afdal apabila tidak memasukkan nama al-Ghazali di dalamnya. Akan tetapi bila seseorang mau menempatkan al-Ghazali dalam sejarah filsafat Islam, tentu ia harus membuat beberapa catatan. Poin utamanya bahwa al-Ghazali tidak menganggap dirinya filosof dan tidak suka dianggap sebagai seorang filosof. Ini tak hanya menjelaskan…


Kala Literasi

Jl. Pa’ Bentengang No.6, RT.01/RW.08, Mangasa Kec. Tamalate, Kota Makassar, Sulawesi Selatan 90221