Judul Buku : Putih: Warna Kulit, Ras, dan Kecantikan di Indonesia Transnasional
Penulis : L. Ayu Saraswati
Penerbit : Marjin Kiri
Tahun Terbit : Mei 2019
Tebal : 254 hlm
Cantik memang tak jelas definisinya. Tapi ada satu ukuran yang diterima sebagian besar perempuan: berkulit putih. Tak perlu susah-susah mencari buktinya. Pergilah ke kondangan. Anda akan menemukan begitu banyak perempuan yang sudah mendandani wajahnya hingga putih, demi penampilan yang menawan. Itu artinya, dalam kesadaran perempuan tersimpan persepsi, bahwa untuk tampil cantik wajib berkulit putih.
Atau cobalah simak iklan-iklan produk kecantikan. Sampai sekarang industri kecantikan masih menggunakan model berkulit putih. Meski kecantikan sering dinilai dari banyak sisi juga oleh banyak orang. Mulai dari berat badan, tinggi badan, bentuk wajah, ukuran dada, sampai ukuran bokongnya. Namun tak bisa dimungkiri, sebagian besar orang memiliki persepsi yang hampir sama: kecantikan perempuan bisa dinilai dari warna kulitnya. Dan itulah cantik putih.
Problemnya, konstruksi cantik putih selama ini menghasilkan hierarki warna kulit. Dan hitam menjadi kelas warna yang tak hanya dianggap inferior secara rasial, namun juga dianggap jelek dalam wacana kecantikan. Dominasi putih sebagai ideal kecantikan akhirnya membuat banyak perempuan minder dan malu jika kulitnya hitam dan gelap. Sehingga perempuan berusaha melakukan perawatan yang maksimal demi menjadi putih.
Jika Anda bertanya, sejak kapan putih menjadi standar kecantikan? Bagaimana putih dikonstruksi hingga dianggap ideal kecantikan? Maka Anda sudah harus berkenalan dengan buku karya L. Ayu Saraswati yang berjudul Putih: Warna kulit, Ras, dan kecantikan di Indonesia transnasional. Buku ini bagi saya adalah salah satu kajian yang paling komprehensif mengenai warna kulit dalam wacana kecantikan di Indonesia.
Saraswati dengan sangat padat menjelaskan bagaimana gagasan cantik putih dari berbagai negara masuk ke Indonesia. Sehingga dapat dipahami, bahwa putih sebagai standar kecantikan di Indonesia tak lahir begitu saja. Namun dikonstruksi melalui sirkulasi transnasional orang dan gagasan, yang sudah dimulai sejak prakolonial, diperkuat di masa kolonial, dan masih tetap dikukuhkan di era pascakolonial.
Melalui gagasan tentang afek atau rasa atau emosi, buku ini bahkan mencoba membuktikan, jika putih sebagai ideal kecantikan di Indonesia dikonstruksi melalui representasi emosional dan afektif guna menghasilkan kesan positif pada putih. Afek positif yang terus ditanamkan pada putih itu kemudian menjadi aparatus epistemologi dan kuasa untuk memproduksi citra cantik pada putih, yang dalam perjalanan sejarah saling berkelindan dengan gagasan ras dan gender.
Konstruksi Cantik Putih di Sepanjang Sejarah
Dalam konteks Indonesia sebagaimana yang ditulis Saraswati dalam bukunya tersebut, konstruksi cantik putih sudah dimulai dari masuknya pengaruh India di akhir abad ke-9. Gagasan putih sebagai warna yang diinginkan, diedarkan melalui puisi epos Ramayana versi Jawa Kuno. Melalui penelusuran teks Ramayana, Saraswati menemukan, cantik putih diedarkan dengan menggunakan metafor bulan sebagai perlambangan kecantikan.
Metafor bulan sering digunakan untuk menggambarkan kecantikan yang dimiliki Sita yang selalu dibumbui dengan kiasan terang, berpendar dan bercahaya. Melalui metafor bulan itulah afek positif ditanamkan pada Sita yang dicitrakan cantik dan dicintai. Afek positif itu adalah tentang hasrat, cinta, romansa, yang dalam Ramayana selalu bersumber dari perempuan cantik yang bagai bulan bersinar itu.
Bahkan dalam teks Ramayana, sebagaimana yang diungkapkan dalam buku ini, kulit hitam sudah mulai dicitrakan sebagai warna yang tak diinginkan, tentunya melalui penanaman afek negatif terhadap hitam. Misalnya, dalam teks tersebut kulit gelap Prabu Dasasya dibayangkan sebagai “awan kematian yang bergulung-gulung” (hal.50). Kulit legam pasukan Prabu Dasamuka bahkan dilekatkan afek negatif melalui bayangan “pegunugan yang berbahaya” (hal.50). Kulit hitam juga kerap dilekatkan perasaan tentang hal-hal yang mengerikan yang tentunya selalu diproduksi melalui metafora alam yang dianggap berbahaya.
Maka, dalam konteks Indonesia prakolonial, tak hanya ditemukan konstruksi putih sebagai ideal kecantikan, namun juga telah ditemukan adanya upaya untuk menciptakan hierarki warna kulit, di mana putih dianggap ideal dan diinginkan sedangkan hitam dianggap buruk dan tak diinginkan. Hanya saja, Saraswati menganggap jika warna kulit di era prakolonial belum dikaitkan dengan ras. Baru di masa kolonial Belanda warna kulit sudah mulai dipadukan dengan ras.
Di zaman kolonial Belanda, perempuan Kaukasia menjadi simbol kecantikan. Di sini, putih sebagai ideal kecantikan dipersempit maknanya hanya pada ras Eropa saja. Negara kolonial tak hanya membangun gagasan cantik pada kulit putih, namun juga memperkuat supremasi kulit putih di tanah jajahan. Identitas perempuan Kaukasia sebagai simbol kecantikan ini diregulasi melalui ekspresi emosional khas kolonial, yang kemudian disebut Saraswati sebagai “emosionologi kolonial”.
Saraswati—yang diperkuat oleh teori emosionologi sejarawan Carol Stearns dan Peter Stearns dan hegemoni emosional filsuf feminis Alison Jaggar— mendefinisikan emosionologi kolonial “sebagai cara bagaimana emosi yang diperbolehkan secara ideologis, sebagai artikulasi diri, melayani kepentingan imperial kolonial” (hal.77).
Melalui emosionologi kolonial, konstruksi perempuan Kaukasia sebagai ideal kecantikan dilakukan dengan merepresentasikan ekspresi emosional yang khas nyonya kulit putih seperti penyebaran citra anggun, bijak, terhormat, kepribadian yang terkendali, murah senyum. Hal tersebut tampak jelas saat Saraswati meneliti iklan produk kecantikan di awal abad ke-20.
Ketika warna kulit padu pada ras di zaman Belanda. Jepang mencoba untuk membongkar konstruksi tersebut saat berkuasa pada 1942. Jepang berupaya untuk membangun wacana cantik putih Asia sebagai salah satu proyek rasialnya untuk mempertegas keunggulan Asia ketimbang Eropa. Melalui penelitian atas artikel-artikel koran dan iklan-iklan pemutih kulit di zaman itu, Saraswati memperlihatkan, Jepang gemar mempromosikan kecantikan Asia dengan menampilkan perempuan Jepang dan Indonesia dengan pakaian tradisional khas negara masing-masing demi melawan konstruksi kecantikan Eropa.
Hanya saja, Saraswati menganggap Jepang gagal mengonstruksi kecantikan baru khas Asia. Karena cantik yang disukai tetap saja yang berkulit putih. Hal tersebut terlihat gamblang dari model iklan yang masih menampilkan perempuan berkulit putih dan cenderung “kebarat-baratan”. Pada intinya, di zaman kolonial, entah di zaman Belanda atau Jepang, putih masih tetap mendominasi wacana kecantikan di Indonesia.
Memasuki era pascakolonial—lebih tepatnya di era pascakemerdekaan— Indonesia mulai berpikir untuk mengonstruksi gagasan kecantikannya sendiri, yang juga tetap memuat unsur putih di dalamnya. Upaya menonjolkan gagasan cantik putih Indonesia diperlihatkan Saraswati dalam buku ini dengan meneliti iklan produk pemutih era Orde Baru. Di era tersebut, iklan-iklan mulai gencar mempromosikan produk Indonesia dan menggunakan model perempuan Indonesia—meski masih tetap menggunakan perempuan indo, tapi di situlah kesadaran akan cantik putih masih bersemayam.
Penanda ruang dalam iklan tersebut mulai memakai latar alami Indonesia, penanda etnis dan tradisional semata-mata menciptakan diskusrus tentang cantik Indonesia untuk melawan hegemoni produk dan citra kecantikan Barat dan Jepang di zaman kolonial. Afek positif pun dilekatkan pada ruang Indonesia seperti kealamiahan dan kepramodernan untuk menghasilkan kesan bahwa Indonesia adalah tempat yang sangat diinginkan dan produk tersebut diperuntukkan untuk perempuan Indonesia. Di masa tersebut, konstruksi cantik putih Indonesia telah berhasil menyatakan diri jika putih bukan melulu Kaukasia. Hanya saja, lagi-lagi warna putih masih tetap jadi acuan kecantikan.
Kemudian Orde Baru runtuh. Indonesia memasuki era pasca-Soeharto . Di masa tersebut, budaya populer Amerika Serikat memberikan banyak pengaruh kultural buat Indonesia. Apapun pengaruhnya, putih tetap masih menjadi standar kecantikan. Hanya saja, Saraswati mengatakan jika di masa tersebut,makna warna putih di Indonesia sudah bergeser cukup jauh dibanding masa-masa sebelumnya.
Saraswati membuktikan hal tersebut dengan meneliti majalah Cosmopolitan—majalah dari Amerika Serikat—versi Indonesia yang terbit pada rentang tahun 2006-2008. Saraswati menemukan bentuk cantik putih yang baru yang ia sebut sebagai putih kosmopilitan. Putih yang melampaui partikularisme kedaerahan, melampaui negara-bangsa, putih dengan cita rasa yang transnasional. Saraswarti mencatat, hampir semua iklan pemutih kulit di era 2006-2008 adalah merek-merek transnasional dan berbahasa Inggris.
Pun, model-model yang dipakai adalah model yang berasal dari berbagai negara dan ras dan tentunya, putih. Produk dan model rasa kosmopolitan ini, sebagaimana yang dikatakan Saraswati, “merepresentasikan putih sebagai komoditas idaman di seluruh dunia” (hal.157). Itu karena, kata Saraswati, putih yang dicitrakan oleh model dari beragam ras itu menciptakan kesan “warna yang disukai di seluruh lokasi geografis yang berbeda-beda adalah putih” (hal.158).
Maka menjadi putih didorong oleh perasaan kosmopolitan dan merebut sebuah kebahagiaan melalui praktik pemutihan kulit dengan menggunakan produk yang diiklankan tersebut. Apalagi para model dicitrakan secara afektif sebagai cantik dan baik yang turut mendorong perempuan menjadi putih kosmopolitan.
Obsesi Menjadi Putih
Mengakarnya pengaruh cantik putih di Indonesia, membuat produk pemutih kulit menjadi paling populer digunakan ketimbang produk kecantikan lainnya. Karena ada dorongan kuat untuk memiliki kulit cerah. Sehingga perempuan lebih banyak melakukan praktik pemutihan kulit. Hal tersebut menunjukkan, putih tak hanya sebagai warna yang diinginkan, namun sudah spesifik gender. Praktik pemutihan kulit beserta emosionalitas yang mendorongnya dibahas panjang lebar oleh Saraswati pada Bab 5 buku ini.
Berdasarkan wawancaranya dengan sejumlah perempuan Indonesia, Saraswati mendapatkan kesimpulan, perempuan melakukan praktik pemutihan kulit karena ada hasrat terdalam untuk menghindari rasa malu, untuk menjadi lebih percaya diri, dan menjadi putih sama dengan orang lain. Rasa malu itu timbul dari ejekan orang-orang disekitarnya karena warna kulitnya yang hitam. Beberapa perempuan yang diwawancarai Saraswati juga merasa tak percaya diri saat berjumpa orang lain karena kulitnya hitam sehingga memilih melakukan praktik pemutihan kulit.
Pengalaman para perempuan tersebut menyiratkan, gagasan cantik putih yang terbentuk pada rentang sejarah yang panjang itu akhirnya bekerja dengan baik dalam menggairahkan obsesi perempuan untuk menjadi cantik, alih-alih untuk menghindarkan diri agar tidak menjadi hitam. Yah, obsesi menjadi putih perempuan di Indonesia tak hanya bertujuan untuk tampil menarik saja. Tapi pada dasarnya, mereka tak menginginkan kulit hitam.
Berdasarkan wawancara Saraswati, persepsi perempuan Indonesia pada kulit hitam cenderung negatif. Sejumlah perasaan negatif ditemukan oleh Saraswati di mulut para perempuan tersebut seperti, “menakutkan”, “kriminal”, “bau”, “kotor”, dan “aneh” (hal.188). Yang menarik, ada seorang perempuan yang diwawancarai Saraswati, yang melihat putih sebagai kapital. Bahwa menjadi putih akan memudahkannya meraih pekerjaan yang prestisius.
Saya melihat makna putih sebagai kapital adalah evolusi paling mutakhir dari citra putih yang positif dan diinginkan. Saraswati juga sudah menyinggung kecenderungan tersebut di Bab 4 yang membahas putih kosmopolitan. Putih yang memiliki nilai lebih dan nilai tukar. Namun, sekompleks, serumit apapun pemaknaan putih di era kontemporer ini, putih tetap saja adalah warna yang paling diinginkan.
Sejumlah Pertanyaan dan Pendapat
Pada akhirnya, buku ini memuat sebuah kesimpulan, dari masa ke masa, putih adalah warna yang paling diinginkan dan sebagai standar kecantikan di Indonesia transnasional. Meski makna putih dan caranya dikonstruksi bisa berbeda-beda di setiap era, namun gagasan cantik putih di sepanjang perjalanan sejarah sama-sama bersirkulas secara transnasional. Pun, perangkat epistemologis dan ideologisnya sama: dikonstruksi melalui afek, emosi, rasa. Dan yang lebih penting, putih adalah warna idaman dari masa ke masa terlepas dari perbedaan maknanya.
Namun, tetap ada sejumlah pertanyaan dari saya. Sejak kapan putih dimaknai dengan afek positif dan hitam dimaknai dengan afek negatif? Buku ini langsung memberikan informasi pada pembacanya, jika pemaknaan yang tak seimbang antara putih dan hitam menghasilkan hierarki warna kulit. Namun kita tak tahu, dari mana asal-usul pemaknaan tersebut? Mungkin pertanyaan tersebut butuh kajian yang khusus dan terpisah.
Namun, penelusuran akar-akar pemaknaan simbolik atas warna tersebut, bisa saja membantu kita menemukan adanya upaya menempatkan hitam pada hierarki tertinggi, di sepanjang sejarah negara, bangsa, ras, atau di Indonesia sendiri. Sebab, buku ini terkesan ingin mengatakan, hierarki warna kulit putih dan hitam memiliki makna simbolik yang absolut dan tak bisa dibongkar.
Hal tersebut terlihat, di seluruh perjalanan sejarah Indonesia putih tetap dimaknai warna yang cantik. Jika makna pada dasarnya arbitrer, tak tetap dan kerap tergelincir, maka bisa saja hitam mendapatkan pemaknaan yang lebih positif di sebuah kelompok masyarakat dan kebudayaan tertentu, dan mungkin saja ada di lingkaran masyarakat paling kecil di Indonesia.
Kemudian, terlepas dari peran afek yang membentuk kesan cantik pada putih. Namun, seharusnya tak boleh dilupakan peran hasrat yang secara tak sadar mendorong perempuan untuk terobsesi memiliki kulit putih. Apalagi, kata Jacques Lacan, subjek adalah selalu subjek yang terpecah. Subjek pun tak dapat menghindar dari keterpecahan ini.
Maka obsesi atas kulit putih ini juga perlu dibaca dalam kerangka psikoanalisis, yang meyakini subjek adalah selalu menjadi subjek yang merasa kekurangan. Di sini, sebagaimana kata Sigmund Freud, hasrat berfungsi sebagai, wilayah tak-sadar dan menjadi pendorong bagi tindakan seseorang, yaitu mencari pemenuhan atas hasratnya. Dari sini bisa dibaca, putih menjadi objek hasrat yang terus dikejar untuk mencapai kepuasan, kepenuhan dan pengakuan demi menyusun basis ego. Subjektivitas apa yang ingin dibentuk? Tentu saja, menjadi cantik dengan putih sebagai topengnya.
Terlepas dari itu. Bagi saya, kajian dalam buku ini nyaris tak terbantahkan. Sangat direkomendasikan untuk dimiliki oleh Anda yang tertarik dengan kajian gender, ras dan wacana kecantikan di Indonesia.