Agamamu Apa, Corona(?)

Pandemi global telah memasuki babak baru. Meski masih seumur jagung, empat bulan (sejak November 2019), jumlah orang yang positif sudah tidak sedikit. Berdasarkan yang tercatat di worldmeterdotinfo (per 19 Maret 2020, pukul 15.17 WIB), terdapat total 219.965 kasus di 44 negara. Beruntungnya ,dari jumlah tersebut 38 persen dinyatakan sembuh, 4 persen meninggal, dan sisanya sedang dalam pengawasan. Semoga yang dalam tahapan pengawasan bisa bergabung dengan mereka yang dinyatakan sembuh. Amin.

Masih dari sumber yang sama, tidak sedikit jumlah negara yang berkategori “mampu” menekan angka kematian. Bahkan, ada sembilan negara terlampau kuat hingga tidak terdapat seorang pun yang meninggal. Negara tersebut adalah: Singapura, Finlandia, Israel, Czechia, Qatar, Rumania, Estonia, Islandia dan Arab Saudi. Inilah yang saya katakan sebelumnya, jika peluang untuk sembuh tetap ada.

Terlepas dari sarana-prasarana sebagai unsur pendukung serta kebijakan penanganan penyakit menular di sembilan negara tersebut, faktor yang tidak kalah pentingnya adalah pemahaman dari warga negara. Apalagi jika menyangkut kepentingan bersama. Di sinilah sekali lagi saya ingin tekankan bahwa bukan hanya simpati yang dibutuhkan, tetapi rasa empati harus dimunculkan. Dan, sejatinya itu lebih besar. Alasannya, meski sarana dan prasarana sudah sangat mumpuni, jika tidak ada perhatian serius dari warga sebuah negara, bagi saya semuanya akan sia-sia. Dengan menggunakan dalil dan dalih apapun. Kembali lagi berlaku pernyataan “…karena sebuah niat baik saja tidak cukup…”

Sejak seminggu lalu, saat lembaga otoritas kesehatan dunia mengumumkan Corona sebagai sebuah Pandemi Global, pemimpin-pemimpin negara di Dunia jadi bergegas. Tidak terkecuali Indonesia. Mengingat letak Nusantara terlampau dekat dengan tempat ditemukan Covid-19 menginfeksi manusia untuk pertama kali. Tidak ketinggalan, warga daring ikut serta dalam “orkestra” melawan penyebaran wabah SARS CoV-2.

Salah satu hal yang menjadi titik tekan di Indonesia dalam rangka melawan Corona adalah pemberlakukan protokol karantina (UU No 08 tahun 2018). Makanya, muncullah aturan turunan untuk menopang pemberlakuan mekanisme tersebut. Mulai dari membentuk tim khusus penanganan hingga keluar instruksi, edaran, dan imbauan. Tidak tanggung-tanggung, hingga level kabupaten/kota melakukan upaya tersebut.

Nah, di antara bentuk implementasi protokol karantina tersebut adalah menggandeng tokoh agama. Bagi saya ini salah satu langkah terbaik, mengingat Indonesia adalah negara dengan jumlah umat beragamanya tergolong besar di dunia. Dua hari yang lalu (Selasa, 17 Maret 2020), Presiden meminta lewat Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan kepada tokoh lintas agama untuk melakukan pembatasan kegiatan yang menciptakan kerumunan. Langkah tersebut tunai dilakukan, menyusul tindak lanjut kepala daerah di seluruh Indonesia.

Lagi-lagi karena dilindungi jargon Pancasila, Indonesia mengakui keberadaan agama. Termasuk menghargai segala bentuk ritual dari agama masing-masing. Salah satu bukti, pembangunan tempat ibadah mendapat ruang kebebasan oleh undang-undang. Meskipun belakangan ini kelompok Ferguso mulai gemar menghalang-halangi, tidak membikin peraturan kita akhirnya menganulir kebebasan beragama di Republik ini.

***

Jadi, beberapa hari lalu, jagat daring dihebohkan dengan bocornya rencana acara keagamaan yang melibatkan banyak orang. Tidak tanggung-tanggung, total calon peserta mencapai ribuan. Bahkan para mereka (konon) berasal dari luar provinsi dan negara luar Indonesia.

Tepatnya tadi pagi (Kamis, 19 Maret 2020), sedianya akan dilaksanakan dua acara keagamaan di tempat berbeda. Pertama, di kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan. Kedua, di ibukota kabupaten Manggarai, Nusa Tenggara Timur. Bahkan masih ada lagi acara keagamaan (peringatan Nyepi) Minggu depan di Prambanan. Semua pelaksananya dari agama yang berbeda.

Ternyata, permintaan dari kepala negara yang diperjelas oleh kepala daerah masing-masing provinsi serta kabupaten/kota ini masih jauh dari harapan penerapannya.. Pada Rabu siang, diperkirakan delapan ribuan (8.694) orang sudah berkumpul di Kompleks Pesantren Darul Ulum, desa Niranuang, Bontomarannu, Kabupaten Gowa untuk mengikuti acara Tablig Akbar bertema “Ijtima Dunia Zona ASIA 2020”.

Sontak masyarakat daring berkecamuk. Mayoritas meminta pihak yang berhubungan–Gubernur SUL-SEL dan Bupati Gowa–menghentikan acara tersebut. Beruntung, gerak masif dan sistematis para warga daring mengecam berbuah manis. Acara tersebut tidak jadi dilakukan. Tapi, masalah belum selesai. 8694 orang tadi belum bisa dipulangkan. Otomatis, kerumunan tetap terjadi. Apalagi, dari jumlah tersebut, terdapat 411 warga negara asing. Ini bukan jumlah yang kecil. Mengingat dari latar belakang negara asal mereka, hanya Arab Saudi yang baru berhasil meniadakan jumlah kematian akibat Corona. Sisanya masih juga “berjuang”.

Di sinilah letak kontradiksi terjadi. Ketika upaya untuk memutus mata rantai penyebaran dengan melakukan karantina rumah yang masih terbentur pada pemahaman masyarakat antara perbedaan “diliburkan” dan “dirumahkan”, muncul kondisi yang menjadi antitesa lain. Saat para tenaga kesehatan berjibaku dengan peralatan terbatas (termasuk Alat Pelindung Diri) dalam memastikan pelayanan di fasilitas kesehatan tidak terjadi lonjakan, acara tersebut justru akan memperburuk keadaan.

Tidak berhenti sampai di situ, masalah baru kembali muncul. Di hari yang sama, tempat berbeda acara Penahbisan Uskup. Bertempat di ibukota kabupaten Manggarai, 553 km dari kabupaten Gowa, acara keagamaan yang menciptakan kerukunan  tetap berlangsung.

Ah, ada apa di negeriku? Apakah agama dan perintahnya bertolak belakang jika dihubungkan dengan masalah umat? Ataukah Corona harus menjadi sebuah agama untuk dipatuhi setiap kewajiban dan dijauhi segala larangannya?

Tanpa bermaksud mengulik alas kepercayaan masing-masing acara agama tersebut, melalui kesempatan ini saya ingin menghubungkannya dengan konteks Pandemi Corona saat ini.

Pertanyaan tersisa adalah, bagaimana umat beragama di Republik ini memaknai kondisi darurat akibat Corona?

Sebagai salah satu bagian dari umat beragama, saya percaya; sebuah ajaran universal terkait kebenaran yang menjadi ruh utama setiap agama di muka bumi. Termasuk juga membawa kebaikan. Berangkat dari kondisi itulah, apakah konteks darurat Pandemi Corona kita bisa hubungkan dan melihat semuanya menjadi lebih jernih?

Apakah agamamu, Corona?

 


Sumber gambar: Koransn.com

 

  • Serupa Kemarau Seperti menyaksikan burung burung melintas di udara Sudah lama semenjak kita tak lagi bersua Pada malam malam yang panjang Dan doa yang tak lagi kita rapal Diantara hari yang buruk Aku sibuk mengulang percakapan kita Menanti nanti lonceng berbunyi Dalam ruangan yang menjemputmu pergi Serupa kemarau membunuh dengan hati hati sekali Menaruh dendam…

  • Seorang anak perempuan jadi korban kebodohan orangtuanya karena lebih memercayai halusinasi yang diciptakan kepalanya, daripada kenyataan bahwa yang ia lakukan adalah satu jenis kekerasan yang sebenarnya mudah dicerna akal sehat. Sang ibu bersikeras mencongkel bola mata anaknya menganggap si buah hati sedang kesurupan setan jahat. Itu disebut kebodohan karena ia melihat mata sang anak seperti…

  • Surat Kartini kepada Dr. Adriani (24 September 1902) Benarkah gerangan bahwa perempuan itu baru sempurna rasa sanubarinya, baru sempurna berkembang, hanya jika ia sudah kawin? Karena kemuliaan perempuan yang semurninya dan seindahnya adalah menjadi ibu? Tetapi mestilah perempuan beranak dahulu, maka baru boleh menjadi ibu menurut arti perkataan itu yang seharusnya, yakni makhluk yang semata-mata…

  • Seseorang mengatakan isu childfree adalah agenda kaum syiah, membuat seseorang mengomentarinya bahwa itu sebenarnya agenda golongan kiri, yang memang dikenal liberal. Si pencipta tweet menimpali, si pengomentar salah, justru kaum kiri hanya mendompleng isu dimaksud. Kaum syiah-lah sumber isu ini menjadi trend pembicaraan di generasi milenial belakangan, sehingga mendorong satu dua artis yang beralih menjadi…

  • Sebenarnya saya adalah salah satu orang yang tidak mau –bukan tidak suka, menonton drama korea. Menurut saya, menonton drama korea membutuhkan effort yang cukup menguras tenaga. Selain episodenya yang sangat panjang, berkisar 15 sampai 20 episode, alur ceritanya pun tak jarang memainkan emosi. Dalam satu judul drama korea saja, fluktuasi rasa terkadang sangat sulit untuk…


Kala Literasi

Jl. Pa’ Bentengang No.6, RT.01/RW.08, Mangasa Kec. Tamalate, Kota Makassar, Sulawesi Selatan 90221