Ramadan merupakan bulan spesial yang sensasinya teramat didamba umat muslimin. Ada beberapa aktivitas ibadah fisik dan mental dilakukan khusus di dalamnya. Ibadah-ibadah khusus itulah yang menjadikannya berbeda, lebih unik dan teristimewa dibanding sebelas bulan lainnya.
Perintah berpuasa, mendirikan sholat tarawih, dan membayar zakat fitrah adalah bentuk ibadah khusus yang merupakan manifestasi dari rukun-rukun Islam. Ketiga ibadah tersebut termasuk dalam kategori ibadah mahdhah. Artinya, dia memiliki petunjuk teknis (juknis) pelaksanaannya dan sudah diatur sedemikian rupa oleh Allah Subhanahu Wa Ta’ala sejak masa kenabian Rasulullaah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam.
Selain itu, ada beberapa kebiasaan baik yang secara garis besar frekuensinya juga meningkat di bulan puasa. Membaca ayat-ayat suci dalam kitab Al-Qur’an, bersedekah, dan peka terhadap sesama menjadi semakin rutin dilakukan.
Seluruh aktivitas ini bersentuhan langsung ke pribadi manusia maupun ke lingkungan masyarakatnya demi menjaga kemaslahatan umat dan bertaqarrub kepada Allah. Amaliah-amaliah tersebut dikenal dengan istilah ibadah ghairu mahdhah.
Kedua jenis ibadah tersebut saling terpaut satu sama lain. Ketika satu ibadah mahdhah dikerjakan sesuai tata aturan yang berlaku, maka ada ibadah ghairu mahdhah yang menyertainya. Jika dikerjakan dengan keimanan dan penuh pengharapan, maka ibadahnya akan mendatangkan rahmat dan ampunan dari Sang Maha Memberi. Bahkan Allah menyiapkan grand prize bagi para pemenang, yakni janji-Nya untuk bertemu langsung dengan hamba-Nya yang bertakwa. Takbirr!!! (Allaahu akbar!)
Berpuasa sebulan lamanya hanya diwajibkan bagi seluruh muslimin yang beriman saja. (yang tidak beriman, minggir!) Terkecuali bagi orang-orang tertentu dengan kondisi tertentu, boleh tidak melakukannya. Tetapi, dia harus menggantinya dengan berpuasa di luar Ramadan ataupun membayar fidyah.
Instruksi langsung yang diberikan Allah kepada mukminin ini sangat populer digaungkan setiap Ramadan tiba. Derajat ketakwaan menjadi tujuan utamanya. Namun, ada rahasia dibalik makna kata ‘takwa’ yang jarang dibahas di mimbar-mimbar masjid. Nah, coba kita mengulik dua ayat penjelasan Allah Subhanahu Wa Ta’ala dalam QS. Ali Imran ayat 133 dan 134:
۞وَسَارِعُوٓاْ إِلَىٰ مَغۡفِرَةٖ مِّن رَّبِّكُمۡ وَجَنَّةٍ عَرۡضُهَا ٱلسَّمَٰوَٰتُ وَٱلۡأَرۡضُ أُعِدَّتۡ لِلۡمُتَّقِينَ ١٣٣ ٱلَّذِينَ يُنفِقُونَ فِي ٱلسَّرَّآءِ وَٱلضَّرَّآءِ وَٱلۡكَٰظِمِينَ ٱلۡغَيۡظَ وَٱلۡعَافِينَ عَنِ ٱلنَّاسِۗ وَٱللَّهُ يُحِبُّ ٱلۡمُحۡسِنِينَ ١٣٤
- Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa,
- (Yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan.
Dari sini dapat dilihat adanya hubungan erat antara berpuasa, ketakwaan dan aktivitas ibadah lainnya. Maka tampaklah tiga ciri orang yang termasuk kategori bertakwa, yaitu:
a. Orang yang menafkahkan hartanya dalam kondisi lapang maupun sempit
Dengan kata lain, orang kaya dan juga orang yang tidak kaya sangat direkomendasikan untuk bersedekah. Maka wajarlah sehingga mayoritas ‘ulama sepakat mengajarkan, “jangan menunggu kaya baru mau bersedekah, tapi bersedekahlah agar engkau kaya!” Lalu anjuran ini diperkuat dalam QS. Saba’ ayat 39:
قُلۡ إِنَّ رَبِّي يَبۡسُطُ ٱلرِّزۡقَ لِمَن يَشَآءُ مِنۡ عِبَادِهِۦ وَيَقۡدِرُ لَهُۥۚ وَمَآ أَنفَقۡتُم مِّن شَيۡءٖ فَهُوَ يُخۡلِفُهُۥۖ وَهُوَ خَيۡرُ ٱلرَّٰزِقِينَ ٣٩
- Katakanlah: “Sesungguhnya Tuhanku melapangkan rezeki bagi siapa yang dikehendaki-Nya di antara hamba-hamba-Nya dan menyempitkan bagi (siapa yang dikehendaki-Nya)”. Dan barang apa saja yang kamu nafkahkan, maka Allah akan menggantinya dan Dialah Pemberi rezeki yang sebaik-baiknya.
b. Orang yang menahan amarahnya
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam pernah bersabda:
قَالَ الْإِمَامُ أَحْمَدُ: حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّحْمَنِ، حَدَّثَنَا مَالِكٌ، عَنِ الزُّهْرِيِّ، عَنْ سَعِيدِ بْنِ المسيَّب، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، عَنِ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم، قال: “لَيْسَ الشَّدِيدُ بِالصُّرُعة، وَلَكِنَّ الشَّدِيدَ الَّذِي يَمْلِكُ نَفْسَهُ عِنْدَ الْغَضَبِ”.
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abdur Rahman, telah menceritakan kepada kami Malik, dari Az-Zuhri, dari Sa’id ibnul Musayyab, dari Abu Hurairah r.a., dari Nabi saw. yang telah bersabda: “Orang yang kuat itu bukanlah karena jago gulat, tetapi orang kuat ialah orang yang dapat menahan dirinya dikala sedang marah.”
Ketika orang sedang tersulut api amarah, maka hilanglah akal sehatnya. Jika dia tidak segera mengingat Tuhannya, segala bentuk keburukan akan terjadi. Panas seluruh tubuhnya dan wajahnya tampak menakutkan. Matanya memerah, giginya bertaring, kepalanya bertanduk, lalu keluarlah asap dari lubang hidung dan telinganya (Iiih…sereem!!!). Kata-kata yang terucap pastinya tak terkontrol lagi. Coba bayangkan! Betapa marah itu akan mengurangi kecantikan dan kegagahan seseorang. (Masih mau marah? Kalau aku sih enggak!)
c. Orang yang mau memaafkan kesalahan orang lain
Nah, ini yang paling berat, pemirsa! Memaafkan kesalahan orang lain. Iyya kalau orang tersebut meminta maaf duluan. Kalau tidak? Di sini letak ‘keberatan’nya. Banyak orang yang baru mau memaafkan jika orang lain sudah meminta maaf. Padahal jelas-jelas dalam ayat tersebut dikatakan “memaafkan (kesalahan) orang”, bukan “memaafkan kesalahan orang yang meminta maaf”.
Kisah hidup para Nabi telah mendidik manusia untuk menjadi pemaaf. Betapa kuat pribadi Nabi Yusuf ‘Alaihis Salaam yang memaafkan Zulaikha -istri Putifar (orang kepercayaan Raja Mesir saat itu)- yang menjebloskannya ke penjara Zawiah selama belasan tahun. Betapa tegarnya beliau memaafkan kejahatan saudara-saudaranya yang tega membuangnya ke sumur. Bahkan mengajak mereka tinggal di Mesir ketika beliau telah sukses menjadi pejabat Negara.
Betapa lembut hati Rasulullaah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam memaafkan suku Quraisy di Mekah yang rajin menghinanya serta melemparinya dengan kotoran yang menjijikkan. Beliau juga mengampuni suku bani Tsaqif di Thaif yang pernah melemparinya dengan batu hingga beliau berdarah-darah. Saking kelewatannya mereka, hingga malaikat datang menawarkan diri untuk memberi ‘pelajaran’ kepada penduduk Thaif. Namun, Rasulullah menolaknya. (Shalluu ‘alannabiyy!!!)
Kisah para pendahulu menjadi bukti bahwa manusia bisa mencapai derajat takwa. Bukanlah hal mustahil jika dia terus berlatih, membiasakan diri, sembari memohon pertolongan Allah. Kira-kira bisakah kita bersedekah dalam kondisi apapun, menahan amarah, dan memaafkan? Jika Allah berkehendak, siapa yang dapat menghalangi-Nya?
Wallahu a’lam.
Sumber gambar: www.nbcnews.com