Yang Fana adalah Waktu, Kebodohan Abadi

 

”Kini dikatakan, mukjizat telah berlalu; kini kita punya orang-orang yang berfilsafat, untuk membuat hal-hal yang supranatural dan tanpa sebab menjadi sesuatu yang modern menjadi biasa saja.”

–Shakespere dalam “All’s Well That Ends Well”, dikutip dari “Pasti” Goenawan Mohammad.

 

Setiap sebagian orang pernah bertindak bodoh. Hatta sekalipun ia diberikan mukjizat untuk menghindarinya, ada saat sepersekian waktu ia kehilangan kendali dan melakukan hal-hal di luar akal sehat. Jika Anda mengganti kata bodoh dengan kata kejahatan, maka bejibun perilaku bodoh dapat Anda sebutkan.

Dunia pernah menyaksikan lahirnya tragedi genosida yang dimotori seorang Hitler, munculnya fasisme di Italia oleh Musollini, rezim diktator Pinochet di Chile, dan Suharto sendiri sebagai orang yang kian kemari makin agung dalam benak sebagian orang.

Mereka ini, tidak pernah duduk di dalam satu perjamuan meja politik, tapi memiliki kesamaan yang nyaris absolut. Jika orang melakukan kebodohan seringkali dalam waktu yang singkat, baik Hitler sampai Suharto melakukan kebengisan dalam jangka waktu yang panjang.

Di masa lalu, kejahatan di bangsa ini mudah ditemukan. Anda akan tercengang dengan perilaku Orba yang belum berumur panjang sudah melakukan kejahatan atas nama supremasi negara. Jika Anda paham maksud saya, maka Anda pasti tahu bahwa yang saya maksudkan adalah pembumihangusan beribu-ribu penduduk Indonesia karena dianggap menjadi antek-antek Partai Komunis Indonesia.

Hitler, Anda tahu, merupakan pemimpin yang jenius, meski kejahatannya lah yang teramat diingat: melenyapkan sekaum manusia karena percaya keunggulan masyarakat  hanya ditentukan oleh faktor genetik.

Kedua pemimpin ini, saya katakan lagi, tidak pernah duduk berdua di dalam satu momen percakapan seperti Soekarno dan Che Guevarra pernah melakukannya di masa silam. Meski demikian, seperti juga kebaikan dapat ditemukan di mana-mana, kejahatan juga berlaku sama.

Hitler yang percaya supremasi negara hanya bisa kokoh jika diisi orang-orang ras  sama dan unggul, sampai repot-repot mengidentifikasi seluruh rakyat Jerman ke dalam dua kategori melalui apa yang dinamakan Formulir A dan Formulir B. Seandainya Anda hidup di masa Hitler sedang kesetanan, dan di dalam darah Anda tidak sama sekali mengalir darah Arya, maka Anda wajib mengisi Formulir B yang berarti telah siap digotong di kamar gas beracun untuk dienyahkan.

Suharto, kurang lebih sama, memakai cara serupa untuk menggolong-golongkan penduduknya dengan formulir bebas komunisme dalam kategori A, B, dan C.

Semasa kuliah, entah dengan tujuan apa, saya pernah diharuskan mengisi surat keterangan bersih diri yang sebenarnya bagian dari program Orde baru ini. Satu hal yang saat itu aneh karena disiplin ilmu  saya, yakni sosiologi, mau tidak mau pasti mempertautkan banyak teori-teorinya ke dalam pemikiran Karl Marx, orang yang menjadi pusat dari komunisme itu sendiri.

Jika Hitler membunuh rakyatnya ke dalam kamp konsenstrasi khusus, tidak sulit mengatakan bahwa Suharto juga memperlakukan hal yang mirip dengan mengasingkan beribu-ribu penduduk bagai kriminil jauh di Pulau Buru, Maluku.

Semua contoh-contoh kejahatan ini, adalah kata lain dari kebodohan yang kebetulan menggunakan dimensi politik sebagai alat legitimnya. Saya kira itulah satu masalahnya, dalam politik, kebodohan sekalipun dapat berfungsi maksimal karena distempel oleh kekuasaan absolut.

Politik seperti juga sains lainnya, memiliki rumusan-rumusan tertentu, pola-pola tertentu, dan hukum-hukum tertentu, yang bisa demikian cair dan tidak bisa diprediksi oleh karena seluruh asumsi teoritiknya diterapkan ke dalam kehidupan bernegara yang serba berubah.

Walaupun demikian, politik memiliki aturan main yang didasarkan kepada perspektif filsafat tertentu, yang apa pun itu pasti diatur oleh kemampuan berpikir logis. Dengan kata lain, ia didukung oleh penalaran ketat sesuai hukum-hukum penalaran.

Tapi, ada saatnya politik justru hanya sekadar alat, dan kebodohan atau itu adalah kejahatan, mendapatkan porsi besar sebagai katalisatornya. Itu artinya, sekalipun politik adalah jenis sains tertentu, ia kerap tidak bermanfaat di tangan orang-orang bebal.

Saat ini, jika Platon berabad-abad lalu mengidealkan filsuf kepala sebagai pemimpin negara yang paling baik, maka di masa modern, tidak saja filsuf, orang seperti Hitler atau Suharto bisa bertindak di luar akal sehat politik.

Dengan kata lain, ada sepersekian saat, di balik dimensi kekuasaannya, baik Hitler atau Suharto, digerakkan oleh pikiran canggih, tapi sebenarnya adalah kebodohan oleh karena bukan sekadar oleh satu keyakinan, melainkan kenapa keyakinan itu wajib diyakini. Apa dasarnya, apa gagasan utamanya, dan apa pula perangkat gagasan yang menjadi alat nalarnya. Dan, seringkali, di balik semua itu, justru bukan hal-hal yang masuk akal lah yang mendasarinya. Malah itu kerap berupa takhayul, mitos, fantasi, legenda, cerita fiksi, kekhawatiran berlebihan, atau bahkan fanatisme.

Manusia di saat tertentu dalam hidupnya banyak menghabiskan waktunya untuk menciptakan cerita untuk ia yakini. Adakalanya untuk hal ini dia pergi ke tempat-tempat jauh untuk menemukan sensasi imajinatif demi menunjang ceritanya. Dia bertemu banyak orang, banyak kebudayaan, dan perkamen-perkamen masa lalu di saat dia mulai menyadari, cerita yang diyakininya juga banyak diyakini oleh orang lain lewat puisi, legenda, falsafah, mitos, agama, bahkan sains.  Kadang untuk hal ini, manusia pada akhirnya juga pelan-pelan mulai sadar, narasi yang dikembangkannya juga tidak sepenuhnya benar dan masuk akal.

Tidak saja di tiga abad sebelumnya, sampai sekarang, ilmu pengetahuan masih terus berjaga-jaga dari pola pikir yang berdasar dari jenis pikiran yang sulit dipertanggungjawabkan. Agama sekalipun kerap mendapat tudingan dari sains sebagai biang kerok wadah subur pemikiran-pemikiran klenik. Meski demikian, baik sains, agama, filsafat, dan juga sastra, kian kemari sama-sama berpeluang dapat melahirkan orang-orang bebal dan fanatik.

Yang jadi soal bukan yang mana lebih unggul dari yang lain, berupa pendekatan dan narasi apa yang disediakan dari masing-masing bidang keilmuan, meski satu di antaranya terlihat lebih baik di saa-saat tertentu, dan membuat yang lain mesti menyingkir untuk sementara, dan begitu sebalinya di keadaan yang lain lagi.

Sekarang, Suharto sudah tiada menyusul Hitler yang lebih dulu mangkat. Dunia dengan kemaruknya seperti sekarang ini, untungnya hanya melahirkan satu Hitler dan satu Suharto di masa silam. Kejahatan mereka juga sekurang-kurangnya sudah tidak terlalu berefek, kecuali bagi para korban yang berhubungan langsung dengan perilaku politik mereka di masa lalu.

Walaupun demikian, bukan berarti kejahatan mereka ikut lenyap ditelan tanah kubur. Kiwari, sekali lagi, sangat gampang menemukan kebodohan, fanatisme, dan orang-orang bebal, seperti sama gampangnya menyebutkan seperti apa cara para penguasa itu mengakhiri hidupnya.


Sumber gambar: https://www.thenation.com/article/archive/human-rights-are-not-enough/

  • (Suatu Tinjauan Sosiologi Kekerasan) Kawasan Timur Tengah kembali memanas pasca kelompok Hamas Palestina menggencarkan serangan mendadak ke Israel tidak jauh di perbatasan Gaza, Sabtu (7/10/23) dini hari waktu setempat. Akhir pekan yang berubah mencekam, karena serangan ribuan nuklir itu tepat ditujukan ke Tel Aviv dan Yerusalem, menembus sistem pertahanan Iron Dome menghancurkan banyak bangunan. Frank…

  • Aktivitas manusia di era sosial media adalah produksi dan distribusi konten. Konten quote-quote adalah konten yang paling banyak berseliweran. Quotation adalah sebuah kalimat atau syair pendek yang disampaikan dalam rangka memberi makna ataupun mengobati perasaan derita dalam hidup. Penderitaan divisualisasikan dan didistribusikan melalui quote pada jejaring sosial media dalam upaya agar setiap orang diharapkan dapat…

  • “Saya tidak memikirkan representasi kecantikan yang lebih baik daripada seseorang yang tidak takut menjadi dirinya sendiri.” Pernyataan Emma Stone ini memberi sugesti pada saya betapa cantiknya seorang perempuan yang dikisahkan oleh dosen-dosen filsafat, dan yang digambarkan dalam film Agora yang pernah saya tonton. Sekitar 8 Maret 415 Masehi, kota Alexandria (Mesir) telah menjadi saksi bisu…

  • “Cita-cita kamu apa?” Ini adalah sepenggal pertanyaan yang begitu membosankan bagiku. Aku masih, dan selalu ingat. Betapa orang-orang sering mengajukannya kala aku masih di Taman Kanak-Kanak. Mulai bapak dan ibu. Tante dan om. Nenek dan kakek. Juga sepupu yang usianya terlampau jauh di atasku. Di sekolah pun demikian. Para guru kerap melontarkan deretan kalimat ini.…

  • —mengenang 3 tahun kepergian Sapardi Djoko Damono SEJAK baheula manusia dikepung puisi. Sekira tahun 1.700 Sebelum Masehi di India, puisi sudah tengger di naskah kuno Veda dan Gathas. Puisi adalah ekspresi artistik mengenai pesona diri dan hidup. Ibarat bakul puisi mewadahi “benak” penyair, yang diperah dari peng-alam-an: imajinatif, emosional, dan intelektual—peng-alam-an ini dipahat penyair pada…


Kala Literasi

Jl. Pa’ Bentengang No.6, RT.01/RW.08, Mangasa Kec. Tamalate, Kota Makassar, Sulawesi Selatan 90221