Telah Kucuri Cincin Saturnus
Aku selalu ingin terbang mengintari angkasa
Mengudara bersama purnama
Bercerita bersama aquarius
Tertawa bersama orbital
Aku akan menggambar rasi bintang baru
Kemudian, kusulam bersama asteroid
Galaksi Bima Sakti ikut gembira dan tersenyum kepadaku
Di semesta yang luas aku menunggangi komet
Aku akan bernafas bersama aurora
Lalu masuk ke celah-celah mimpimu melalui lorong-lorong fatamorgana
Di tanah Bugis yang sakral
Kusematkan rinduku, kemudian
Kutorehkan sebuah kejutan untukmu
Sebuah cincin yang telah kucuri dari Saturnus
Bantaeng, 17 Juli 2020
Gembala Rindu
Mereka yang mampu menyatukan serpihan rindu yang berhamburan di lantai
Mereka adalah sekawan gembala yang kuberi nama “gembala rindu”
Mereka baru saja membela denyut nadinya
Memangkas habis isi kepala mereka
Ia tidak tahu, mau kemana malam ini
Palu temu yang saling menghantam, mendegung keras sampai
Memecahkan gendang telinga mereka
Langkah mereka harus terhenti, kala otak mereka dicabik
Kepala mereka dihempaskan berkali-kali ke dinding tangis
Mereka hampir mati katanya, tapi mereka akan tetap merindu
Apa kau sadar? banyak orang yang mati karena menanti
Makassar, 13 Desember 2019
Kampus Merah Perindu
Cerita ini bermula dari sebuah nafas
Pada pagi hari yang hangat
Aku menyaksikan mentari berlaga di celah awan
Cahaya membias menyentuh daun jendela kamar idekos milikku
Aku mulai melompati kecil beberapa genangan air,
jalan-jalan setapak di sini memang selalu becek dikala hujan menerpa
Seingatku tadi malam langit menangis
Pada halte kampus yang sepi
Kujumpai seorang gadis
Bermain bersama kuicng jalanan yang terlantar
Kulitnya berwarna kuning langsat,
senyumnya sehangat uap kue putu
Ia mengenakan kemeja biru, dengan balutan jilbab biru,
Rok hitamnya menjuntai menyentuh kecil aspal
Dia adalah cintaku, perindu terbaik yang kumiliki
Mari berangkat, pagi masih panjang.
Universitas Hasanuddin, 12 Maret 2020
Lampu Jalan
Di persimpangan jalan malam ini
Angin tak punya nyali untuk sekadar berbisik
Malam ini begitu dingin,
Menyobek kulitku, merengsek masuk menembus sel-sel tubuhku
Arlojiku sepuluh menit lebih cepat dari jam di tengah kota
Lampu jalan memancar redup
Bahkan malam sulit aku tafsirkan
Sudah berapa lama aku berdiri di sini
Badanku menggigil hebat, hujan juga sudah mengoyak-ngoyak harapanku
Berapa lama aku harus menanti?
Berapa lama aku harus menuggu?
Berapa lama aku harus merindu?
Atau sampai maut mengajak aku berdansa?
Makassar, 19 Agustus 2018
Jiwa dari Segala Jiwa
Di bawah langit November yang dingin
Pernah kutemui seseorang
Matanya sedingin hujan
Kulitnya selembut angin
Senyumnya sehangat anak-anak matahari
Rambutnya setegar langit
Cintanya sekuat bumi
Atas nama jiwa dari segala jiwa
Tidak akan pernah ada kisah yang mati!!!
Tidak akan pernah ada rindu yang hilang!!!
Makassar, 5 November 2019
Hidup Sendiri
Doaku telah menusuk tiang-tiang penyangga langit
Puisiku telah kutabung untuk sepertiga malamku
Untuk hati yang tidak pernah bungkam
Demi Tuhan!!
Aku mencintai setiap serat dalam dirimu
Bersabarlah!!!
Rindu selalu punya cara untuk hidup sendiri
Bantaeng, 10 Juni 2020
Malaikat Mimpi, Doakan Kami
Malam ini begitu menusuk
Seseorang telah mencuri lampu di taman kota
Seseorang telah membelah purnama
Padahal aku tidak punya cukup cahaya untuk menemukanmu
Di ruas-ruas jalanan kota Makassar
Seseorang terlihat terkapar terkatung-katung ditampar sedemikian dahsyatnya oleh rindu
Ia menangis terseduh-seduh
Hujan menyelimutinya dengan kuat
Agar dia tidak terlihat menangis
Rindu masih punya tahta atas segalanya
Dia akan selalu berkuasa,
Oh…malaikat mimpi, doakan kami
Semoga rindu tidak membunuh kami
Makassar, 15 Maret 2020
Aku Masih Punya Segalanya
Hari ini aku masih sibuk
Memilah-milah potret kebahagiaan kita
Aku masih bertukar frasa dan bermain dengan beberapa alinea
Tidak perlu ku hancurkan kenangan ini
Cara kamu mencintaiku benar-benar unik
Langit selalu punya jendela untuk sekadar menyapamu
Awan selalu punya pintu untuk kuketuk
Hujan selalu punya cerita untuk dialirkan bersamaan rintiknya
Menatap matamu yang sayu adalah kesukaanku
Meski matamu sudah terlelap di bilik lain
Setidaknya aku masih punya mata untuk memandangmu
Meski tanganmu sudah lenyap tertimbun tanah
Aku masih punya tangan untuk mendoakanmu
Meski kepalamu sudah berupa tulang belulang
Aku masih punya kepala untuk kusujudkan dengan ilahi
Meski tubuhmu sudah hilang entah kemana
Kita masih punya rindu yang akan saling memeluk
Dalam jeda waktu
Meski aku harus kehilangan kaki
Aku masih punya kereta yang akan mengantar,
Kita Menuju ke jannahnya
Bantaeng, 25 Juli 2020
Doa yang Menangis
Malam selalu gelap sayang
Dalam sunyi aku masih mengingat wajahmu
Berderai potret pecah dihempaskan tangan-tangan waktu
Pada setiap baris sajakku
Kubisikkan cinta yang penuh dengan rasa khawatir
Tubuhku dingin terbujur kaku
Doaku masih terus menangis merindukanmu
Hingga mengembun di subuh ini
Kau jangan mati dulu
Biar aku saja yang mati duluan
Sebab jika aku sudah berhenti berdoa
Malam sudah membunuhku
Pangkep, 9 Juni 2020
Nyanyian Kematian
Saat aku tak bersamamu aku begitu lemah
Aku tidak bisa melompati tuts-tuts piano itu sendirian
Simfoni ini tidak bisa ku nyanyikan sendirian
Aku telah kehabisan idiom
Aku telah kehilangan melodi
Waktu telah menggilas diriku
Suaraku sedikit parau
Sedangkan, dirimu yang dahayu
Masih memandangku
Aku percaya kau tidak betul-betul pergi
Kau masih bersandar di dinding langit
Tuhan hanya menyapamu lebih dulu
Setidaknya aku masih punya cukup kata-kata
untuk menyelesaikan rindu ini
Lalu kukirim bersama doaku
Just for you.
Bantaeng, 26 Juli 2020