Beberapa hari terakhir ini publik cukup ribut dalam menyikapi film Jejak Khilafah di Nusantara. Film yang disutradarai oleh Nicko Pandawa ini memang sejak peluncurannya sudah dililit masalah. Karena mencatut nama sejarawan Peter Carey sebagai tamu spesial tanpa izin saat perilisan film tersebut. Namun yang paling menarik perhatian publik sebenarnya adalah masalah konten yang disajikan dalam film Jejak Khilafah di Nusantara.
Hal tersebutlah yang akan saya komentari. Bukan hanya masalah kontennya saja, namun juga motif peluncurannya, serta problem hak-hak kebebasan berpendapat dan berkspresi di balik kisruh film tersebut. Agar semua dapat bagian dan tidak ada yang merasa dispesialkan.
Bukti Tak Kuat, Klaim Terkesan Dipaksakan
Setelah saya menonton film berdurasi hampir satu jam itu, saya mendapatkan kesimpulan, Jejak Khilafah di Nusantara mencoba untuk menjadi kajian alternatif sejarah Islam di Indonesia. Saya melihat memang ada semangat untuk mendekonstruksi narasi besar dalam sejarah masuknya Islam di Nusantara. Hal tersebut sah dan positif. Namun sayang, tidak didukung dengan klaim yang meyakinkan. Sehingga sejarah alternatif tersebut disajikan dengan tidak ilmiah.
Hal-hal yang tak bisa dibuktikan dalam film tersebut, tak adanya dukungan manuskrip yang kuat berupa dokumen-dokumen sejarah. Padahal dokumen adalah bahan penting dalam penulisan sejarah. Yang terdengar dari perkataan para narasumber yang ada di film tersebut hanya “menduga”, “meyakini” tapi tak bisa menyajikan data pendukung keyakinan dan dugaannya tersebut.
Klaim tidak berdasar itu tentu tidak bisa dijadikan rujukan untuk membantah kajian sejarah Islam di Nusantra yang telah mapan selama ini. Di mana diketahui jika Islam masuk ke Nusantara melalui sumber langsung Arab dan itu pun disebarkan oleh para sufi bekerjasama dengan pedagang muslim. (Lihat: A.H. Johns, Sufism as a Category in Indonesian Literature and History). Melalui pengaruh para pedagang muslim, Kerajaan Perlak diislamkan sebagaimana kesaksian Marco Polo. Hingga Islam menyebar dari Perlak ke Samudera Pasai.
Jadi sejauh ini dokumen-dokumen sejarah hanya membuktikan adanya proses islamisasidi Nusantara. Sementara Samudera Pasai pernah berbaiat ke Khilafah Abbasiyah hanyalah klaim dan asumsi subjektif dari para narasumber dalam film tersebut. Bahkan klaimnya dikeluarkan dari konklusi yang terburu-buru. Salah satu narasumber mengatakan, kesultanan di India memuliakan Khalifah Abbasiyah, dan kesultanan India punya hubungan yang erat dengan kesultanan di Samudera Pasai. Sehingga mereka menyimpulkan kesultanan Samudera Pasai berbaiat pada Khalifah Abbasiyah. Itu kan klaim yang sangat “cocologi”atau mencocok-cokkan saja.
Apalagi katanya makam Bani Abbasiyah di Lhokseumawe Aceh, adalah bukti bahwa Samudera Pasai berbaiat kepada Khalifah Abbasiyah. Argumen ini jelas tak bisa dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Padahal saya sebenarnya menunggu naskah-naskah rujukan para narasumber terkait klaimnya tersebut, minimal publikasi ilmiah yang telah mereka tulis terkait klaimnya tersebut, agar bisa dipelajari. Tapi sayangnya tak ada satupun yang disebutkan.
Memang tak bisa dimungkiri jika Khilafah dan Nusantara memiliki keterkaitan historis. Bahkan, hubungan tersebut sudah terlihat sejak zaman Kerajaan Sriwijaya. Ketika itu Maharaja Sriwijayah pernah menyurat ke Khalifah Muawiyah ibn Abi Sufyan dan Khalifah Umar ibn Abd al-Aziz. Surat tersebut menyebut jika Maharaja Sriwijaya meminta utusan berupa guru yang bisa mengajar Islam di Sriwijaya. (Lihat: S.Q. Fatimi, Two Letter The Maharaja to the Khalifah: A Study in the Early of Islam in the East).
Surat menyurat tersebut memperlihatkan adanya kontak antara Raja di Nusantara dan Raja Arab. Bahkan menjadi bukti jika pada abad ke-7 Masehi, sudah ada proses islamisasi meski belum massif. Namun, fakta sejarah tersebut bukanlah bukti tentang jejak khilafah di Nusantara, karena Maharaja hanya ingin ada islamisasi di Nusantara, dan bukan bermaksud menjadi bagian dari khilafah. Tentu itu dua hal yang berbeda.
Pun dengan hubungan antara Turki Utsmani dan kesultanan di Nusantara, sejarawan berbeda-beda menaggapi hal ini. Ada yang mengatakan tak ada hubungan, ada juga yang mengatakan memiliki hubungan namun hanya sebatas hubungan diplomatis. Apapun bentuk perbedaan tersebut, sejauh ini belum ada bukti otentik yang membuktikan jika kerajaan dan kesultanan di Nusantara pernah jadi bagian dari kekhalifaan sebagaimana yang dikatakan Prof Oman Fathurahman (lihat:cnnindonesia.com) dan Prof Carey (lihat: sindonews.com).
Adakah Konsep Negara Islam?
Saya memandang, klaim bahwa kesultanan di Nusantara pernah jadi bagian dari Khilafah cenderung dipaksakan untuk mendukung pandangan bahwa Nusantara pernah tunduk di bawah naungan Khilafah. Klaim tersebut bisa menjadi alasan pihak tertentu untuk melakukan proyek politik “khilafanisasi” di Indonesia, dengan alasan bahwa Khilafah sudah pernah ada di Nusantara. Padahal untuk menebarkan nilai-nilai Islam di Indonesia, tak perlu memaksakan sistem Khilafah agar dianut di Indonesia. Toh, tanpa Khilafah, Islam bisa disebarkan ke Indonesia. Bahkan diislamisasi melalui proses yang lembut dan moderat, tanpa memusnakan kebudayaan masyarakat setempat.
Jika ada pihak yang ingin sekali menerapkan sistem Khilafah di Indonesia, pertanyaannya, adakah konsep negara Islam itu? Karena sejauh ini apa yang disebut konsep negara Islam tidak memiliki kebakuan. Dari proses pergantian pemimpin di masa Khulafaur Rasyidin, sistemnya berbeda-beda mulai dari Abu Bakar hingga Ali bin Abi Thalib.
Setelah wafat, Rasulullah Saw diganti oleh Sayyidina Abu Bakar yang dibaiat melalui kesepakatan bersama. Sebelum wafat, Sayyidina Abu Bakar melakukan penunjukan langsung ke Umar bin Khattab untuk mengganti Beliau dan itu disampaikan terlebih dahulu pada komunitas muslim. Pun, cara Umar bin Khattab berbeda dalam prosesi pergantian pemimpinnya. Beliau menunjuk dewan pemilih. Dewan tersebut bersepakat menunjuk Utsman bin Affan sebagai kepala negara dan setelah itu digantikan oleh Ali bin Abi Thalib.
Di masa Khulafaur Rasyidin, sistem pergantian pemimpin memiliki model yang berbeda-beda. Meski demikian, prosesnya dilakukan dengan cara demokratis. Berbeda dengan Dinasti Umayya hingga Turki Utsmani yang proses pergantian pemimpinnya justru menyalahi prinsip-prinsip Khulafaur Rasyidin, dengan menerapkan model pewarisan ayah ke anak-anaknya. Sehingga kepemimpinan pasca Khulafaur Rasyidin lebih cocok dibilangkan sebagai dinasti daripada kekhalifahan.
Jadi kelihatan sekali jika sistem pemerintahan negara Islam dari zaman ke zaman memiliki perbedaan. Karena memang tak ada konsep baku negara Islam, bahkan ketika konsep tersebut hendak dicari secara normatif dalam Alquran. Pemerintahan Khulafaur Rasyidin dan dinasti-dinasti Islam setelahnya harus dibaca sebagai ijtihadiyyah para pemimpin berdasarkan konteks zamannya. Nah, dalam konteks kehidupan masyarakat yang berperadaban negara-bangsa seperti saat ini, sistem Khilafah sudah tidak bisa lagi diterapkan, karena konteks masyarakatnya berbeda.
Itulah mengapa, tokoh muslim di zaman kemerdekaan dulu bersedia menghapus tujuh kata pada sila pertama piagam Jakarta “Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya” dan diubah menjadi “Ketuhanan yang maha esa”. Mereka mengalah untuk tidak melanjutkan obsesi penerapan Islam sebagai dasar negara demi persatuan bangsa. Karena para tokoh muslim yang tak lagi diragukan kealimannya itu telah mengakui bahwa persatuan dalam kebinekaan lebih penting diutamakan. Dan kehidupan berbangsa itulah yang paling sesuai untuk konteks kehidupan masyarakat saat ini.
Tentu saja Islam tak akan punah hanya karena ia hidup dalam peradaban negara-bangsa. Nilai-nilai subtantif Islam sangat bisa hidup dan menghiasi peradaban meski berada dalam sebuah peradaban yang bineka. Hal tersebut harus didukung oleh komitmen pemerintah suatu bangsa yang bersedia menjamin kebebasan berkeyakinan masyarakatnya. Dan sepanjang pemerintah komitmen untuk memakmurkan rakyat dan menjalankan pemerintahan yang adil.
Pemblokiran Tindakan yang Tidak Demokratis
Meski hanya klaim dan tak bisa jadi rujukan ilmiah, namun film Jejak Khilafah di Nusantara seharusnya tak perlu diblokir. Itu menandakan Pemerintah bersikap otoriter dan tindakan tersebut jelas tak sejalan dengan prinsip-prinsip demokrasi. Sejauh tidak melanggar hukum dan tidak merugikan banyak warga negara, kenapa harus dilarang? Jika alasannya adalah menangkal ideologisasi HTI, sesungguhnya tindakan tersebut sangat tidak beralasan. HTI sebagai organisasi memang sudah dibubarkan, tapi gagasan tak bisa dikekang.
Jika tak setuju dengan klaim dalam film tersebut, sebaiknya dihadapi dengan gagasan tandingan. Biarkan gagasan-gagasan saling berkontestasi dalam ruang demokrasi. Justru karena di situlah letak sehatnya demokrasi. Sepanjang tak melakukan kekerasan, dan pemaksaan gagasan melalui intimidasi, mengapa harus dilarang? Pemblokiran yang dilakukan Pemerintah terhadap film tersebut adalah kesalahan besar dan tidak demokratis.