September dan Bapak

 

Tetiba saya teringat Bapak, (semasa hidup saya memanggilnya Aji, tapi dalam tulisan ini saya lebih nyaman memanggilnya Bapak). Beliau berpulang tahun kemarin. Ramadan tahun lalu kami masih sempat duduk bersama. Saat itu, meski sudah tak sanggup lagi berpuasa—karena faktor usia dan sakit—beliau sesekali masih ikut sahur bersama. Mungkin rindu suasana Ramadan kala masih sehat, tatkala tubuhnya masih sanggup. Kini, Bapak sudah berpulang, ternyata kemarin, adalah Ramadan terakhirnya. Sedang September adalah bulan berpulangnya.

Semasa hidup, banyak pelajaran yang saya peroleh dari Bapak. Beliau memang tak banyak bicara, tapi teladan yang dicontohkan sungguh merasuk dalam dada. Saya masih ingat, semasa SMA, saya sungguh nakal. Saya pernah tidak masuk sekolah dua minggu dan lebih memilih keluyuran di warnet dan tempat rental PS. Ketika, surat panggilan dari sekolah mendarat di rumah, perasaan saya sungguh ambyar. Saya paham betul kekecewaan orangtua saya saat itu. Ibu sungguh marah, yang tidak berubah hanya Bapak.

Ketika mengurung diri di kamar, Bapak adalah orang pertama yang membawakan makanan, serta meminta saya untuk makan.  Lalu, membawanya kembali. Saat itu, saya tak melihat raut kecewa pada mata Bapak, tak juga keluar ocehan dari bibirnya yang agung. Saya sadar, Bapak tak hendak menasehati saya, beliau hanya ingin menyentuh hati saya secara langsung. Anak-anak SMA seperti saya memang kebal nasehat dan ceramah. Semuanya masuk telinga kanan dan keluar di telinga kiri. Dada saya saat itu sempit ketika dinasehati saat itu. Entah mengapa.

Pun ketika SMP, saya mondok di Pesantren. Bapak selalu datang tatkala musim jagung tiba. Membawa beberapa jagung rebus dan perkedel kesukaan saya, juga memberi beberapa lembar uang sebagai biaya hidup. Untuk anak pesantren, mendapat kunjungan dari orangtua memang selalu menyenangkan. Saya  mendadak menjadi OKB (orang kaya baru) di kamar, meski miskin cepat juga, sebab selalu ingin makan enak terus.

Tatkala diberi kesempatan pulang, segala hal disiapkan. Saya seperti seorang raja, segala yang saya ingin makan langsung dipenuhi. Mungkin mereka kira kami di pesantren kelaparan. Itu tak sepenuhnya benar, saya senang hidup di sana. Dengan segala keterbatasannya, di sanalah saya merasa menemukan kemandirian hidup. Jauh dari orangtua, dengan uang yang terbatas serta tuntutan belajar, menjadikan saya pribadi yang lebih baik.

Ketika saya mengajukan diri untuk melanjutkan SMA juga di sana (pesantren), Ibu dengan tegas menolak. Katanya semasa di sana saya sering sakit-sakitan—gatal-gatal akibat alergi. Ketika saya bersikeras, Ibu akan bersikap tak kalah keras—mungkin inilah alasan mengapa masa SMA saya hancur sebagaimana yang saya ceritakan di awal, saya kurang cocok dengan sekolah saya yang baru. Saya menyerah saja, toh tak ada gunanya juga saya belajar ‘ngaji’ di pesantren 3 tahun kalau tetap membantah orangtua. Kalau kata Ali bin Abi Thalib R.A, “Jangan andalkan kefasihan berbicaramu di depan Ibumu yang mengajarimu berbicara.” Saya patuh saja. Mungkin Ibu juga tak sanggup berpisah lebih lama. Mungkin juga Ibu butuh bantuan di rumah: mengurus kebun dan sawah di tengah fisik Bapak yang juga sudah mulai menurun. Ada banyak kemungkinan.

***

Sependek ingatan saya. Awal SMA, Bapak terkena stroke. Beliau, sempat dirawat beberapa pekan di rumah sakit. Dan seperti stroke pada umumnya, penyembuhan stroke memakan waktu lama. Kemampuan motorik Bapak menurun secara drastis: kakinya tak lagi selincah dulu, tangannya tak lagi sekuat dulu. Namun, terkadang beliau masih tetap memaksakan berkunjung ke kebun, membantu kami saat panen jagung. Meski dilarang, Bapak tetap datang. Mungkin bosan di rumah, sendirian.

Sejak terkena stroke itu, Bapak tidak lagi seaktif dulu. Beberapa penyakit bawaan akibat kurang bergerak pun menghampiri: diabetes, darah tinggi, asam urat, dan jantung. Sekotah penyakit itu menuntut Bapak untuk selalu minum pelbagai macam obat 2-3 kali saban hari. Kata Dokter, mending Bapak tidak makan nasi, dibanding tidak minum obat. Saat itu, saya sadar, bahwa obat adalah penyambung hidup Bapak, obatlah yang menguatkan tubuhnya. Menjadikan organ-organ tubuhnya bisa bekerja, meski tak lagi sebaik dulu.

Waktu berjalan, kesehatan Bapak tiap waktu semakin menurun. Di usia saya saat itu, rasa-rasanya saya belum bisa memberikan apa-apa untuknya. Namun, saya yakin Bapak tak mengharapkan apa-apa, itu hanya pikiran ‘nakal’ saya saja. Melihat saya baik, sehat dan berguna sudah cukup. Saya yakin, karena Bapak mencontohkan itu.

Pertengahan tahun kemarin, kesehatan Bapak terus memburuk. Nafsu makan terus menurun, tidur beliau tak lagi nyenyak. Keluarga memutuskan untuk membawa Bapak ke rumah sakit. Setelah dirawat beberapa saat, Bapak kemudian dipindah ke ruang pemulihan. Namun, beberapa saat setelah itu, keadaannya kembali menurun. Tempatnya pun dipindah kembali ke ruang perawatan khusus jantung yang diawasi ketat oleh beberapa perawat. Penjaga pasien dibatasi, pun dengan pembesuknya. Sungguh ketat.

Karena aturan itu, saya mesti mengungsi ke kos teman, sekira 2 km. Setiap jam besuk buka, saya bergegas ke RS lagi, membawa makanan untuk Ibu dan Kakak yang berjaga. Setelah jam besuk habis, saya keluar lagi. Ke mana saja, asal jaraknya tak jauh dari RS. Sebab, kadang ada obat yang harus dibeli.

Hingga suatu waktu, tatkaka saya sedang berbaring di Masjid tak jauh dari RS, Ibu dengan suara panik meminta saya ke kamar perawatan secepatnya. Bapak sekarat, nafasnya tidak beraturan. Saat itu saya panik bukan kepalang. Saya tidak tahu harus melakukan apa. Ibu hanya terus membisikkan kalimat syahadat di telinga Bapak. Berjam-jam. Kami bergantian.

Saat itu juga, dengan mata berkaca-kaca, Ibu meminta maaf pada Bapak. Setelahnya, beliau meminta kami melakukan hal yang sama; kakak, lalu saya. Saat itu saya yakin Bapak masih bisa mendengar suara saya. Terlihat dari anggukan kepalanya yang pelan saat saya meminta maaf. Sangat pelan.

Saya masih ingat, baru beberapa tahun terakhir saya menyalami Bapak ketika lebaran. Mungkin setelah saya mahasiswa. Sewaktu sekolah, saya tak pernah. Canggung sekaligus malu. Entah mengapa.

Cukup lama keadaan Bapak Seperti itu: denyut jantung melemah, tekanan darahnya rendah dan tak ada tanda-tanda kemajuan. Hingga Ibu kemudian berdiskusi dengan kami. Bagaimana kalau Bapak di bawa pulang saja, kami meminta masukan dokter. Dokter lalu mengiyakan, karena harapan hidup memang sudah tak ada. Dari cerita Ibu, saya kemudian tahu, bahwa sejak beberapa hari sebelumnya, ketika dirawat, Bapak sudah meminta pulang ke rumah. Mungkin beliau sudah mendapat firasat atau apalah namanya.

Dari asumsi itu kami menarik kesimpulan. Mungkin Bapak ingin meninggal di rumah. Hidup memang penuh dengan misteri. Dibawalah beliau pulang dengan mobil ambulans, bersama Ibu. Saya mengendarai motor.

Dan benar. Tak cukup sepuluh menit Bapak terbaring di rumah, di pangkuan Kakak tertua. Beliau berpulang: sempurna. Saya sadar, Bapak telah kembali pada Tuhannya. Tuhan kita semua. Tuhan yang selalu diingatkan oleh Bapak untuk disembah. Saya juga ingat, semasa sekolah dulu Bapak sering mengingatkan saya untuk salat. Saya dengan grasah-grusuh dan sedikit marah kemudian salat. Secepat kilat. Kadang juga hanya berwudu, pake sarung dan kemudian tidur. Tatkala Bapak bertanya, saya mengiyakan sudah. Mungkin saat itu Bapak tahu saya berbohong, tapi beliau tidak marah. Saya tak tahu, hatinya terbuat dari apa. Bapak sungguh sabar menghadapi saya. Seumur hidup, saya tak pernah melihat beliau marah. Tak pernah sekalipun. Mungkin itulah sebabnya, saya ini sensitif jika ada orang marah. Yang dimarahi orang lain, yang tersinggung saya. Saya lebih sensitif dibanding yang lain, saya mudah merasa gak enak.

***

Bulan ini tepat setahun kepergian Bapak. Sejak dimakamkan untuk pertama kali, saya jarang berziarah ke makam Bapak. Maafkan saya, Bapak. Saya akan berziarah secepatnya, membersihkan kuburmu dan membawakanmu bunga-bunga doa. Secepatnya. Secepatnya Bapak.

 

Ilustrasi: Syahidah.com

 

 

 

 

 

 

  • “Cabutlah pohon perkawinan dengan sekop kegadisan.” Entah sudah beberapa kali kejadian silariang (kawin lari)di kampung kami terjadi. Sebulan lalu, tiga anak gadis silariang, minggat dari mukimnya, pergi jauh meninggalkan kampung halaman, bersama lelaki idamannya. Konon ceritanya, pasangan muda-mudi sedang dirundung kasmaran itu, tidak mendapat restu orang tuanya. Akhirnya, silariang menjadi jalan pintas, pilihan satu-satunya. Tentu,…

  • “Butuh seratus tahun lagi melihat seorang pesepak bola seperti Lionel Messi,” kata teman saya, yang saya tahu merupakan penggemar berat Inter Milan. Kami berdiskusi tentang piala dunia, aktivisme kemahasiswaan, dan sekelumit masalah dalam dunia akademik. Tidak lama, tapi tidak bisa juga dibilang singkat. Dan, setelah itu tidak ada euforia, setidaknya yang ditunjukkan olehnya, dan juga…

  • Piala Dunia Qatar 2022 menjadi hipotesa gelaran Piala Dunia sebelumnya. Tapak itu bisa dimulai dari semua tahapan gelaran, juga bisa mengambil perbandingan satu periode. Umpamanya saja, Piala Dunia 1986 di Mexico. Di Piala Dunia Qatar tak bisa lagi ada gol tangan tuhan karena wasit sudah membekali diri Video Assistant Referee (VAR). Wasit akan menghentikan pertandingan…

  • “Zaman sekolah dulu, guru sangat ditakuti dan dihormati, dulu kami benjol dipukul guru karena kami nakal, boro-boro lapor polisi, lapor orang tua malah kita tambah benjol, tapi kami tidak cengeng dan menerima “hajaran” guru tersebut, beda sama zaman sekarang.” Begitu bunyi unggahan akun Instagram sandiwarapemuda yang pengikutnya mencapai 260 ribu, caption-nya tentu saja Selamat Hari…

  • Di homeschooling tempat dulu saya bekerja, kegiatan konseling sebaya menjadi tempat untuk melihat lebih dekat karakter murid. Setelah mereka melakukan proses KBM (Kegiatan Belajar Mengajar) di kelas, semuanya berkumpul dalam satu ruangan tertutup dengan fasilitas kelas pada umumnya, ada AC, papan tulis, meja, dan kursi belajar. Lalu bagian konseling memandu para murid, termasuk saya ikut…


Kala Literasi

Jl. Pa’ Bentengang No.6, RT.01/RW.08, Mangasa Kec. Tamalate, Kota Makassar, Sulawesi Selatan 90221