Sumpah Pemuda dan Tekad yang Meredup

Di sebuah pondokan milik keturunan Tionghoa, anak-anak muda progresif berkumpul. Mereka tak hendak bermain game, atau sedang membicarakan merk sepatu terbaru, atau saling cuek dengan menatap layar smartphone masing-masing. Sebab waktu itu, adalah 28 Oktober 1928. Belum ada berhala-berhala budaya populer. Mereka, anak-anak muda yang pikirannya melampaui umur dan zamannya itu hendak menggelar Kongres Pemuda II yang dihadiri perhimpunan pemuda dari seluruh Indonesia.

Setelah dua hari bermusyawarah dan bertukar pikiran, mereka akhirnya menyepakati tiga janji yang kemudian hari disebut sebagai Sumpah Pemuda. Bunyinya begini: kami putra dan putri Indonesia, mengaku bertumpah darah yang satu, tanah air Indonesia. Kami putra dan putri Indonesia, mengaku berbangsa yang satu, bangsa Indonesia. Kami putra dan putri Indonesia, menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia.

Tiga kalimat yang sumir, namun dalam, tegas, dan mencerminkan buah pemikiran yang brilian. Anak-anak muda waktu itu telah memiliki imajinasi kebangsaan yang kukuh dan solid. Mereka telah membentuk gambaran kebangsaan yang disebut Benedict Anderson sebagai komunitas terbayang (imagined Communities). Komunitas terbayang ini dikonstruksi secara sosial oleh orang-orang yang merasa sebagai kawan, saudara, dan satu kelompok.

Bersamaan dengan itu, kesadaran untuk bersatu telah tumbuh dalam jiwa anak-anak muda di suatu hari yang muram itu, di sebuah tanah yang dijajah itu. kesadaran berbangsa diresapi dengan hikmat oleh anak-anak muda dengan latar belakang daerah, suku, dan agama berbeda. Ikrar tersebut kemudian hari menjadi roh bangsa ini. Roh yang lahir dari sebuah tekad untuk merobohkan tembok-tembok primordialisme.

Sebab Sumpah Pemuda menandai terkoneksinya manusia-manusia Indonesia yang memiliki identitas yang berbeda melalui kesadaran untuk bersatu. Konektivitas itu kemudian menandai tegaknya kesadaran plural, ketika anak-anak bangsa bersedia saling menerima kemajemukan, dan memilih memperjuangkan egalitarianisme. Sebuah identitas kolektif bernama “Bangsa Indonesia” akhirnya lahir.

Tekad yang Meredup

Apa yang pernah dibayangkan oleh pemuda 92 tahun lalu adalah bangsa yang oleh Ernest Renant disebut sebagai kehendak untuk membangun kehidupan bersama (le desir d’etre ensemble). Tapi sebaiknya jangan hanya dipahami sebagai kesadaran untuk hidup kolektif saja. Frasa “satu nusa, satu bangsa, satu bahasa” juga sudah memuat tekad untuk menjaga kehidupan bangsa, karena adanya ikrar untuk hidup bersatu.

Tugas merawat inilah yang juga tak kalah rumitnya dengan memperjuangkan Indonesia menjadi bangsa yang merdeka. Karena kita tahu, dari tahun ke tahun, ada saja anak bangsa yang tak mengemban amanah dengan baik. Mereka yang seharusnya bertugas merawat bangsa justru bertindak sebaliknya. Mengoyak persatuan melalui kekerasan atas nama agama, kekerasan antar kelompok, rasisme, atau diskriminasi terhadap minoritas. Anak-anak bangsa seperti kehilangan tekad dalam merawat persatuan.

Biasanya, tugas merawat bangsa dilimpahkan ke pemuda. Karena pemuda selalu dianggap representasi dari agen of change dan social control. Tapi pemuda yang dengan bangga menyebut dirinya milenial ini justru kerap ikut andil merusak kehidupan bersama. Berbondong-bondong bergabung dalam gerakan ekstrimis dan melakukan kekerasan pada kelompok yang dianggap sesat. Hingga ikut-ikutan meneriakkan penegakan sistem khilafah yang tak ramah pada kemajemukan.

Kita berharap pada mahasiswa sebagai bagian dari inteligensia muda. Namun, banyak di antara mereka yang justru semakin menambah luka bangsa melalui tawuran antar kelompok, demonstrasi anarkis yang kesemuanya itu hanya memperlebar jarak antar anak-anak bangsa. Mereka pun diharapkan untuk menjadi pemimpin, atau setidaknya menjadi wakil rakyat agar dipercaya menambal luka di tubuh bangsa.

Mereka akhirnya tampil di panggung politik dengan menjual slogan-slogan pemuda: pembaharu, milenial, generasi masa depan, progresif, generasi 4.0, blablabla. Tapi sayang, kehadirannya hanya menjadi boneka yang dikendalikan oleh orang-orang tua. Setelah menduduki kursi kekuasaan, mereka hanya mewarisi perilaku korup dan menindas dari pendahulunya. Kehadirannya justru hanya memperlebar luka bangsa yang belum sempat mengering.

Nyalakan Lagi Tekad Itu

Bagi saya, bangsa memang diciptakan tidak untuk selesai. Sebab tak ada kehidupan bersama yang tahan dari ancaman konflik. perbedaan-perbedaan selalu menyimpan potensi untuk saling bertikai. Namun di situlah kita dituntut selalu memiliki tekad untuk membangun kehidupan bersama. Tekad tersebut akan mendorong anak-anak bangsa untuk selalu berjuang menyembuhkan luka di tubuh bangsa akibat konflik identitas dan praktik-praktik ketidakadilan.

Yang lebih penting juga, Hari Sumpah Pemuda mestinya menjadi momen yang selalu dihayati. Bukan hanya untuk berlarut-larut dalam romantisme sejarah, namun sebagai batu asah guna mempertajam kesadaran berbangsa, agar setiap orang merasa memiliki tanggung jawab untuk merawat bangsa.

Tentu ada banyak hal dalam di dalam tubuh bangsa yang perlu dijaga. Pertama, merawat kemajemukan dengan mencegah intoleransi, diskriminasi, dan rasisme. Kedua, merawat kedaulatan bangsa dengan melindunginya dari pihak eksternal. Ketiga, merawan kehidupan harmonis bangsa dengan menciptakan pemerintahan yang adil dan memakmurkan.

Tanggung jawab itu sebaiknya dipikul oleh setiap anak bangsa. Sementara pemuda perlu mengambil peran yang lebih banyak. Tanggung jawab itu bukan hanya untuk Anda yang sedang membaca tulisan ini. Tapi juga saya, yang di umur 30 tahun merasa belum berbuat banyak untuk bangsa. Tanggung jawab ini bukan hal yang bisa ditawar-tawar. Sebab merawat bangsa seperti merawat rumah sendiri: ia adalah hasil jerih payah yang diperjuangkan hingga bisa dimiliki. Maka seharusnya selalu ada tekad untuk terus menjaganya.

 

Ilustrasi: https://m.medcom.id/amp/ObzZJRxb-isi-sumpah-pemuda-sempat-berubah-dalam-sejarah-indonesia

  • Dalam satu dasawarsa terakhir, Kabupaten Bantaeng telah tampil sebagai barometer gerakan literasi, khususnya di Provinsi Sulawesi Selatan. Ketika kata “literasi” belum sepopuler hari-hari ini, pegiat literasi di Bantaeng sudah bergerilya menyebar benih gerakan literasi yang kini sudah tumbuh subur. Langkah-langkah gerilyanya ketika itu berupa pelatihan kepenulisan, diskusi buku, dan lapak-lapak baca. Di kemudian hari, langkah…

  • Adelio membuka mata ketika menyadari ombak Perairan Cempedak mengombang-ambing tubuhnya. Ia melihat ke bawah dan mendapati kedalaman laut yang tak terhingga. Ia mendongak ke langit, semburat cahaya matahari baru saja hendak menyapanya dari ufuk timur. Ia baru saja menyadari bahwa dirinya telah mengapung semalaman di tengah laut setelah mendapati sebagian kulitnya yang mulai mengeriput. Ia…

  • Buku terbaru Sulhan Yusuf, Gemuruh Literasi: Sederet Narasi dari Butta Toa boleh dibilang sebagai pembuktian, jika usia bukanlah aral melintang bagi seseorang untuk produktif dalam berkarya. Tapi, insight yang diwedarkan Gemuruh Literasi sebenarnya lebih dari itu. Buku ini adalah jawaban bagi rasa penasaran sebagian orang yang hendak mengetahui gerakan literasi Sulhan di Bantaeng. Kerja-kerja kultural yang…

  • Judul tulisan ini saya pinjam dari ungkapan Profesor Cecep Darmawan—dosen saya ketika studi magister beberapa waktu lalu. Beliau guru besar yang egaliter dan seringkali tampil di publik (media dan forum) untuk berbagi gagasan dan pencerahan. Seingat saya ungkapan itu beliau sampaikan saat kami kuliah “Pendidikan Politik Generasi Muda”. Saya terkesan dengan ungkapan itu, selain indah…

  • Membicarakan suatu topik, dalam hal ini filsafat Islam, maka rasa-rasanya kurang afdal apabila tidak memasukkan nama al-Ghazali di dalamnya. Akan tetapi bila seseorang mau menempatkan al-Ghazali dalam sejarah filsafat Islam, tentu ia harus membuat beberapa catatan. Poin utamanya bahwa al-Ghazali tidak menganggap dirinya filosof dan tidak suka dianggap sebagai seorang filosof. Ini tak hanya menjelaskan…


Kala Literasi

Jl. Pa’ Bentengang No.6, RT.01/RW.08, Mangasa Kec. Tamalate, Kota Makassar, Sulawesi Selatan 90221