Serious Men: Dendam  Kesumat Melawan Takdir Kasta Melalui Akal Bulus Pendidikan

 

Di India, jika Anda terlahir dari keluarga kasta rendah sudah pasti hidup anda bakalan nahas. Peluang hidup sejahtera, terlebih lagi bahagia, besar kemungkinan tidak bakal Anda alami.

Di sekolah, anak Anda kesulitan belajar karena berkasta Sudra, sama seperti betapa susahnya Anda memperbaiki tangga nasib hanya karena sehari-hari Anda bekerja sebagai tukang bersih-bersih. Kehidupan ekonomi Anda tidak kunjung membaik karena kasta Anda bukan Vihara yang berprofesi sebagai pedagang. Bukan pula para Ksatria yang mengisi jabatan strategis di pemerintahan, apalagi bisa menjadi kaum Brahman yang dibekali kesanggupan intelektual untuk hidup bijaksana.

Anda tidak sendirian sebab di luar, sistem kasta ini masih berlaku sama persis seperti hukum gravitasi. Ia hukum besi meski Anda pada nantinya telah tiada. Tukang becak, kuli bangunan, supir bajai, dan cleaning service tidak bisa bertukar tempat menjadi politisi, guru, atau bermimpi menjadi kelas intelektual bijak bestari. Kasta adalah harga mati. Nasib Anda sudah dipastikan dari awal bahkan sebelum anda lahir.

Begitulah nasib dialami Ayyan Mani, dalam Serious Men (2020), film berisi humor kelam yang menyentil sentimen kelas ningrat langsung melalui kelas paling tidak diuntungkan. Sama seperti Parasite (2019), Serious Men tanpa ampun mengangkat strategi hidup masyarakat lapisan akar rumput yang cerdik tapi sekaligus licik memanipulasi peluang-peluang yang bisa membuat kehidupannya menjadi lebih baik.

Ayyan Mani adalah seorang pria miskin, tapi bekerja di tengah-tengah ilmuwan India berkasta Brahman di sebuah lembaga riset nasional di Mumbai. Sudah bisa diduga, bagaimana posisi Mani sebagai kelas terendah dalam sistem sosial masyarakat India yang bekerja di antara kaum Brahman: tidak berharga, kerap diacuhkan, dan diberlakukan seperti binatang.

Sehari-hari Mani berpenampilan klimis berkemeja dan berdasi meskipun ia adalah bagian dari ribuan keluarga miskin India yang hidup super minimalis di sebuah rumah susun. Kehidupan yang demikian mengenaskan sebagai warga rumah susun akan ia kompromikan ketika bekerja sebagai asisten seorang ilmuwan antariksa. Ia mengejek para ilmuwan di tempatnya bekerja sebagai serious men, orang yang disebut jenius hanya karena seluruh perkataannya tidak dimengerti orang.

Ayyan Mani, seperti leluhurnya yang hidup miskin sejak dari lahir adalah keluarga dari kasta Dalit, yakni kasta yang lebih rendah dari Sudra. Dalam hirarki kasta Hindu, kasta Mani adalah kasta di lapisan paling bawah sampai-sampai orang-orang dari kasta ini tidak bernilai sama sekali.

Sebagaimana takdir yang kejam memberlakukan Mani, kehidupannnya tak kunjung membaik sekalipun ia berusaha mengubahnya sampai tujuh generasi setelahnya. Sistem kasta membuat kehidupannya tidak kunjung berubah dan seperti hidup di lingkaran setan.

Hingga akhirnya ia memiliki seorang anak dan menumpaskan dendam kesumatnya menyangkut takdir kastanya. Setelah mencapai usia sekolah, Adi anaknya, ia masukkan ke sekolah yang berisi biarawati dengan tekad melalui pendidikan anaknya, ia bakal mengubah nasib buruk keluarganya. Bukan cuman itu, meskipun anaknya seorang tunarungu, ia memanipulasi kecerdasan anaknya sehingga terkenal seantero negeri dan menjadi ikon sebagai anak jenius.

Lalu, bagaimana cara Mani memanipulasi kecerdasan anaknya? Caranya sederhana, setiap malam ia menyuruh anaknya menghapal kata-kata bermaksim tinggi untuk mengesankan ia anak jenius. Kata-kata yang tidak dipahami orang adalah tanda seseorang itu jenius. Di sekolah, trik ini berhasil karena setiap Adi bertemu gurunya, ia berakting seolah-olah seperti Albert Einstein, yang sedang terpukau dengan sinar matahari dan segera berteori tentang proses fotosintesis, teori kekekalan energi, hukum phytagoras, dan sekelumit pernyataan-pernyataan keilmuan yang membuat gurunya menganga.

Di titik ini, Serious Men mengangkat sekelumit masalah mengenai kecerdasan manipulatif yang dirasakan Mani ketika berada di tengah-tengah para ilmuwan, yang notabene adalah para kaum Brahman. Ejekan ”serious men” yang jadi olok-olokkan Mani kepada para ilmuwan, bukan sekadar sindiran kepada ilmu pengetahuan yang berpihak kepada kelas ningrat belaka, melainkan juga sebutan bagi jenis kebodohan lain dikarenakan para ilmuwan seperti manusia planet yang berbicara dengan bahasanya sendiri tanpa mengerti konteks kehidupan tempat mereka hidup.

Di sisi lain, dalam pendidikan menyangkut pola asuh orangtua kepada anak. Hubungan Mani dan anaknya, terkuak jauh lebih kompleks tidak sebatas hubungan orangtua-anak ala kadarnya, melainkan dilapisi ego, dendam, rasa marah, kecewa, kasih sayang, benci, dan putus asa kepada kenyataan yang memberlukan mereka secara tidak adil, yang mengikat sejumlah harapan Mani atas anaknya.

Atas semua kekalahan hidup itulah, seperti rindu mesti dibayar tuntas, dendam tujuh turunan Mani ia tuntaskan di wilayah paling beradab: dunia pendidikan. Tidak tanggung-tanggung ia mengeksploitasi anaknya untuk memungkasi pembalasan atas takdir kastanya yang membuat orang-orang sepertinya mesti hidup jadi alas kaki kelas ningrat.

Bukan saja guru, politisi, dan sekelompok ilmuwan yang berhasil ia tipu, istrinya yang sekamar dengannya tidak ia beri tahu mengenai akal liciknya itu. Bersama anaknya ia menipu dunia dengan cara menggunakan ilmu pengetahuan. Dan, terlebih lagi mengubah nasib melalui ilmu pengetahuan: kebijaksanaan tertinggi bagi kaum Brahman, satu titik yang ia jadikan olok-olok bersentimen kelas.

Jelas kelihatan dari ambisi Mani yang ingin mengubah dan melawan takdir kemiskinan yang disebabkan sistem kasta yang telah berlaku berabad-abad lamanya, meskipun dilakukan dengan cara membuat anaknya persis seperti badut pendidikan.

Ayyan Mani diperankan Nawazuddin Siddiqui yang berperan baik menjadi seorang ayah yang terjepit nasib hidup miskin, dengan sekelumit kecerdasan ditambah superego memanipulasi bukan saja kehidupan anaknya, tapi juga seantero warga rusun yang ia jadikan tumbal melalui kontrak politik elektoral. Sementara Aakshath Das meskipun memerankan seorang anak jenius tidak menghilangkan kepolosan sebagai seorang anak yang menjadi korban ambisi-ambisi orangtuanya.

”Film itu melihat dunia melalui matanya (Ayyan Mani). Dia mencoba untuk menyerap, mempelajari apa yang tidak Anda berikan padanya. Dia mengambil kesempatan yang tidak diberikan kepadanya dan memberikannya kepada putranya.” Ungkap Sudhir Mishra sebagai sutradara seperti dikutip dari Firspost.

Dengan beberapa scene yang mengambil lanskap kehidupan Mumbai sebagai kota padat, bisa dinyatakan film ini juga sedang menyatakan ulang menyangkut masalah pembangunan yang menyingkirkan kaum marginal ke dalam jaringan masyarakat miskin. Begitu juga sebelumya mengenai pengistimewaan kelas, isu pendidikan, dan parenting, jelas film ini bukan sekadar film yang menjual isu kemiskinan.

To only show them as this crawling, earnest people who look up to others, crying slowly as they drown in some quick sand, wasn’t what I wanted to do. That’s the bad art film you drink wine and discuss at film festivals,” tegas Misrha seperti dinyatakannya melalui  Firspost.

Sejak 2 Oktober lalu, film ini dapat disaksikan di Netflix.

 

Data Film:

Directed by Sudhir Mishra

Produced by Sudhir Mishra, Bhavesh Mandalia, Sejal Shah

Written by Bhavesh Mandalia, Abhijeet Khuman

Based on Serious Men by Manu Joseph

Starring: Nawazuddin Siddiqui, Indira Tiwari, Nassar, Aakshath Das, Shweta Basu Prasad, Yogesh Yadav

Music by Karel Antonin

Cinematography  Alexander Sukala

Edited by Atanu Mukherjee

Production company: Bombay Fables, Cineraas Entertainment

Distributed by Netflix

Release date 2 October 2020

Running time: 114 minutes

Country: India

Language: Hindi

 


Sumber gambar: Indozone.id

  • Dalam satu dasawarsa terakhir, Kabupaten Bantaeng telah tampil sebagai barometer gerakan literasi, khususnya di Provinsi Sulawesi Selatan. Ketika kata “literasi” belum sepopuler hari-hari ini, pegiat literasi di Bantaeng sudah bergerilya menyebar benih gerakan literasi yang kini sudah tumbuh subur. Langkah-langkah gerilyanya ketika itu berupa pelatihan kepenulisan, diskusi buku, dan lapak-lapak baca. Di kemudian hari, langkah…

  • Adelio membuka mata ketika menyadari ombak Perairan Cempedak mengombang-ambing tubuhnya. Ia melihat ke bawah dan mendapati kedalaman laut yang tak terhingga. Ia mendongak ke langit, semburat cahaya matahari baru saja hendak menyapanya dari ufuk timur. Ia baru saja menyadari bahwa dirinya telah mengapung semalaman di tengah laut setelah mendapati sebagian kulitnya yang mulai mengeriput. Ia…

  • Buku terbaru Sulhan Yusuf, Gemuruh Literasi: Sederet Narasi dari Butta Toa boleh dibilang sebagai pembuktian, jika usia bukanlah aral melintang bagi seseorang untuk produktif dalam berkarya. Tapi, insight yang diwedarkan Gemuruh Literasi sebenarnya lebih dari itu. Buku ini adalah jawaban bagi rasa penasaran sebagian orang yang hendak mengetahui gerakan literasi Sulhan di Bantaeng. Kerja-kerja kultural yang…

  • Judul tulisan ini saya pinjam dari ungkapan Profesor Cecep Darmawan—dosen saya ketika studi magister beberapa waktu lalu. Beliau guru besar yang egaliter dan seringkali tampil di publik (media dan forum) untuk berbagi gagasan dan pencerahan. Seingat saya ungkapan itu beliau sampaikan saat kami kuliah “Pendidikan Politik Generasi Muda”. Saya terkesan dengan ungkapan itu, selain indah…

  • Membicarakan suatu topik, dalam hal ini filsafat Islam, maka rasa-rasanya kurang afdal apabila tidak memasukkan nama al-Ghazali di dalamnya. Akan tetapi bila seseorang mau menempatkan al-Ghazali dalam sejarah filsafat Islam, tentu ia harus membuat beberapa catatan. Poin utamanya bahwa al-Ghazali tidak menganggap dirinya filosof dan tidak suka dianggap sebagai seorang filosof. Ini tak hanya menjelaskan…


Kala Literasi

Jl. Pa’ Bentengang No.6, RT.01/RW.08, Mangasa Kec. Tamalate, Kota Makassar, Sulawesi Selatan 90221