Hidup Penuh Insecure, Hidup Bukan untuk Memenuhi Ekspektasi Orang Lain, Bukan?  

Pernah dengar kalimat toxic?  “Sekarang gendutan yah?” Dan, “Muka sama tangan kamu warnanya beda deh.” “Makanya perbaiki diri supaya cepat nikah,” atau “Kapan sarjana, yang lain sudah kerja.”

Logikanya, rentetan kata tersebut hanyalah penggalan kalimat biasa. Bagi sekelompok orang ada yang menjadikannya jokes dalam circle pertemanan mereka. Namun, tak jarang terdengar memuakkan, jika diucap berulang-ulang dengan nada ejekan.

Kiwari ini, kian banyak manusia ringan bicara tanpa menyaring, menanam luka tapi suka pura-pura lupa. Sering juga bersembunyi di balik kata-kata, “Gitu aja baper.” Nahasnya bukan hanya orang-orang luar, bahkan yang terdekat pun tak piawai untuk saling menjaga, diam-diam mematikan karakter.

Hingga akhirnya, seseorang mulai tidak nyaman dengan diri sendiri dan lingkungan. Muncul perasaan tidak aman, cemas, takut, body image negative, bahkan tidak percaya dengan segala potensi diri. Kaum milenial menyebutnya insecure. Narasi yang cukup menarik untuk ditelisik lebih jauh, mengingat beberapa dari kita, belum mampu speak up paling tidak, untuk menjaga perasaan diri sendiri.

Perasaan seperti ini bukan tanpa alasan, agaknya perlu untuk mendedah beberapa perspektif umum, sebab munculnya perasaan insecure. Yang pertama perlakuan overprotective. Biasanya dilakukan orang terdekat, pasangan dan orangtua. Adanya perasaan cemas berlebihan, hingga insting untuk melindungi terlalu besar. Kita sama-sama sepakat bahwa, sesuatu yang berlebihan juga tidaklah baik. Sebab, setiap manusia berhak maju dengan caranya sendiri.

Kedua, perlakuan membanding-bandingkan. Statement ini sepertinya didukung penuh oleh standar menarik dan kecantikan, yang dibuat-buat masyarakat secara umum. Semakin putih semakin cantik, six-pack lebih menawan katanya, yang kurus dituntut berisi, yang gemuk kudu diet ketat. Masyarakat seperti lupa bahwa Nusantara terdiri dari berbagai etnis, warna kulit dan struktur wajah yang beragam. Selain itu, media pun menaruh pengaruh besar, terhadap standar kecantikan dengan memperadakan kontes dan kampanye kecantikan. Secara tidak langsung mendoktrin persepsi orang-orang untuk menjadi sama sesuai standar mereka.

Ketiga, trauma masa lalu. Barangkali ini bisa dijadikan jawaban, untuk keluarga dari antah-berantah yang kerap bertanya seputar pernikahan dan asmara, sebab ada yang lebih berat dari persiapan menuju akad. Ada orang yang terkurung jiwanya bersama masa lalu, ragu-ragu menapaki hidup. Ada pula yang enggan menaruh hati, karena takut dikhianati (lagi). Ada yang ragu berkomitmen karena trauma kekerasan dalam rumah, ada pula yang berakhir putus asa meraih harap. Sebagian dari kita menganggap bahwa pengalaman adalah guru, sisanya adalah mereka yang terus melatih diri, lepas dari bayangan masa lalu.

Keempat, kegagalan. Gagal adalah momok yang menakutkan bagi sebagian orang, ditengah usaha dan kerja keras, kadang kita harus diperhadapkan dengan ketidak berhasilan. Seperti penolakan lamaran pekerjaan dan penolakan-penolakan yang lain, berbuntut pada tingginya kecemasan. Cemas tidak mampu memperbaiki ekonomi keluarga, takut mencoba kembali, takut dianggap tidak berguna.

Kelima, overthinking, berpikir berlebihan. Pada dasarnya manusia memang tidak pernah puas. Tak salah, yang keliru ketika kita memaksakan keterbatasan, untuk memenuhi standar  kepuasan orang lain.

Keenam, perfeksionis. Menuntut kesempurnaan terhadap diri, untuk mencapai titik terbaik dalam hidup akan menjadi boomerang bagi diri sendiri. Seseorang dengan sifat perfeksionis, adalah mereka yang enggan menerima kegagalan dan seringkali bertengkar dengan diri sendiri, jika hasil yang didapatkan tidak berbanding sesuai harapan.

Terakhir, rasa takut untuk bersosialisasi, sebab terlalu cemas dianggap berbeda dengan orang sekitar. Perasaan tidak aman sebetulnya adalah hal yang wajar, namun berada pada posisi yang sama dalam waktu yang lama, tidak akan membawa kita kemana-mana.

Nihil manusia yang hidup bersahabat dengan keadaan baik-baik saja sepanjang waktu. Saya pun tak lepas dari insecurities, bahkan untuk bisa speak up lewat tulisan ini, cukup berat. Sangkala, sehabis beres tanggung jawab saya, mengabdi diri pada masyarakat. Saya kembali ke kampus, dengan keadaan kulit lebih gelap dan kusam dari biasanya. Segala gurau perihal warna kulit tidak pernah saya ambil pusing, sebab begitulah nyatanya. Hitung-hitung menyenangkan orang lain sembari bercanda, dengan membalas ucapan “Iya dong, eksotis.” Namun kali ini berbeda, terlalu naïf untuk mengatakan ini menyenangkan. Teguran demi teguran berkawan gelak tawa, ingin rasanya berlalu dari hadapan mereka, sesegera mungkin. Tetapi, menjaga perasaan mereka agaknya lebih penting, tinimbang menunjukkan ketidakpuasan hati, atas perlakuan kurang mengenakkan saat itu.

Sedikit menghela nafas dan menguatkan diri, kulit yang semakin menggelap selepas KKN itu wajar, namanya saja “Kuliah Kerja Nyata” bukan “Kuliah Kerja Nyantai.” Barangkali mereka peduli, caranya saja yang sedikit keliru. Saya yakin, ketika kita tidak bisa mengubah orang lain dalam melihat kita, maka kitalah yang harus mengubah cara kita memandang orang lain. Perasaan insecure memang tidak bisa hilang sewaktu-waktu, kuncinya adalah tetap berpikir positif dan selalu mencintai diri sendiri.

Terakhir, senyatanya tidak ada yang salah dari sebuah kritikan, asal paham situasi dan kondisi mental seseorang. Bukan hal yang sulit ketika kalimat tanya “Kapan sarjana, yang lain sudah kerja?” Diganti dengan “Semangat yah, proses setiap orang berbeda. Sarjana bukan tentang siapa yang paling cepat, tetapi siapa yang mampu menjadi manusia setelahnya.” Berhenti menegur fisik dengan nada mengejek, jangan sampai buah dari ucapan kita, menjadi alasan, seseorang menghalalkan segala upaya di luar keterbatasan. Berhenti menjadi kendali pada setiap pilihan hidup seseorang, jika biayanya tidak Anda tanggung. Lagi pula kita hidup bukan untuk memenuhi ekspektasi orang lain, bukan?

Sumber gambar: dictio.id

  • Semuanya bermula dari kesepakatan. Sepakat untuk menamakan media Kelas Literasi Paradigma Institute, yang bentuknya berupa lembaran, dengan nama Kala. Sejak kelas literasi ini dibuka untuk gelombang kedua, di pertemuan perdana pun sepakat untuk melahirkan media Kala ini. Banyak nama yang diusulkan, tetapi yang disepakati adalah Kala. Sepenggal kata yang diusulkan oleh Rahmat Zainal. Kala, bisa…

  • Pada akhirnya, hanya dua hal; disiplin dan sikap gigih. Biar bagaimanapun jadi penulis harus disiplin. Ini berarti di situ perlu pola, suatu rencana. Agak susah mau sebut disiplin, kalau di situ tidak ada suatu rencana. Penulis, saya kira orang yang punya agenda; dia menghitung, merancang, menetapkan. Dia mengklasifikasi bacaannya. Menulis catatannya. Dan, menyusun tulisannya. Sikap…

  • Pekan ke tujuh, kelas menulis PI agak molor. Hampir dua jam. Kesepakatannya, kelas harus dibuka pukul satu siang. Minggu lalu masih menumpuk beberapa tulisan, makanya perlu tambah waktu. Tapi, kelas dimulai sekira pukul tiga. Kawankawan satu persatu datang. Kelas mulai ramai. Yang buka kelas Heri. Saya, yang diplot jadi ketua kelas memilih bagi tugas. Kebiasaan…

  • Ini pekan yang panjang, terutama Kelas Menulis PI. Sudah jauhjauh hari tulisan diposting, sudah jauh sebelumnya kritik diajukan. FB jadi media, untuk tulisan dapat masukan. Sebelumnya tidak ada macam begitu. Ini hal yang baru. Sudah dua pekan hujan urung berhenti. Langit jadi basah, hitam. Tak sering malah bikin waswas. Apakah kawankawan mau datang, biar pun…

  • Awalnya agak ragu kelas menulis PI tidak jadi digelar. Tibatiba hujan datang. Deras. Tapi, selama berlangsung, kelas PI tidak pernah bolong. Sudah hampir tujuh bulan kelas dibuka. Sekarang, yang diuji konsisten. Juga disiplin. Semangat bisa datang, bisa lapuk, bahkan hilang. Kali ini biar bagaimana pun kelas tak boleh gagal. Pasca hujan reda, gegas berangkat. Semangat…


Kala Literasi

Jl. Pa’ Bentengang No.6, RT.01/RW.08, Mangasa Kec. Tamalate, Kota Makassar, Sulawesi Selatan 90221