“Manusia sesungguhnya tak pernah lupa pada pengalamannya.” (Alwy Rachman)
Tumben, Daeng Litere berulah. Kali ini memohon sesuatu padaku yang amat pribadi. Tanpa basa-basi, seenaknya saja meminta kata sandi akun medsosku. Hebohnya lagi, sekotah akunku ingin dijelajahinya. Padahal, pasanganku saja tidak seleluasa itu, mau tahu rahasia di balik keriuahan persetubuhan pikiran jagat mayaku.
Celakanya, aku pun memercayainya begitu saja. Satu-satunya pertimbanganku, karena Daeng Litere paling malas bermedsos. Tidak punya akun facebook, instagram, tweeter, dan lainnya. Setahuku hanya punya fasilitas whatsapp. Itu pun hanya bergabung di grup terbatas. Sesekali mengintip, tak pernah terlibat perbalahan. Maklum saja, ia tergolong manusia unik, menganggap keramaian di dunia maya, sesungguhnya kesunyian yang nyata. Terkesan beramai-ramai, tapi sibuk sendiri-sendiri.
Kulayangkanlah sandi facebookku. Dibalasnya dengan emoticon terkekeh. Aku bisa meraba maksudnya, Daeng Litere meledek sandiku yang tak jauh-jauh dari dunia keseharianku. Tak butuh waktu lama, ia sudah mengirimkan satu status panjang yang dipikirkan seseorang, lalu menandaiku.
“Ya, pada akhirnya kelas mesti berakhir, tapi gairah belajar mesti terus diukir. Kita adalah orang-orang yang berbahagia karena sudah berproses; bertambah dan bertumbuh saban pekan. Di kelas ini. Kita kemudian sadar, bahwa tulisan tak lahir dari keadaan biasa-biasa saja. Ia hadir dari keresahan, pikiran yang berkecamuk, dan–mungkin–hati yang remuk. Ya, kau tak bisa menulis, jika tak melihat, berpikir, dan merasa. Tulisan ialah refleksi itu semua. Sampai ketemu di kelas angkatan berikutnya. Insyallah. Verba volant, scripta manent.”
Sungguh, pesan status yang dilayangkan Daeng Litere, sudah sempat juga aku eja. Status itu berasal dari salah seorang mentor, Muhammad Ikbal, yang ikut menggawangi kelas menulis di Rumah Baca Panrita Nurung. Dan, sebenarnya masih ada status lainnya, dari mentor lain, Akmal Galla Cendang yang menulis, “Lumayan sedih rasanya ketika harus mengatakan, ‘Kelas menulis akan ditutup. Ini pertemuan terakhir.’ Kayak ada kremes-kremesnya.”
Lebih khusyuk Akmal mendedahkan, “Di kelas ini, kami semua bertumbuh. Sama-sama belajar. Bukan sekadar belajar menulis, tapi belajar banyak hal. Belajar menjaga konsistensi, merawat komitmen – tuh kan, komitmen dan konsistensi saja dijaga dan dirawat, apalagi kamu. Semua-muanya kita pelajari secara tidak langsung di kelas ini. Dan senang rasanya, melihat tiga teman kita mewisuda dirinya sendiri. Kami tunggu wisuda teman-teman yang lain. Walakin kelas harus ditutup. Sebab proses belajar menghendaki kita keluar pagar sekolah, agar terus bertumbuh. Lagipula, penutupan kelas, bukan berarti mengakhiri giat literasi kita. Ini justru menjadi awal kebaikan baru. Terima kasih. Sampai ketemu lagi di season berikutnya.”
Di sela saling berbalas japri dengan Daeng Litere, aku menyarankan agar membuka grup whatsapp, Literasi Bantaeng, sebab lagi ada dialog panjang tentang pendidikan secara umum, include metodologi pelatihan yang lebih khusus. Percakapan di grup ini berlangsung lumayan lama, hingga larut malam.
Esoknya, Daeng Litere sudah mengirimkan pesan lagi, lalu mengatakan poin penting terkait dengan kelas menulis yang aku ampuh bersama dua mentor lainnya, berbunyi, “Model ini banyak memengaruhi Prinsip Androgogi. Model ini percaya bahwa belajar itu berlangsung secara siklis. Itu sebabnya, untuk mengukurnya, Kolb menggunakan dua skala: (1) Proses. Kolb menyebutnya processing continuum, (2) Persespi. Kolb menyebutnya perception continuum. Jadi, dua skala ini disilangkan untuk mengenali “apa yang terjadi” ketika seseorang/sekelompok orang belajar.
Rupanya, Daeng Litere mengemukakan argumen Alwy Rachman, lebih akrab disapa Kak Alwy, sosok scholar mukim di Makassar, yang menjadi pemantik percakapan. Dialog di grup, melibatkan beberapa orang. Aku lebih banyak menyimak, sesekali saja menyela percakapan.
Arkian, Daeng Litere menyambungkan pesannya, yang dikutip dari Kak Alwy, “Kalau mau dipraktikkan di kelas menulis, bisa begini: (1) Peserta diminta menulis apa saja. Ini namanya: Active Experimentation atau doing (2) Setelah kita diskusikan Pengalaman Konkrit Peserta (concrete experience). Misalnya: adakah kesulitan, kesulitan apa, dan lain-lain. (3) Reflection, yaitu diskusi untuk tahu apa yang dirasakan oleh peserta lewat pengalaman pada tahap 1, dan 2. (4) Abstraction. Pada tahap ini, kita memasukkan pengetahuan. Misalnya: apa itu paragraf. Berapa kalimat yang baik untuk satu paragraf. (5) Di tahap ini, peserta kembali diminta memperbaiki tulisan yang dihasilkan pada tahap 1, dan sudah didiskusikan pada tahap 2, 3, dan 4. Melewati tahap 5, berarti kita melewati satu siklus belajar.”
Setelah pesan aku terima, Daeng Litere menabalkan kalimat, “Tolong dipertimbangkan untuk menguji coba metodologi atau proses yang ditawarkan Kak Alwy.”
Tak butuh jeda, langsung kubalas, “Lihat komentarku atas argumen Kak Alwi, ‘Ini yang oke bingits. Satu pendekatan dalam kelas menulis. Tengkiyu Kak Alwy’, lalu dibalasnya, ‘Eits…bung Sul. Dicoba saja. Ini memang teori tentang belajar dari pengalaman (experiental learning), lalu kurespon dengan pernyataan, ‘Iye Kak. Insyaallah akan diadaptasi.”
Sesarinya, apa yang dikemukakan Kak Alwy, sedikit banyaknya, aku dan kawan mentor lainnya, mempraktikkan sistem pendidikan andragogy dengan pendekatan belajar dari pengalaman. Meskipun begitu, aku akan menyempurnakannya dengan memantapkan untuk mengutuhkan siklus belajar yang bertaut sebanyak lima tahapan.
Boleh jadi nantinya, capaian di kelas berikutnya makin mekar hasilnya. Sebab, dengan metode yang aku terapkan belum seutuh siklus belajar lima tahapan itu, beberapa peserta di kelas menulis Rumah Baca Panrita Nurung, Bantaeng, dengan durasi delapan kali persuaan, tiap dua pekan pelaksanaannya, sehingga memangsa waktu empat bulan, setidaknya menghasilkan tulisan berupa esai, cukup memadai.
Apa yang dimaksud pada tahapan pertama, kedua, dan ketiga, mesti dibereskan dalam tiga empat kali pertemuan. Berikutnya, tahapan keempat, dituntaskan pada perjumpaan lima dan enam. Adapun tahapan kelima, di persuaan ketujuh dan kedelapan. Dan, di persamuhan ketujuh dan kedelapan tulisan peserta sudah layak dipublikasikan di media. Sungguh praktik siklus belajar lima tahap dari kak Alwy, sebentuk sistematisasi teori atas praktik di kelas. Meskipun tidak direncanakan dari awal. Jadi, praktik di kelas, menjadi kuat landasan pengetahuannya lewat sistematisasi lima tahapan.
Dari dua puluh orang peserta yang ikut di pertemuan perdana, yang berhasil finis di kelas hanya lima peserta. Dan, tiga orang sudah menghasilkan esai yang telah dipublikasikan lewat media daring, Kalaliterasi.com. Bagi kami selaku mentor, ini serupa pencapaian target di kelas. Dan, bagi peserta, terpublikasinya tulisan mereka, semacam wisuda atas diri mereka di kelas. Selanjutnya, mereka menentukan nasibnya sendiri, berkaitan dengan keberlanjutan tradisi menulisnya.
Para peserta di kelas, mereka menabalkan diri sebagai pejuang kata. Sebab, mereka berjuang memilih dan memilah kata, agar tiba di jumlah 700-900 kata, untuk satu esai yang dipatokkan. Sekotah pejuang kata, pastilah orang-orang yang belajar pada pengalaman. Pengalaman adalah gurunya. Manusia sesungguhnya tidak pernah lupa pada pengalamannya, sebagaimana didakukan Kak Alwy.
Lahirnya tiga orang wisudawan, Astiwi Ahmad, Suhardi, dan Muhammad Muhajir Toin, menandai mekarnya mereka dalam keharuman bunga-bunga kepenulisan, Dan, mereka mekar di pucuk tahun, seiring dengan diakhirinya kelas menulis Rumah Baca Panrita Nurung, pada pekan terakhir Desember 2020.
“Hai dekkengku, sudahkah dikau mengeja esai-esai para pejuang kata yang mekar tulisannya di Kalaliterasi.com?” Kupungkasi japri Daeng Litere dengan tanya.