Islam Nirkekerasan dan Universalisme Ajarannya

Pada pertengahan Agustus 2020 lalu, kelompok intoleran di Solo menyerang  keluarga besar Assegaf bin Jufri saat menggelar midodareni, atau doa sebelum pernikahan. Mereka mengira keluarga besar Assegaf bin Jufri menggelar ritual Syiah, mazhab yang selama ini mereka anggap sesat. Padahal midodareni adalah adat Jawa. Itu aneh dan bikin tepuk jidat. Tapi seperti itulah model keislaman sebagian muslim di Indonesia. Gampang marah. Dikit-dikit sesat, dikit-dikit kafir. Tak jarang mereka memerangi siapa pun yang dituduh sesat dan kafir dengan alasan membela agama dan menegakkan syariat.

Kita bisa memberi aplaus yang sekencang-kencangnya pada pihak kepolisian yang berhasil meringkus pelaku kekerasan. Tapi peristiwa tersebut seharusnya membuat kita semakin gelisah. Karena ternyata masih banyak kelompok muslim yang mengekspresikan keislamannya dengan paras yang galak. Mereka tak hanya melakukan kekerasan verbal dan pemikiran, namun juga hobi melakukan kekerasan fisik. Karena mereka menganggap perbuatan keji tersebut sebagai bentuk kesalehan. Suatu pandangan yang sama sekali tidak bisa diterima oleh akal sehat saya. Bagaimana mungkin kesalehan diekspresikan melalui kekerasan?

Peristiwa yang menimpa keluarga besar Assegaf bin Jufri akhirnya menambah daftar panjang praktik intoleransi kelompok ekstrimis di Indonesia. Sejarah telah mencatat, sudah banyak warga negara yang menjadi korban kebengisan Islam berparas galak, utamanya pada penganut Ahmadiyah dan Syiah. Bahkan tak jarang perlakuan kasar juga diarahkan  pada non-muslim. Entah sampai halaman keberapa catatan intoleransi umat muslim diakhiri. Yang pastinya, sepanjang pendangkalan paham keagamaan masih terus terjadi, maka ekstrimisme Islam masih akan terus tumbuh, dan memperlebar luka yang belum sempat mengering.

Itulah sebabnya, bagi saya, pemikiran K.H. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) selalu relevan untuk disebarluaskan. Selama kekerasan atas nama agama masih terus terjadi, selama itu pula gagasan Gus Dur harus terus diperkenalkan. Sebagai bapak pluralisme dan kemanusiaan, Gus Dur memiliki pandangan yang menarik tentang Islam. Dari sejumlah tulisannya, saya menyimpulkan jika Gus Dur memandang Islam sebagai agama yang nirkekerasan dan bersifat universal. Wajah Islam inilah yang sebaiknya menjadi bahan refleksi bagi kita semua. Bahkan kita perlu terlibat dalam mengampanyekannya. Agar dapat mengimbangi diskursus ekstrimisme Islam, suatu yang tegas ditolak oleh Gus Dur.

Mari sejenak menyelisik pandangan Gus Dur mengenai Islam sebagai agama nirkekerasan. Dalam buku Islamku Islam Anda Islam Kita, Gus Dur sudah sangat tegas mengatakan, apapun bentuk dan sebab dari tindak kekerasan sangat bertentangan dengan ajaran Islam. Tentu apa yang disampaikan Gus Dur sangatlah beralasan. Jika menyelisik dengan baik ayat-ayat Al-Qur’an, maka akan ditemukan perintah untuk tidak berbuat keji, kemungkaran, permusuhan, dan membunuh (QS An-Nahl: 90,  QS Al-Maidah: 32).

Itulah mengapa Gus Dur sangat mengecam aksi sweeping oleh Ormas, terorisme, atau tindak kekerasan lainnya dengan mengatasnamakan agama. Karena sikap demikian melanggar hak asasi manusia, nilai yang bagi Gus Dur sangat dimuliakan dalam Islam. Di samping itu, kekerasan hanya mendatangkan perpecahan, yang juga sangat dilarang dalam Islam. Dan larangan itu bagi Gus Dur jelas ditekankan  dalam Al-Qur’an: “Berpeganglah kalian pada tali Allah, dan jangan terpecah-pecah” (QS Ali-Imran: 103).

Satu-satunya alasan untuk menggunakan  kekerasan demikian kata Gus Dur adalah “jika kaum muslimin diusir dari tempat tinggal mereka. Itupun masih diperdebatkan bolehkah kaum muslimin membunuh orang lain, jika nyawanya sendiri tidak terancam?”. Hal tersebut menyiratkan jika kekerasan hanya bisa dilakukan jika dalam keadaan terpaksa. Ketika kita hendak melindungi diri ancaman dan serangan pihak eksternal.

Tapi kita menyaksikan hal berbeda yang kerap dilakukan oleh sebagian muslim. Begitu mudahnya memerangi kelompok lain hanya karena dituduh sesat dan kafir. Mereka sama sekali tak merasa bersalah atas perbuatan tersebut, karena diyakini sebagai perintah agama. Padahal tindakan mereka dilegitimasi oleh pemahaman yang dangkal terhadap ajaran Islam.

Misalnya, salah satu ayat andalan mereka. “Bersikap keras terhadap orang kafir dan bersikap lembut terhadap sesama muslim” (QS Al-Fath: 29). Ayat tersebut—yang hanya dipahami secara literal—selalu dijadikan legitimasi teologis untuk menyerang dan berlaku kasar pada kelompok yang dianggap kafir. Celakanya, kafir menurut Islam berparas galak selalu identik dengan non-muslim. Sementara Al-Qur’an menyebut non-muslim sebagai Ahlul Kitab. Mereka juga menyebut kafir bagi muslim yang dituduh keluar dari Islam hanya karena menganut mazhab tertentu.

Padahal, sebagaimana yang pernah dikatakan Gus Dur,  kata “kafir” atau “kuffar” yang dimaksud Al-Qur’an adalah orang-orang musyrik yang ada di Mekkah di zaman Nabi Muhammad saw. Jadi tidak adil jika menggeneralisasi non-muslim sebagai kafir, apalagi muslim yang berbeda mazhab. Lebih tidak manusiawi lagi jika harus memerangi mereka hanya karena dianggap berbeda. Karena sekali lagi, Islam sangat melarang tindakan kekerasan.

Saya langsung teringat dengan satu ayat yang sering dikutip Gus Dur dalam setiap tulisannya. “Dan telah kubuat kalian berbangsa-bangsa dan bersuku-suku, agar kalian saling mengenal” (QS Al-Hujurat: 13). Melalui ayat ini, Gus Dur ingin menekankan jika dalam Islam, perbedaan pandangan dan cara hidup adalah suatu yang wajar bahkan memperkaya kehidupan kolektif manusia. Maka perbedaan sebenarnya  adalah kenyataan yang tak bisa ditampik, dan justru mendatangkan suatu kebaikan bagi kehidupan sosial.

Tapi jika Islam melulu dijalankan dengan pandangan yang sempit, ekslusif, dan berwajah galak, agama yang agung ini hanya akan menjadi beban bagi kemajemukan di Indonesia. Bahkan Islam hanya akan menjadi beban bagi perkembangan peradaban di masa depan. Satu-satunya cara agar Islam menjadi agama yang anti-kekerasan, jika Islam menampilkan dirinya sebagai agama yang mengedepankan nilai-nilai kemanusiaan. Dalam wujud tersebut, Islam bisa menjadi agama yang inklusif dan menghargai hak asasi manusia secara keseluruhan, tanpa terkecuali.

Pandangan inilah yang kemudian disebut Gus Dur sebagai universalisme Islam. Gus Dur pernah membahas gagasan tersebut dalam artikelnya yang berjudul Universalisme Islam dan Kosmopolitanisme Peradaban Islam. Saya pikir gagasan universalisme Islam ala Gus Dur sangat perlu untuk direfleksikan kembali guna mengembalikan citra Islam sebagai agama kemanusiaan, perdamaian, toleran, dan nirkekerasan.

Menurut Gus Dur, ada lima buah jaminan dasar yang diberikan Islam kepada individu dan kelompok masyarakat sebagai ajaran yang menampilkan universalisme Islam.  Kelima jaminan dasar itu tersebar dalam literatur hukum Islam (al-kutub al-fiqhiyyah). Apa saja itu?

Pertama, keselamatan fisik warga masyarakat dari tindakan badani di luar ketentuan hukum. Hal tersebut memerlukan model pemerintahan berdasarkan pada hukum.  Karena hanya dengan kepastian hukum, perlakuan adil dapat diterapkan pada seluruh warga tanpa terkecuali.  Kedua, keselamatan keyakinan agama masing-masing, tanpa ada paksaan untuk berpindah agama. Hal tersebut akan memunculkan tuntutan moral untuk menghargai kesetaraan dan bersikap tenggang rasa pada perbedaan pandangan.

Ketiga, keselamatan keluarga dan keturunan. Hal ini diperlukan untuk menjaga kesucian keluarga agar tak dimanipulasi oleh sistem kekuasaan yang ada, agar keluarga tetap menjadi ruang bagi tumbuhnya toleransi. Sebab di lingkungan keluargalah setiap individu dapat mengembangkan pilihan-pilihannya tanpa gangguan. Keempat, keselamatan harta benda dan milik pribadi di luar prosedur hukum, namun tetap dalam batas-batas tertentu. Kelima, keselamatan profesi. Dalam arti, perlu ada jaminan setiap orang untuk bebas memilih jenis profesi yang ingin ditekuni.

Kelima jaminan keselamatan tersebut, kata Gus Dur menampilkan universalisme Islam. Karena pemerintahan berdasarkan hukum, persamaan derajat, dan sikap tenggang rasa terhadap perbedaan pandangan adalah unsur-unsur utama kemanusiaan. Jika kerangka teoritis ini dijalankan, maka akan menciptakan masyarakat Islam yang toleran, inklusif, dan humanis.

Univeraslisme ajaran Islam tentu saja perlu dianut oleh masyarakat muslim di Indonesia. Sebab, karakteristik Indonesia yang multikultural mengharuskan setiap warga negara untuk bersikap toleran dan menghargai hak individu. Juga, Indonesia sebagai negara hukum meniscayakan warga negara setara dan harus mendapatkan perlakuan yang sama.

Hanya ada satu pekerjaan besar kita sebagai umat muslim agar universalisme ajaran Islam bisa berfungsi dengan baik.  Ia harus didukung oleh kosmopolitanisme Islam. Berdasarkan pembacaan saya terhadap pemikiran Gus Dur, saya memahami  kosmopolitanisme Islam sebagai model kehidupan beragama yang eklektik dan mengharuskan  masyarakat muslim memiliki pluralitas budaya. Hal tersebut membuat masyarakat muslim bersedia berinteraksi, menerima, bahkan menyerap unsur-unsur kebudayaan dan pemahaman di luar dirinya, sehingga Islam mampu beradaptasi di setiap konteks zaman.

Saya pikir, proses menyerap tersebut tak harus memaksa kita meninggalkan warisan lama dalam Islam. Hal baru yang baik perlu diambil dengan mengedepankan sikap kritis, namun tetap mempertahankan hal lama yang dianggap baik. Yang juga harus ditekankan, bahwa kosmopolitanisme Islam tetap mempertimbangkan keseimbangan antara kecenderungan normatif dalam Islam dan kebebasan berpikir masyarakat. Bahkan, menurut Gus Dur, keseimbangan tersebut yang membuat kosmpolitanisme Islam berada pada titik optimal. Watak kosmopolitan ini membuat universalisme Islam bisa semakin aplikatif. Karena prasyaratnya telah terpenuhi. Masyarakat muslim tidak lagi dibatasi oleh tembok identitas yang sempit dan siap membuka diri pada keragaman budaya dan wawasan di luar dirinya.

Hal tersebut memungkinkan prinsip-prinsip kemanusiaan dalam universalisme Islam dapat dijalankan. Gus Dur menyebutnya, “situasi cair yang memaksa univeraslisme Islam untuk terus-menerus mewujudkan diri dalam bentuk nyata”. Jika tak didukung oleh watak kosmopolitan, maka kata Gus Dur, universalisme Islam hanya menjadi kerangka teoritik yang tidak berfungsi. Paling banter menjadi ajaran moralistik belaka.

Ilustrasi: https://www.deviantart.com/kertabhumi/art/THE-GUS-DUR-744897897

  • Dalam satu dasawarsa terakhir, Kabupaten Bantaeng telah tampil sebagai barometer gerakan literasi, khususnya di Provinsi Sulawesi Selatan. Ketika kata “literasi” belum sepopuler hari-hari ini, pegiat literasi di Bantaeng sudah bergerilya menyebar benih gerakan literasi yang kini sudah tumbuh subur. Langkah-langkah gerilyanya ketika itu berupa pelatihan kepenulisan, diskusi buku, dan lapak-lapak baca. Di kemudian hari, langkah…

  • Adelio membuka mata ketika menyadari ombak Perairan Cempedak mengombang-ambing tubuhnya. Ia melihat ke bawah dan mendapati kedalaman laut yang tak terhingga. Ia mendongak ke langit, semburat cahaya matahari baru saja hendak menyapanya dari ufuk timur. Ia baru saja menyadari bahwa dirinya telah mengapung semalaman di tengah laut setelah mendapati sebagian kulitnya yang mulai mengeriput. Ia…

  • Buku terbaru Sulhan Yusuf, Gemuruh Literasi: Sederet Narasi dari Butta Toa boleh dibilang sebagai pembuktian, jika usia bukanlah aral melintang bagi seseorang untuk produktif dalam berkarya. Tapi, insight yang diwedarkan Gemuruh Literasi sebenarnya lebih dari itu. Buku ini adalah jawaban bagi rasa penasaran sebagian orang yang hendak mengetahui gerakan literasi Sulhan di Bantaeng. Kerja-kerja kultural yang…

  • Judul tulisan ini saya pinjam dari ungkapan Profesor Cecep Darmawan—dosen saya ketika studi magister beberapa waktu lalu. Beliau guru besar yang egaliter dan seringkali tampil di publik (media dan forum) untuk berbagi gagasan dan pencerahan. Seingat saya ungkapan itu beliau sampaikan saat kami kuliah “Pendidikan Politik Generasi Muda”. Saya terkesan dengan ungkapan itu, selain indah…

  • Membicarakan suatu topik, dalam hal ini filsafat Islam, maka rasa-rasanya kurang afdal apabila tidak memasukkan nama al-Ghazali di dalamnya. Akan tetapi bila seseorang mau menempatkan al-Ghazali dalam sejarah filsafat Islam, tentu ia harus membuat beberapa catatan. Poin utamanya bahwa al-Ghazali tidak menganggap dirinya filosof dan tidak suka dianggap sebagai seorang filosof. Ini tak hanya menjelaskan…


Kala Literasi

Jl. Pa’ Bentengang No.6, RT.01/RW.08, Mangasa Kec. Tamalate, Kota Makassar, Sulawesi Selatan 90221