Di abad-19 M, suatu masa saat Eropa bergerak dalam tata hidup yang progresif, seorang filsuf, juga sekaligus seorang penyair asal Jerman, menyebut dirinya sendiri “aku bukanlah seorang manusia, melainkan sebuah dinamit membuat orang gelisah, itulah tugasku”. Persona itu bernama Nietzsche (1844-1900).
Seperti dinamit, Nietzsche hadir membawa “letupan” dan “gelegar” terhadap apa yang mapan dan mengeras dalam kerangka rasionalitas manusia Eropa waktu itu. Tersebutlah yang hendak mapan semisal ilmu pengetahuan, rumusan metafisika, mimpi-mimpi akan kemajuan, hukum-hukum moral, dan segala nilai tertinggi yang menata dan menertibkan.
Nietzsche hadir di tengah-tengah situasi demikian, seraya “membakar” dan “menghancurkannya”. Karir intelektualnya memang membawanya pada suatu ambisi untuk melumpuhkan absoluditas. Barangkali syairnya yang berjudul Ecce Homo adalah penegasan lebih lanjut dari dirinya yang “membakar” dan “menghancurkan” itu.
Ya! Darimana asalku kutahu pasti!
Tiada kenyang bagai nyala api
Aku membara habisi diri.
Segala kupegang jadi cahaya,
yang kulepas jadi arang hampa:
Pastilah aku nyala sejati
Dalam perjalanan intelektual Nietzsche, bisa kita saksikan bagaimana radikalisme seorang yang sempat gila di akhir riwayatnya. Rumusan metafisika dan teori-teori ilmu pengetahuan saling bertikai memperebutkan kebenaran sejati.
Tapi apalah arti kebenaran di mata Nietzsche yang hanya dianggap sebagai kekeliruan yang terus diulang-ulang. Sedangkan moralitas tak lebih dari suatu interpretasi saja. “Baik dan jahat cuma prasangka Tuhan” kata Nietzsche suatu waktu dalam syairnya yang berjudul Dari Surga.
Penerimaan terhadap segala nilai tersebut sebenarnya hanyalah bentuk ketakutan umat manusia untuk meninggalkan segala ihwal yang dapat memberi jaminan hidup agar terarah dan bertujuan. Padahal dunia ini, menurut pemikiran Nietzsche, sudah sejak mula berada dalam keadaan khaos dan nihil, bahkan sejak manusia telah membunuhTuhan.
“Tuhan telah mati! Tuhan tetap mati! Dan kita telah membunuhnya.” Kutipan tersebut adalah potongan kalimat dari aforisme Nietzsche yang berjudul Orang Gila. Seraya merayakan kematian Tuhan yang dibunuh oleh manusia sendiri, Nietzsche sekali lagi memperingatkan umat manusia melalui kalimat tersebut, bahwa nilai tertinggi telah lenyap dan kita sendirilah yang menghabisinya.
Meskipun demikian, orang-orang tetap saja mencari otoritas lain yang dapat menuntun kehidupan dan dapat mendikte mengenai apa yang dianggap bernilai, bermakna dan benar. Secara tidak langsung, menurut Nietzsche, orang-orang masih mencari model-model Tuhan yang baru.
Pada akhirnya, orang-orang tak mampu berkata “ya” pada hidup, tak sanggup menerima dunia yang khaos dan nihil ini, dan berusaha mengatasi keadaan dengan mencari model-model Tuhan yang baru. Padahal gerak sejarah kebudayaan bagi Nietzsche sudah secara jelas memperlihatkan tanda-tanda keruntuhan nilai dan makna, yang kemudian hari disebutnya sebagai fenomena nihilisme.
Dan nihilisme akan nampak kian jelas saat sejarah mengalir bersama dengan mengalirnya tragedi, malapetaka dan nasib yang terkadang tak masuk akal. Maka setiap nilai tertinggi, juga kebenaran absolut sudah tak ada arti saat dunia merayakan kekacauan, dan bergerak tanpa tertib dan keselarasan.
Tapi, bukankah dunia yang khaos dan nihil sama artinya model dunia tanpa arah dan penuh omong kosong? Lantas untuk apa meng-iya-kan hidup, toh pada akhirnya tak ada nilai yang harus diperjuangkan, dan tak ada sejumput kebenaran apapun yang mesti diwartakan?
Soal ini, kita akan dihantarkan pada pelbagai pengalaman orang-orang yang pasrah dan pesimis dalam menjalani hidup, mengingat dunia yang kita huni tak lebih dari ruang yang dijejali berbagai macam utopia.
Tapi Nietzsche tidak sudi bersikap pasif, seperti orang-orang kebanyakan. Sebab hanya membawa kita dalam keadaan yang dikurung oleh realitas nihilisme. Begitulah barangkali dia menegaskan dirinya, bahwa hal demikian bukanlah karakter orang yang mendaku dirinya sebagai “dinamit”.
Meskipun nihilisme harus diterima sebagai sebuah konsekuensi zaman, tapi mengatasi nihilisme menjadi perlu saat kita hendak berkata “ya” pada hidup. Dalam arti, keruntuhan nilai mesti diatasi dengan mengafirmasi nilai-nilai yang baru, seraya meruntuhkan kembali segenap nilai yang baru saja kita tegaskan, dan seterusnya, tanpa akhir.
“Karena kucintai kau, oh keabadian”, ungkap Nietzsche dalam syairnya yang berjudul Tujuh materai, sebagai ungkapannya dalam menerima keadaan dunia yang kekal. Maka bagi Nietzsche, gerak kosmik ini tak mengalir tenang menghampiri tujuan final, menuju tata dunia ideal, dan berakhir begitu saja. Dunia ini dalam dinamika yang kekal dalam khaos yang tepermanai.
Syahdan, sikap demikianlah, yang menunjukkan perayaan akan hidup yang khaos dan nihil, sekaligus mengatasinya. Sebab kita tak hanya senantiasa menjadi dinamit, yang “membakar” dan “menghancurkan”, tapi kita mesti menjadi pencipta yang kreatif, yang membangun dan menghidupkan.
Atau lebih tepat menurut Nietzsche, menjadi manusia Dionysian. Oleh karena Dewa Dionysios, yang diketahui sebagai persona mitologi dalam tragedi Yunani kuno, adalah perlambangan daya cipta yang liar dan ekstase.
Catatan: Esai ini sudah terbit di muhajirian.blogspot.com pada tahun 2016. Namun redaksi memuatnya di kalaliterasi.com untuk kepentingan pencerahan.
Gambar: https://www.newstatesman.com/2018/09/I-Am-Dynamite-Friedrich-Nietzsche-biography-Sue-Prideaux-review