Yang Lebih Buruk dari Hukuman Penjara 1.000 Tahun

Jujur saja, diam-diam Anda  pernah menonton video-video Harun Yahya, yang namanya pernah santer disebut-sebut sebagai ilmuwan muslim. Suatu waktu, itu Anda lakukan saat teori evolusi Darwin menjadi satu-satunya jawaban atas asal-usul kehidupan ini, yang secara bersamaan membuat Anda kelimpungan membantahnya karena itu tertulis di buku-buku pelajaran IPA. Anda, teman Anda, guru Anda, dan semua orang, entah mengapa mempercayai itu dan mengajarkannya seolah-olah itu titah dari entah siapa.

Anda orang beragama, yang dikhotbahkan bahwa sains tentang asal usul kehidupan tidak sepenuhnya benar. Charles Darwin salah, ia tidak mau mempercayai kitab suci yang menyimpan informasi bahwa Adam Hawa lah nenek moyang manusia.

Di hadapan orang seperti Charles Darwin, narasi asal usul manusia tidak original berdasarkan alam empiris. Itu semua tidak lebih dari bualan semata, dan apa yang dituliskan di dalam kitab suci bukan informasi yang lahir dari alam pikiran sains.

Karena Anda orang beragama, mata Anda akan picing terhadap komunisme, mencurigainya, dan membulinya habis-habisan oleh karena ia sudah tidak pantas hidup di Tanah Air.

Meskipun rentetan tragedi pasca 65 sudah berlalu, Anda masih merasa menjadi titisan Soeharto yang bertugas akan memberangus komunisme hingga kapan pun, seolah-olah seperti SUPERSEMAR, Anda mendapatkan surat gaib tentang tugas suci Anda itu.

Komunisme adalah bentuk lain dari Darwinisme. Ia mengajarkan ateisme, menyuruh orang-orang memusuhi agama, dan mengajak siapa pun agar tidak mempercayai mukjizat orang-orang suci.

Itu gagasan yang pernah dipelantang Harun Yahya—yang tiba-tiba belakangan jadi sorotan publik— dalam konten-kontennya yang menyerang komunisme. Ia juga menulis kritiknya itu di buku berjudul Communism In Ambush di tahun 2003, sebuah buku yang bergambar tiga pemimpin komunisme dunia di sampulnya: Lenin, Stalin, dan Mao Zedong.

Tentu Anda bakal senang saat menonton konte video-videonya, atau ketika sudah membaca bukunya, terutama Atlas Penciptaaan setebal 800 halaman itu,  karena mendapatkan dukungan secara moril, dan mungkin itu menambah daftar argumentasi Anda untuk membantah kejadian di masa lalu semisal Revolusi Oktober.

Harun Yahya, dikenal sebagai penulis buku-buku berbau ”sains agama”, yang semuanya ditembakkan khusus kepada dua aliran pemikiran di atas tadi itu. Di Tanah Air, tidak sedikit yang menonton konten video-videonya sampai-sampai ada yang menyimpannya untuk menjadi referensi menolak pikiran-pikiran haram seperti Darwinisme dan komunisme.

Sama seperti sebagian dari orang-orang itu, saya di masa lalu sekali dua kali menonton video-videonya, dan antusias membaca pikiran-pikirannya yang disebut aliran kreasionisme Islam itu. Di salah satu majalah Islam, sebut saja Hidayatullah, saya pernah terkesima membaca butir-butir pikiran aliran kreasionismenya, menemukan namanya yang disebut-sebut sebagai salah satu penggagasnya.

Kreasionisme Islam—betapa pun kaburnya istilah ini—entah datang dari mana, dan menjadi populer melalui Harun Yahya,  dan masuk ke Indonesia melalui buku-buku dan kaset DVD di awal tahun 2000-an, dipercayai sebagai kumpulan stok pengetahuan untuk menjawab pertentangan abadi antara sains dan agama.

Telah lama diketahui, sains dan agama adalah dua seteru yang saling merebut pengaruh, yang masing-masing memiliki cara pandang berlainan menyangkut apa saja, tidak terkecuali menyangkut kosmologi dan asal usulnya.

Karakter sains yang empiris dan berdasarkan data-data objektif di lapangan dan laboratorium, tidak seperti agama yang menekankan iman meskipun itu tidak sesuai alam kenyataan. Akan sangat membingungkan jika sains dan agama, ingin diberikan tempat yang sama seolah-olah itu wajib dilakukan persis seperti obsesi sebagian orang. Sains memiliki wilayah penyelidikan berbeda dengan agama, begitu pula agama memiliki urusan yang sama sekali tidak bisa dijangkau sains oleh karakternya yang empiris.

Sampai di sini, tanggalkan sementara dulu perbebatan sains dan agama, terlebih-lebih kreasionisme Islam yang sampai sekarang masih pro kontra. Nyatanya, itu bukan urusan kita yang lebih suka kepo dengan hal-hal receh yang sering menyeruak melalui dunia virtual.

Adnan Oktar a.k.a Harun Yahya beberapa hari lalu,  divonis hukuman 1.075 tahun dan tiga bulan penjara melalui pengadilan Turki pada 11 Januari lalu. Ia terbukti bersalah melakukan tindak kekerasan dan pelecehan seksual terhadap beberapa pengikutnya, termasuk di antaranya anak-anak di bawah umur.

Dua situs berita di Turki, Anadolu Agency dan Hurriyet, telah merinci kejahatan Adnan Oktar yang kesemuanya hampir menyerupai pelanggaran 10 perintah tuhan yang pernah turun di tengah-tengah kaum Bani Israil.

Ini kalimat klise sebenarnya: seribu tahun bukan waktu yang sebentar. Butuh ribuan kriminil di Indonesia untuk menyerupai jumlah hukuman penjara Harun Yahya. Umur siapa bakal sampai selama itu. Tapi, pengadilan Turki tidak sedang bercanda, 1.000 tahun justru lebih terdengar seperti mengejek.

Butuh seperdua vonis hukuman Harun Yahya bagi dunia, atau paling tidak Eropa untuk melesat naik dari masa kegelapan menuju abad pencerahan, dan seperempatnya bagi peradaban di dunia Islam menukik turun menuju masa kemunduran. Sains dari masa itu kelak menjadi primadona dan agama kehilangan elan vitalnya menginspirasi penelitiaan ilmu-ilmu terbaru. Kondisi ambivalen ini, dalam kenyataannya melahirkan  sebagian besar komunitas  muslim dunia yang hidup melalui paradigma klenik ketimbang ilmu pengetahuan seperti di periode klasik.

Memang tidak sepenuhnya dapat diterima kenyataan di atas, meskipun itu juga tidak dapat disanggah bahwa ada situasi yang lebih buruk dari masa bui Harun Yahya, yakni ketika gagasan-gagasan pseudosains seperti disebarkan Harun Yahya meraih pengikut fanatik. Implikasinya sudah terbukti satu dekade ini—setidaknya di Tanah Air— naiknya kelompok ultra-religius menjadi gerakan politik identitas.

Pseudosains adalah bentuk lain dari berhentinya kerja metodis ilmu, palsunya fakta-fakta, tidak validnya kebenaran, dan matinya penalaran rasional yang menyokong daya analitik sehingga berakhir kepada taklid buta.

Fenomena ini tidak asing sebenarnya, selama Anda masih mempercayai vaksin Covid-19 misalnya, dapat membuat alat vital sahabat Anda bertambah besar saat diimunisasi. Atau menjadi tentara virtual yang menyerbu grup-grup WA keluarga Anda agar sesegera mungkin menolak vaksin antibodi Covid-19.

Batu ajaib Ponari, kesaktian Dimas Kanjeng, matematika Islam Borobudur, teori bumi datar, minuman sehat kencing unta, kerajaan Sunda Empire, teori konspirasi Covid-19, hingga vaksinnya yang sempat jadi polemik, beberapa rentetan gejala yang menandai separuh kehidupan kita masih seperti di masa abad kegelapan.

Kondisi-kondisi semacam itu bakal menjadi tren yang terjadi 1.000 tahun ke depan, dan kehidupan ini justru akan menjadi satu fase yang buruk sama sekali, jika para ahli tidak diberikan tempat dalam pengambilan keputusan, dan  iklim ilmu pengetahuan tidak bergerak dari cuaca mendungnya.

Syahdan, jika Anda dipenjara sama waktunya seperti masa tahan Harun Yahya, kira-kira sebelum masa hidup keburu habis, karya intelektual apa yang bakal akan Anda lahirkan?

 


Sumber gambar: www.cnbcindonesia.com/lifestyle/20210113185436-36-215749/skandal-seks-harun-yahya-divonis-1000-tahun-penjara

  • Dalam satu dasawarsa terakhir, Kabupaten Bantaeng telah tampil sebagai barometer gerakan literasi, khususnya di Provinsi Sulawesi Selatan. Ketika kata “literasi” belum sepopuler hari-hari ini, pegiat literasi di Bantaeng sudah bergerilya menyebar benih gerakan literasi yang kini sudah tumbuh subur. Langkah-langkah gerilyanya ketika itu berupa pelatihan kepenulisan, diskusi buku, dan lapak-lapak baca. Di kemudian hari, langkah…

  • Adelio membuka mata ketika menyadari ombak Perairan Cempedak mengombang-ambing tubuhnya. Ia melihat ke bawah dan mendapati kedalaman laut yang tak terhingga. Ia mendongak ke langit, semburat cahaya matahari baru saja hendak menyapanya dari ufuk timur. Ia baru saja menyadari bahwa dirinya telah mengapung semalaman di tengah laut setelah mendapati sebagian kulitnya yang mulai mengeriput. Ia…

  • Buku terbaru Sulhan Yusuf, Gemuruh Literasi: Sederet Narasi dari Butta Toa boleh dibilang sebagai pembuktian, jika usia bukanlah aral melintang bagi seseorang untuk produktif dalam berkarya. Tapi, insight yang diwedarkan Gemuruh Literasi sebenarnya lebih dari itu. Buku ini adalah jawaban bagi rasa penasaran sebagian orang yang hendak mengetahui gerakan literasi Sulhan di Bantaeng. Kerja-kerja kultural yang…

  • Judul tulisan ini saya pinjam dari ungkapan Profesor Cecep Darmawan—dosen saya ketika studi magister beberapa waktu lalu. Beliau guru besar yang egaliter dan seringkali tampil di publik (media dan forum) untuk berbagi gagasan dan pencerahan. Seingat saya ungkapan itu beliau sampaikan saat kami kuliah “Pendidikan Politik Generasi Muda”. Saya terkesan dengan ungkapan itu, selain indah…

  • Membicarakan suatu topik, dalam hal ini filsafat Islam, maka rasa-rasanya kurang afdal apabila tidak memasukkan nama al-Ghazali di dalamnya. Akan tetapi bila seseorang mau menempatkan al-Ghazali dalam sejarah filsafat Islam, tentu ia harus membuat beberapa catatan. Poin utamanya bahwa al-Ghazali tidak menganggap dirinya filosof dan tidak suka dianggap sebagai seorang filosof. Ini tak hanya menjelaskan…


Kala Literasi

Jl. Pa’ Bentengang No.6, RT.01/RW.08, Mangasa Kec. Tamalate, Kota Makassar, Sulawesi Selatan 90221