Benarkah semua anak cerdas? Begitu pertanyaan yang diajukan Munif Chatib dalam bukunya Semua Anak Bintang. Jika pertanyaan ini diajukan pada guru, maka jawaban yang diperoleh pasti beragam, tapi saya yakin banyak dari kita (baca:guru) akan menjawab “tidak semua”. Lalu, pikiran kita mungkin akan langsung mengingat nama-nama murid di kelas, yang sangat lambat paham ketika guru menjelaskan, ada juga yang sangat aktif sehingga susah diatur. Ada yang terlalu pasif, bahkan untuk sekadar diajak bicara. Sayangnya, anak dalam posisi demikian biasanya akan langsung di-judge malas, nakal, dan bahkan—maaf—bodoh oleh guru. Harus diakui, satu-satunya kecerdasan yang diterima di kelas, hanyalah mereka yang cepat paham, duduk manis, dan patuh.
Hal yang mungkin tak disadari guru, bahwa anak tersebut mungkin menampilkan wajah berbeda kala diajar oleh guru lain. Entah karena suka mata pelajarannya, mungkin juga karena metode mengajar guru yang dianggap beda. Mengapa kita, sebagai guru tak merefleksikan diri, “Apa yang membuat si anak bersemangat ketika diajar oleh guru lain?”
Semasa sekolah dulu, saya sangat lemah di pelajaran menghitung dan merumus—hingga sekarang. Sayangnya saat itu, saya mungkin dianggap “anak baik” sehingga dimasukkan ke kelas IPA, yang notabene berisi banyak pelajaran angka dan rumus. Padahal kepala saya pening jika berhadapan dengan angka-angka. Sekeras apa pun saya berusaha, tetap tidak bisa mencerna pelajaran tersebut. Karenanya, tatkala diminta menjawab soal, saya harus menghafalnya terlebih dahulu, sebelum maju ke depan. Jika standar kecerdasan adalah Matematika, maka bodohlah saya.
Lalu apa pelajaran yang saya suka? Bahasa Indonesia dan English Language. Di pelajaran ini saya sungguh mendominasi. Saya tak tahu dari mana kemampuan ini berasal. Saya mudah sekali mengerti, bahkan ketika bukunya baru saya baca, dan belum dijelaskan oleh guru sama sekali. Hal yang mungkin membuat heran teman-teman di kelas. Sebagaimana keheranan saya terhadap mereka yang mudah mengerti persoalan Matematika. Ya, Jika standar kecerdasan adalah Bahasa Inggris, bolehlah saya dikatakan murid pintar saat itu.
Namun sayang, setelah peralihan kelas, dan guru andalan saya diganti. Rasa-rasanya ada sesuatu yang hilang. Mata pelajaran yang sama, tapi diajarkan oleh guru yang berbeda, rasanya juga beda. Saat itu saya paham, bahwa selain menyukai mata pelajarannya, saya juga suka dengan gaya guru itu mengajar.
Hemat saya, murid akan “betah” di kelas oleh empat hal: Guru, guru, guru dan mata pelajaran. Dalam bahasa Najeela Shihab, esensi utama pendidikan akan digerakkan oleh guru. Mata pelajaran yang disukai, tapi diajarkan asal-asalan akan membawa perasaan malas dan nirgairah. Namun, guru yang kreatif dan kaya metode pembelajaran akan disukai anak, waima pelajarannya mungkin “kurang diminati”, tapi anak akan betah dan berusaha belajar sebaik mungkin. Ada semacam energi positif dari guru model demikian yang menular ke anak-anak. Ini mungkin konklusi yang terlalu prematur, bahkan sangat subjektif. Namun demikianlah yang saya rasakan.
Redefenisi Makna Kecerdasan
Sekitar setahun yang lalu, seorang guru bernama Bu Nani pernah membuat story di WhatsApp, ditujukan untuk para orangtua murid-muridnya. Beliau menulis seperti ini:
“Ujian anak Anda telah selesai. Saya tahu Anda cemas dan berharap anak Anda berhasil dalam ujiannya. Tapi, mohon diingat. Di tengah-tengah para pelajar yang menjalani ujian itu, ada calon seniman, yang tidak perlu mengerti Matematika. Ada calon pengusaha yang tidak butuh pelajaran Sejarah atau Sastra. Ada calon musisi, yang nilai Kimianya tak akan berarti. Ada calon olahragawan, yang lebih mementingkan fisik daripada Fisika. Ada calon fotografer yang lebih berkarakter dengan sudut pandang art berbeda yang tentunya ilmunya bukan dari sekolah ini. Sekiranya anak Anda lulus menjadi yang teratas, hebat! Tapi bila tidak, mohon jangan rampas rasa percaya diri dan harga diri mereka. Katakan saja: “tidak apa-apa, itu hanya sekadar ujian.” Anak-anak itu diciptakan untuk sesuatu yang lebih besar dalam hidup ini. katakan pada mereka, tidak penting berapa pun nilai ujian mereka. Anda mencintai mereka dan tak akan menghakimi mereka. Sebuah ujian atau nilai rendah takkan bisa mencabut impian dan bakat mereka. Berhentilah bepikir bahwa dokter dan insinyur yang bahagia di dunia ini.” Hormat saya, Wali Kelas.
Haidar Bagir dalam bukunya Memulihkan Sekolah Memulihkan Manusia menabalkan, pernah suatu masa ketika kecerdasan hanya diukur dengan faktor tunggal serba mencakup (an overall single factor), atau yang disebut dengan IQ (Intelligences Quotient). IQ adalah ukuran kemampuan memori verbal, penalaran verbal, penalaran numerik, dan apresiasi urutan-urutan logis. Di masa ini, muncullah kesan, bahwa anak yang IQ rendah, sudah ditakdirkan gagal dalam hidupnya. Benarkah? Bagaimana dengan EQ (Emotional Quotient) dan SQ (Spiritual Quotient)?
Adalah Howard Gardner yang memperkenalkan Paradigma Multiple Intelligences (MI) pada tahun 1983. Paradigma ini adalah antitesis dari paradigma IQ. Bagi Gardner, kecerdasan manusia itu tidak tunggal, tetapi beragam. Secara umum, ada sembilan jenis kecerdasan: linguistik (bahasa), matematis-logis (angka dan logika), spasial-visual (gambar dan ruang), musikal (musik), kinestetis (bergerak), naturalis (alam), interpersonal (bergaul), intrapersonal (diri), dan eksistensial. Kesembilan teori ini tidaklah bersifat baku, Gardner sendiri mengakui masih banyak kecerdasan lain. Sebut saja, pelawak yang sukses, apakah sudah saatnya ia dikategorikan memiliki kecerdasan humor? Dan sebagainya. Penelitian kecerdasan manusia kemudian dilengkapi oleh Daniel Goleman pada tahun 1995 yang memperkenalkan EQ, dan pada tahun 2000 Danah Zohar dan Ian Marshall memperkenalkan SQ.
Lebih jauh, Haidar kemudian memaparkan bahwa dua kecerdasan pertama—linguistik dan matematis-logis—diasosiasikan dengan IQ. Kecerdasan jenis ini dapat pula mengambil bentuk berbagai bakat dan kemampuan “teknis”, seperti spasial, musikal, kinestetis, dan naturalis. Jadi jangan disangka yang cerdas itu hanya yang bisa Matematika. Anak yang jago olahraga juga bisa dikategorikan cerdas, kecerdasan kinestetis namanya.
Sedang, apa yang dalam bahasa Gardner disebut kecerdasan intrapersonal dan interpersonal sejalan dengan kecerdasan yang belakangan disebut dengan EQ. EQ merupakan kemampuan seseorang untuk menata emosi serta perasaan agar tak bersifat destruktif. Juga kemampuan untuk memahami emosi orang lain, alias empati. Penelitian menunjukkan bahwa orang sukses bukan semata-mata orang yang memiliki IQ tinggi, tapi juga EQ tinggi. Karena orang jenis ini bisa me-manage emosinya dengan baik, sehingga seluruh sikap dan responnya terkendali. Karenanya, ia bisa menarik simpati orang lain untuk mendukungnya.
Terakhir, kecerdasan eksistensial dalam banyak hal sejalan, dengan apa yang oleh Danah Zohar disebut sebagai SQ. Bagi Haidar, SQ ini terkait dengan adanya kebutuhan manusia untuk merasa tentram dan bahagia karena merasa memahami hakikat hidup, merasa selalu diawasi, merasa memiliki “teman” yang bisa diandalkan dalam menjalani seberat-beratnya kehidupan; Tuhan. Jadi, pejabat kita yang katanya terdidik itu, mungkin surplus IQ dan EQ, tapi dangkal SQ.
Kini, kita tahu bahwa sejatinya setiap anak itu memiiki kecerdasan atau bakatnya masing-masing, bisa satu atau lebih. Meski kita juga sadar, bahwa bakat bukan satu-satunya faktor yang menentukan kesuksesan. Sudah banyak kasus yang kita temui, bakat saja tak cukup jika tidak digali, dikembangkan dengan gairah yang tinggi. Namun, sering pula kita temui, anak yang punya keahlian tertentu karena rajin berlatih, meski tak punya bakat di bidang itu.
Saya sungguh percaya, bahwa di sinilah peran vital guru dan orangtua; memberikan dukungan pada setiap minat dan bakat anak. Menjadi paradoks kemudian jika anak memperoleh apresiasi di sekolah, tapi justru mendapat caci maki di rumah karena buruknya komunikasi dan sempitnya pemaknaan terhadap kecerdasan. Yakinlah bahwa Tuhan memberikan setiap anak kelebihan yang menjadikannya unik. Tuhan tidak melempar dadu. Setiap anak cerdas. Setiap anak bintang.