Dua Kebodohan Manusia dan Hidup Arif a la Arthur Schopenhauer

Seandainya pertanyaan kisah kecantikan putri salju dilempar di masa kini: kiwari, siapa perempuan paling cantik di dunia? Tanpa ragu, Anda masih bisa menunjuk beberapa nama perempuan dengan paras rupawan, sama seperti keyakinan cermin ajaib menyebut putri salju sebagai perempuan paling cantik sejagad cerita. Tapi, bagaimana cermin ajaib menjawab pertanyaan ini: siapa manusia paling bahagia di dunia saat ini?

Dunia di luar dongeng putri salju, tidak ada cermin ajaib, yang dapat berbicara, dapat menerka, dan memberikan kepastian atas pertanyaan yang Anda ajukan kepadanya. Jadi sebenarnya, sangat sederhana memecahkan masalah ini hanya jika Anda mengganti tugas cermin ajaib dengan kotak pencarian paling ajaib masa kini:

Sekarang, siapa manusia paling bahagia di dunia?

Mesin pencari berhenti pada satu nama: Matthieu Ricard, seorang biksu Budha yang bemukim jauh di pegunungan Tibet, Tiongkok. Dia, oleh peneliti psikologi Richard Davidson, disebut sebagai manusia paling bahagia setelah 12 tahun meneliti reaksi otak Matthieu, ketika menghabiskan 5000 ronde meditasi. Hasilnya, otak Matthieu dinyatakan ”sangat ringan”, dan menemukan keseimbangan emosi, kasih sayang, dan pikiran.

Percaya atau tidak, otak Anda dan Matthieu diciptakan dari hukum alam yang sama, walaupun  akhirnya bukan jaminan otak Anda akan digunakan dalam tugas-tugas yang persis seperti Matthieu. Sama sepertinya, tugas setiap otak adalah berpikir dan menarik kesimpulan atasnya. Meski demikian fungsi setiap otak berbeda-beda tergantung siapa yang menggunakannya.

Di titik ini, Anda bisa menggolong-golongkan kecerdasan seseorang, atau kejeniusan, atau  kebodohannya, atau tidak kedua-duanya, dengan cara melihat apakah ia menggunakan otaknya dengan arif atau sebaliknya. Semakin arif ia menggunakan otaknya, semakin berkualitas kehidupannya. Sebaliknya, semakin ia tidak membutuhkan otaknya, semakin ia akan menyerupai seekor kambing.

Itu sebabnya, setiap pengalaman yang sama akan direspon berbeda dari dua orang yang berlainan. Setiap manusia memiliki pemahaman, perasaan, dan kemauan yang sama sekali tidak serupa, yang karena itu akan merespon dengan cara berbeda situasi yang identik. Semua perbedaan itu akan tampak wajar belaka, dan bagaimana cara Anda menggunakan otak akan sangat menentukan kearifan macam apa yang bakal akan Anda temukan.

Buku Kearifan Hidup: Himpunan Esai Schopenhauer, diterjemahkan Ratih Dwi Astuti  diterbitkan Basabasi, demikian menantang diuraikan. Esai berjudul asli The Essay of Schopenhauer; The Wisdom of Life berintikan ulasannya mengenai apa dan bagaimana  kearifan hidup itu sebenarnya, yang ia artikan sebagai seni menata hidup demi meraih kebahagiaan (eudaemonia).

Filsuf yang filsafatnya menganjurkan pesimisme ini, menilik uraiannya atas kearifan manusia dari tiga kategori keberkahan hidup Aristoteles: keberkahan yang datang dari luar, keberkahan rohani, dan keberkahan jasmani, yang semuanya tersebar dari setiap pengalaman manusia. Atas tiga keberkahan ini dicacah Schopenhauer dengan pembagiannya sendiri, yang ia sebut pembagian yang membedakan tiga kelompok umat manusia:

  1. Hakikat manusia yang ia sebut jati diri manusia dalam arti luas berupa di dalamnya kesehatan, kekuatan, kecantikan, watak, karakter moral, keceradasan, dan pendidikan.
  2. Kepemilikan manusia: yaitu properti dan segala macam barang milik.
  3. Derajat manusia, yang ia sebut ditentukan melalui cara pandang  seseorang atas orang lain.

Sama seperti Budha, ajaran yang menginspirasi filsafat Schopenhauer, kebahagiaan tidak datang dari mana-mana selain daripada dimulai dari diri manusia. Melalui pemahaman semacam ini, di bab-bab awal esainya, Schopenhauer ingin mendudukkan kembali bahwa kesejatian manusia bukan seperti yang ada dalam dua ketegori kelompok manusia yang mementingkan properti (kepemilikan) dan kedudukannya (derajat manusia).

Mengetahui hakikat manusia sesungguhnya adalah kunci kebahagiaan, dan semua usaha manusia dalam meraih kebahagiaan mesti diarahkan khusus ke dalam inti hakikatnya.Schopenhauer mengutip perkataan Metrodotus murid Epicurus: kebahagiaan yang kita dapatkan dari diri kita sendiri jauh lebih besar dari pada yang kita peroleh dari sekelilingi kita (h.2).

Menurut Schopenhauer, kebahagiaan sangat ditentukan dari cara bagaimana seseorang melihat dunia di sekelilingnya. Tandus, bosan, dan dangkalnya dunia, tidak akan sama artinya dibandingkan dengan orang yang meresepsi dunia dengan perasaan dan terlebih lagi cara berpikir terbuka, yang karenanya melihat dunia menjadi tampak panoramik dan mengagumkan.

Orang yang pertama di atas kemungkinan menerima dunia ini dengan picingan mata, seolah-olah dunia tidak menarik dan mengancam eksistensinya, menganggap dunia membelakangi seluruh harapan dan keinginan-keinginan rendahnya sehingga mendorongnya merasa bertanggung jawab untuk mengubah dunia ini sesuai apa yang ia yakini.

Sama dengan orang yang melihat dunia secara terbuka dan panoramik, orang jenis di atas sama sekali tidak menggunakan perangkat lain selain daripada pikirannya, yang sayangnya berisi hal-hal negatif.  Meskipun sama-sama mengandalkan isi pikirannya, yang membentuk cara pandangnya, secara tersirat Schopenhauer mengatakan akan berbeda kualitas pengalaman seseorang karena yang satu menggunakan pikirannya dengan cerdas, sementara yang lain justru sebaliknya.

Saat mendengar tentang peristiwa-peristiwa menarik yang terjadi dalam hidup seseorang, banyak orang berharap peristiwa serupa juga terjadi dalam hidup mereka, lupa sepenuhnya bahwa seharusnya mereka merasa iri dengan kemampuan mental yang menjadikan peristiwa-peristiwa itu penting tatkala orang tersebut menceritakannya; bagi seorang jenius persitiwa tersebut merupakan petualangan seru; tetapi bagi pemahaman tumpul orang biasa semua itu hanyalah kejadian-kejadian basi setiap hari (h.3).

Ya, setiap hari Anda banyak menyaksikan kisah kesuksesan orang lain tidak sama seperti hidup Anda yang malang. Anda merasa kehidupan ini  tidak diciptakan demi Anda, dan lebih berpihak kepada orang-orang yang Anda jadikan contoh pencapian, yang semua itu tidak pernah Anda rasakan.

Dalam hal ini, jika Anda hanya bisa menggunakan otak Anda dengan mengutuk keberhasilan orang lain, membulinya, iri dan bersikap nyinyir, Schopenhauer sudah membuat diri Anda masuk dalam golongan orang yang ia sebut berpahaman tumpul. Suatu golongan yang sebenarnya banyak ditemui tidak jauh dari di mana Anda tinggal saat ini. ”Kok, rumput tetangga selalu hijau dari rumput rumah sendiri,” begitu suara nyinyir Anda.

Dua kebodohan manusia

Zaman sekarang, bagi sebagian orang adalah zaman reputasi dan kepemilikan. Bagi sebagian lainnya, reputasi dan kepemilikan atas barang-barang, harus diperjuangkan sama seperti gigihnya segerombolan semut yang menimbun makanan demi ratunya. Sayangnya, banyak manusia menjadikan dirinya seperti ratu, bukan raja, yang keinginannya bersolek dan berperangai persis seperti seekor burung merak memamerkan bulu ekornya yang mencolok.

Sekarang, perangai burung merak begitu mudah ditemui, bukan saja di dunia nyata, tapi juga di dunia virtual. Reputasi dan kepemilikan barang tidak sedikit yang mengyakininya adalah komponen utama kebahagiaan. Meski ini adalah pemahaman yang keliru, tindakan ini masih sering menghinggapi banyak orang karena kelemahan dirinya.

Reputasi, kekayaan, kecerdasan, jabatan, nama besar, dan bentuk-bentuk ”ekor merak” lainnya, kerap ditunggu penilaiannya dari orang lain. Tanpa kesabaran semua kebesaran itu ingin disaksikan banyak orang lain, dan Anda ingin mendengar kabar baik atas itu semua. Kebahagiaan yang diraih dengan cara semacam itu, menurut Schopenhauer, adalah manifes jati diri yang lemah. Suatu kebodohan karena penilaiannya masih bergantung dari pandangan orang lain.

Kebahagiaan jenis ini, dengan metafora yang pas disebut Schopenhauer sama seperti seekor kucing yang akan segera mendengkur setelah merasakan belaian tuannya, yang meskipun penilaian itu berbohong, kebohongan itu tidak akan menjadi masalah (h.55).

Kebodohan lain dibicarkan Schopenhauer dalam esai ini adalah reputasi, atau harga diri yang lahir dari keangkuhan. Bagi Schopenhauer, perbedaan mendasar antara harga diri yang sesungguhnya dan yang palsu dilihat dari, jika yang pertama lahir dari dalam, yang merupakan penghargaan langsung atas diri sendiri, sementara yang kedua adalah hasrat untuk mendapatkan penghargaan meskipun itu secara tidak langsung dari luar (h.64).

Menurut Schopenhauer, harga diri yang sesungguhnya mesti berakar kepada keyakinan, dan dia sama seperti pengetahuan lainnya memiliki musuh terkuat yakni keangkuhan. Harga diri kata Schopenhauer, mendapakan nilainya tidak dalam pujian orang lain, melainkan dalam dirinya sendiri (h.64)

Dua Jenis Kekayaan

Ed Diener, psikolog dari Universitas of Illionis pernah melakukan penelitian kepada100 orang terkaya versi majalah Forbes, yang hasilnya menyatakan kekayaan bukan jaminan kebahagiaan. Bahkan uang membuat sebagian besar dari mereka menderita.  Orang kaya versi Forbes ini sudah pasti tidak sama dengan Biksu Matthieu seperti disebutkan di atas, yang merasakan ketentraman dan hidup bahagia meski jauh dari ”peradaban barang” seperti masa kini.

Kekayaan yang mereka miliki adalah dua jenis kekayaan yang ambivalen. Yang pertama semakin dimiliki semakin membuat orang kesusahan, sementara yang kedua, semakin dimiliki semakin membuat seseorang bahagia. Yang pertama kebahagiaan semu, dan yang kedua adalah kekayaan batin.

Jika saja kebahagiaan itu ditentukan melalui kekayaan, kepemilikan barang-barang, dan reputasi, 100 orang terkaya versi Forbes sudah pasti akan menjadi orang paling bahagia di dunia, dan pribadi seperti Matthieu adalah orang paling sengsara di atas muka bumi.

Dunia objektif seratus orang terkaya versi Forbes, atau seribu orang, atau malah lebih dari itu, yang hidup bagai sultan di puncak-puncak kerajaan, nyatanya tidak mampu memberikan sumbangsih kekayaan batin terhadap dunia subjektif mereka. Menurut Schopenhauer, orang semacam ini adalah jenis manusia yang tidak memiliki individualitas istimewa berupa pemahaman yang baik menyangkut hakikat diri mereka, yang masih terjerat benda-benda di sekitarnya (h.7).

Schopenhauer menegaskan, individualitas istimewa merupakan unsur subjektif bagi seseorang, dan lebih penting bagi kebahagiaan dan kegembiraan dari pada unsur objektif. Melalui individualitas inilah seseorang dapat memilih apakah harus berbahagia atau tidak, meskipun kehidupannya dilanda bencana atau penderitaan.

Dengan kata lain, reputasi, harga diri, dan kekayaan melimpah adalah unsur objektif manusia, yang membuat seseorang bisa memilih apakah ia harus memikirkannya terus menerus, yang membuatnya terobjektivasi dan teralineasi atasnya, atau memilih merdeka tanpa terpengaruh sedikit pun dari semua itu.

Kebahagiaan di masa kini

Kebahagiaan merupakan hak semua orang. Itu artinya kebahagiaan adalah pilihan, dan nilainya mandiri dari intervensi apa pun. Bencana alam berupa gempa bumi, banjir bah, dan kelaparan, meskipun mengundang perdebatan apakah terjadi karena takdir Tuhan atau ada campur tangan manusia, adalah fenomena objektif. Semua keadaan itu dihadapi semua orang, dan merupakan keadaan yang tidak bisa begitu saja ditampik. Tapi, apakah itu akan membuat orang bersangkutan bersedih, atau malah sebaliknya, lebih memilih berbesar hati meski dirundung soal.

Masa sekarang masa disrupsi, di samping dunia masih menghadapi pandemi yang tak kunjung selesai. Di sisi lain, bencana ekologis melanda sebagian isi bumi seolah-olah bumi sedang merevitalisasi dirinya sendiri.  Dari semua bencana itu riwayat umat manusia sedang dipertaruhkan, apakah sekali lagi bisa keluar dari krisis bertubi-tubi semacam ini atau tidak. Terlepas dari problem macam demikian, kehidupan manusia masih kian berlanjut, meski masih banyak yang tidak arif melakoninya.

Mau apalagi, Schopenhauer sudah menyatakan sejak dulu jangan terlalu optimis menatap kehidupan ini, karena di saat bersamaan masih ada sebagian orang yang masih berpikir sama persis seperti seekor keledai menggunakan otaknya. Mengutip Perjanjian Lama, Schopenhauer membubuhkan: ”hidup orang bodoh lebih buruk dari kematian.”

Menemukan orang semacam ini, apalagi hidup bersamanya, kemungkinan akan membuat hidup Anda bakal menderita. Tapi tidak usah khawatir, Anda punya pilihan. Anda bisa memilih apakah akan hidup bodoh bersamanya sambil menelan kekecewaan, atau memilih hidup bahagia meski dengan seekor keledai sekalipun.

Info buku:

Judul: Kearifan Hidup: Himpunan Esai Schopenhauer

Penuli: Arthur Schopenhauer

Penerjemah: Ratih Dwi Astuti

Cetakan: November 2019

Penerbit: Basabasi

Jumlah halaman: VIII + 130 halaman

ISBN: 978-623-7290-38-4

  • Dalam satu dasawarsa terakhir, Kabupaten Bantaeng telah tampil sebagai barometer gerakan literasi, khususnya di Provinsi Sulawesi Selatan. Ketika kata “literasi” belum sepopuler hari-hari ini, pegiat literasi di Bantaeng sudah bergerilya menyebar benih gerakan literasi yang kini sudah tumbuh subur. Langkah-langkah gerilyanya ketika itu berupa pelatihan kepenulisan, diskusi buku, dan lapak-lapak baca. Di kemudian hari, langkah…

  • Adelio membuka mata ketika menyadari ombak Perairan Cempedak mengombang-ambing tubuhnya. Ia melihat ke bawah dan mendapati kedalaman laut yang tak terhingga. Ia mendongak ke langit, semburat cahaya matahari baru saja hendak menyapanya dari ufuk timur. Ia baru saja menyadari bahwa dirinya telah mengapung semalaman di tengah laut setelah mendapati sebagian kulitnya yang mulai mengeriput. Ia…

  • Buku terbaru Sulhan Yusuf, Gemuruh Literasi: Sederet Narasi dari Butta Toa boleh dibilang sebagai pembuktian, jika usia bukanlah aral melintang bagi seseorang untuk produktif dalam berkarya. Tapi, insight yang diwedarkan Gemuruh Literasi sebenarnya lebih dari itu. Buku ini adalah jawaban bagi rasa penasaran sebagian orang yang hendak mengetahui gerakan literasi Sulhan di Bantaeng. Kerja-kerja kultural yang…

  • Judul tulisan ini saya pinjam dari ungkapan Profesor Cecep Darmawan—dosen saya ketika studi magister beberapa waktu lalu. Beliau guru besar yang egaliter dan seringkali tampil di publik (media dan forum) untuk berbagi gagasan dan pencerahan. Seingat saya ungkapan itu beliau sampaikan saat kami kuliah “Pendidikan Politik Generasi Muda”. Saya terkesan dengan ungkapan itu, selain indah…

  • Membicarakan suatu topik, dalam hal ini filsafat Islam, maka rasa-rasanya kurang afdal apabila tidak memasukkan nama al-Ghazali di dalamnya. Akan tetapi bila seseorang mau menempatkan al-Ghazali dalam sejarah filsafat Islam, tentu ia harus membuat beberapa catatan. Poin utamanya bahwa al-Ghazali tidak menganggap dirinya filosof dan tidak suka dianggap sebagai seorang filosof. Ini tak hanya menjelaskan…


Kala Literasi

Jl. Pa’ Bentengang No.6, RT.01/RW.08, Mangasa Kec. Tamalate, Kota Makassar, Sulawesi Selatan 90221