Ya, meski keadaan saya begini-begini saja—tak ada tanda-tanda ke-HMI-annya. Saya juga pernah bersentuhan dengan organisasi yang didirikan oleh Prof. Lafran Pane ini. yang juga berhasil mengubah diri saya. Lahir dan batin.
Saya tak punya kisah heroik di HMI. Sebaliknya, justru HMI lah yang menjadi hero dalam hidup saya. Karenanya, tulisan ini mungkin akan sangat membosankan karena alurnya datar-datar saja. Ya, begitulah memang kisah cinta saya dan HMI. Jika tak didorong oleh kenangan dan perasaan cinta saya yang meluap-luap (lebay, ya). Saya mungkin tak akan menyelesaikan tulisan ini dalam sekali waktu.
***
Masih segar dalam ingatan, di semenjana masa perkualiahan, saya diajak (baca: dikandang paksa) senior yang masih keluarga dekat, Almarhum Ihsan Udin (semoga Allah merahmatinya). Bisa dibayangkan mengajak mahasiswa kupu-kupu macam saya ikut perkaderan? Yang kalau pulang kuliah, kalau bukan tidur, pasti terdampar di tempat rental PS. Setan pun mungkin akan menyerah membujuk saya.
Namun, takdir berkata lain. Saat itu situasi saya benar-benar sulit, tak ada duit, beras sisa sedikit, sedang saya lapar tiap menit. Beliau mengiming-imingi saya makanan enak. Katanya, saat ikut perkaderan kemarin, dia makan ayam lalapan di sana, meski cuman lehernya saja, tapi bukankah leher juga berarti ayam, bukan?
Karena lugu, saya percaya saja. Lalu diantarlah saya naik motor ke lokasi Basic Training, kemudian ditinggal pergi tanpa permisi. Mungkin itulah strateginya agar saya mau tak mau tetap stay dan berhasil. Ya, mau gimana lagi, saya tidak bawa uang seperser pun. Saya sempat jengkel dan mengutuk dalam hati. Merasa dikhianati.
Di sana saya dititip selama beberapa hari, makan seadanya, tak ada ayam sama sekali. Mungkin sponsor kami berbeda saat itu. Di forum saya lebih banyak pusing mendengar materi, malam begadang, sedang subuh mesti bangun cepat. Mungkin itulah alasan saya lebih sering sakit kepala dan lemas. Selain juga karena pusing mendengar banyak materi yang tidak bisa saya pahami sama sekali. Satu-satunya kelebihan saya di kelas, mungkin saat “tes” mengaji. Saya lebih fasih dari yang lain. Sisanya saya lebih banyak diam. Bukan karena sabar, tapi memang karena goblok saja.
Di sinilah saya berkenalan dengan nama-nama asing. Yang di kemudian hari baru saya tahu bahwa mereka adalah para filosof yang banyak memberikan sumbangsih besar pada perkembangan ilmu pengetahuan kini. Mereka diperkenalkan oleh pemateri yang fasih sekali berbicara. Bisa-bisanya mereka bicara berjam-jam tanpa melihat buku sama sekali. Mengapa mereka tak menjadi guru saja? Atau menggantikan dosen saya di kampus yang lebih senang jual buku (baca: fotocopy) tinimbang bicara depan mahasiswa. Begitu kira-kira alam pikiran saya bereaksi kala itu.
Setelah dikader, nasib saya tak jauh beda. Otak saya masih begitu-begitu saja. yang berubah cuman nama saya, setelah jadi kader, saya kaget dipanggil ustaz. Ternyata jadi ustaz tidaklah susah-susah amat.
Setelahnya, saya berada di circle HMI, di situ saya jadi banyak bersentuhan dengan buku. Ya, hanya menyentuh, menjadikannya bantal tidur, tanpa niat membacanya. Melihat buku tanpa gambar saja saya sudah pusing delapan keliling.
Barulah, setelah senior yang memaksa saya ikut itu membeli buku, dan saya melihat perubahan dalam caranya bertutur dan bergaul. Saya pun tertarik. Hmm, sepertinya membaca buku tidak seburuk yang saya duga. Buku pertama yang saya baca saat itu adalah Dunia Sophie, karya Jostein Garder. Buku ini isi dan halamannya sama-sama berat. Saya terus saja membacanya, meski tak paham-paham juga. Hingga kini, membaca buku itu masih menyisakan trauma bagi kepala saya. Pening bin pusing.
Lebih dari dua tahun ber-HMI. Saya merasakan perubahan dalam diri saya. Rasa-rasanya ber-HMI lebih “berfaedah” tinimbang kuliah empat tahun. Bergabung di HMI menyelamatkan masa-masa kuliah saya. Banyak sekali manfaat yang saya peroleh: Saya bisa menulis catatan ini sedikit banyak karena HMI telah menanamkan gairah membaca dalam diri saya. Berani tampil berbicara—meski dumba-dumba—juga berkat HMI.
HMI memang memberi banyak pada saya. Sedang saya belum bisa memberikan apa-apa. Saya cuman pernah menjadi ketua panitia Basic Training, merangkap tukang masak, dan cuci piring di Benteng Somba Opu, tepatnya di Rumah Adat Luwu. Jika boleh sedikit berbangga, bahwa Ketua Cabang HMI MPO Cabang Makassar sekarang ini, Adinda Faikar al-Baqir adalah salah satu peserta saat itu. Sependek ingatan saya, itulah mungkin satu-satunya Basic Training yang sempat saya ikuti.
Setelahnya, di RAK (Rapat Anggota Komisariat), saya terpilih jadi Ketua Komisariat FIK (Fakultas Ilmu Keolahragaan) UNM. Ya, karena memang situasinya menghendaki demikian. Kader belum banyak, dan sayalah saat itu satu-satunya pilihan yang ada. Jadi, terpilihnya saya secara aklamasi, bisa dibilang bukan karena kapasitas, tapi kecelakaan. Pelantikannya lebih “celaka” lagi. Karena untuk pertama—dan mungkin terakhir—kalinya dilakukan di lapangan futsal. Praktis, yang hadir cukup banyak, bukan karena ingin mengikuti proses pelantikan, melainkan ingin main futsal.
Sayangnya, setelah itu, saya harus menyelesaikan kuliah cepat-cepat. Biaya SPP sungguh mahal, saya tidak bisa kuliah lebih lama lagi. Saya pulang kampung, dan tak pernah lagi punya kesempatan mengurus HMI. Justru di saat HMI tertatih-tatih, krisis kader, dan butuh revitalisasi. Saya sungguh merasa berdosa. Ibarat anak yang tak bisa berbalas budi.
Mungkin itulah alasannya saya selalu menyembunyikan ke-HMI-an saya. Tak juga berani memasang foto selamat milad HMI. Meski ingin juga, tapi malu saya masih lebih besar. Waima demikian. Yakinlah bahwa saya sungguh bangga pernah menjadi bagian dari HMI. Meski hanya menjadi noda setitik.
Selamat Milad ke-74 HMI. Yakusa.