Asal Muasal Pembangkangan dan Masa Depan Umat Manusia

Akan aneh rasanya dikatakan jika asal muasal kehidupan ini dimulai dari pembangkangan. Tapi, begitulah yang dikatakan Erich Fromm melalui bukunya: On Disobedience: Why Freedom Means Saying ”No” to Power, yang diterbitkan Basabasi menjadi Perihal Ketidakpatuhan, Mengapa Kebebasan Cenderung Berkata ”Tidak” kepada Kekuasaan.

Telah diketahui bersama, makhluk paling pertama melakukan pembangkangan adalah sang Iblis pasca Tuhan menciptakan Adam. Tapi, seperti Anda bayangkan, kehidupan manusia tidak dimulai dari kisah itu. Pembangkangan Iblis tidak membuatnya turun ke bumi dan beranak pinak sama seperti kisah Adam dan Hawa.

Adam dan Hawa lah yang dikisahkan turun ke bumi, melahirkan keturunan, dan dari itulah umat manusia mencetak plakat sejarahnya.

Kejadian ini tidak akan terjadi jika Adam dan Hawa terus mengikuti perintah Tuhan agar tidak mendekati pohon terlarang.

Berdasarkan kisah Adam dan Hawa, secara moral Fromm menyatakan tesisnya itu, pembangkangan Adam Hawa mengimplikasikan umat manusia menjejakkan kakinya di atas muka persada.

Tanpa itu, bisa jadi tidak ada sejarah berdarah kakak beradik Habil dan Qabil, pelayaran Nabi Nuh, penemuan mesin uap, globalisasi ekonomi, dan episode kehidupan manusia di milenium ketiga seperti sekarang ini.

Selain tradisi mitos Ibrani itu, kisah pembangkangan juga ditemukan dalam kisah Prometheus, sosok yang dikaitkan dengan ilmu pengetahuan dalam mitos Yunani. Prometheus-lah yang memiliki keberanian, membangkang, dan berhasil mencuri api dewa Zeus untuk ia bawa turun ke umat manusia.

Sejak saat itu, umat manusia tercerahkan, wawasannya terbuka, dan manusia mampu menentukan sendiri nasibnya.

Dua kisah ini menandai secara simbolik bahwa sejarah manusia baru bisa dimulai ketika ia menunjukkan kekuatan akal budinya. Saat ia dengan sendirinya, tanpa bantuan siapa-siapa, bisa menjembatani takdir dan jalan hidupnya secara otonom. 

Tidak saja dua kisah pembangkangan di atas, bagi Fromm, spirit yang sama diabadikan juga dalam figur para nabi. Dengan menolak konsep ”dosa asal” peristiwa Adam Hawa adalah justru proses penemuan kemanusiaan manusia. ”Bagi para nabi, sejarah merupakan ajang di mana manusia mengalami kemanusiaannya” (h.8).

Melalui proses penemuan hakikat kemanusiaannya, manusia berkemampuan mengembangkan akal budi, perasaan, dan tindakannya untuk menciptakan tatanan baru yang harmonis dan damai, sama seperti dalam kehidupan surga sebelumnya.

Singkat cerita, menurut Fromm, evolusi peradaban manusia senantiasa diisi dengan tindakan-tindakan pembangkangan. Bukan saja secara spiritual, tapi ikut juga kekuatan intelektualnya, yang ia gunakan sebagai perkakas kemanusiaan demi menolak kekangan otoritas.

Perkembangan spiritual dan intelektual, hanya bisa berkembang dengan baik jika seseorang berani mengatakan ”tidak” kepada kekuatan-kekuatan yang membelenggu kemanusiaannya. Begitu pendakuan Fromm.

Dua model kepatuhan

Apakah pembangkangan itu buruk? Mestikah manusia patuh? Itu semua tergantung kepada apa dan siapa Anda membangkang dan patuh.

Anda akan menjadi sama seperti seekor anak bebek jika patuh kepada sesosok figur tanpa ada kemawasan diri. Bahkan tanpa itu, sama seperti anak-anak bebek lainnya, Anda seolah-olah akan merasakan keamanan dan kepastian karena hidup dalam kerumununan yang sama.

Gerombolan anak bebek adalah perwatakan yang pas untuk menyebut kepatuhan heteronom yang dijustifikasi Fromm sebagai kesetiaan membabi buta kepada sesosok figur.

Kepatuhan heteronom, tidak saja berlaku kepada hubungan antar pribadi, sama seperti yang ditunjukkan melalui fenomena sejumlah massa dengan pimpinannya, melainkan berlaku juga di dalam sistem atau institusi tertentu.

Watak anak bebek, sudah pasti mencerminkan jenis kepatuhan tanpa otentitas, sesuatu yang menurut Fromm sangat penting bagi diri seseorang. Kepatuhan anak bebek, dicerminkan dari suaranya yang serupa, dan terdengar berulang-ulang dinyatakan secara bersamaan. Dalam tinggi rendah suara ”kwek-kwek” itulah Anda justru kehilangan suara keberanian Anda.

Kepatuhan heteronom berkebalikan dengan kepatuhan otonom, yang lebih menekankan kekuatan akal budi, penalaran, dan keyakinan terhadap suara otentik diri sendiri. Bagi Fromm, kepatuhan otonom bukan bentuk penyerahan diri kepada sutu kekuasaan, melainkan sebaliknya suatu momen penegasan diri, yang mengandaikan keberanian untuk menyatakan dirinya sesuai dengan apa yang ia pikir dan rasakan.

Melalui kepatuhan otonom peradaban manusia dapat tegak berdiri dengan menciptakan kehidupan humanis dan membebaskan. Tentu di sini, kebebasan adalah prasyarat dasar dari tindakan manusia. Tidak ada potensi manusia menyatakan negativitasnya jika tidak ada kebebasan sebagai prasyaratnya, ungkap Fromm (h.16).

Kritik dua kaki: Kapitalisme dan Komunisme

Di buku ini, Fromm mengemukakan kritiknya kepada masyarakat kapitalis dan komunis yang bergerak berdasarkan logika yang sama: kekuatan birokrasi. Di bawah kekuasaan bersifat birokratis inilah umat manusia tercerabut dari dimensi kemanusiaannya berupa kebebasan dan akal budinya.

Masyarakat kapitalistik sangat mengandalkan industrialisasi sebagai motor penggeraknya. Untuk menopang itu dibutuhkan kekuatan birokrasi berupa perusahaan-perusahaan gigantik sebagai kekuatan organisasinya. Di bawah struktur organisasi inilah, modal dan pasar berdenyut tanpa henti menciptakan masyarakat konsumtif.

Melalui naungan ide-ide masyarakat kapitalistik, kata From ditemukan ”kontradiksi-kontradiksi irasional.” ”Kita hidup bergelimang harta dan kekayaan tetapi kita tidak merasa aman, kita hidup lebih makmur, tapi kita juga mengekang kebebasan. Kita mengonsumsi terus tiada henti, tetapi kita makin merasa kosong tak berarti…” (h.56).

Dalam keadaan semacam itulah, kehidupan melahirkan automaton, yakni manusia-manusia bermental mesin yang dikontrol ketat institusi birokratis.

Automaton adalah kepribadian tanpa nurani, teralienasi disebabkan kehilangan  kesadaran, dan kebebasannya. Di dalam masyarakat kapitalistik, kebebasan manusia tidak lebih dari cakupan-cakupan kehidupan berdimensi material, yang semuanya telah diskemakan berdasarkan gerak gerik pasar.

Dalam skema itu, ”individu tidak hanya diatur dan dimanipulasi dalam hal produksi, tetapi bagaimana dan apa yang akan ia konsumsi pun tidak lepas dari jerat sistem ini, yang ia yakini salah satu cara untuk menentukan pilihan bebasnya” (h.60). Melalui cara itu juga kesadaran atas benda-benda material membuat masyarakat kapitalis kehilangan orientasi spiritualnya.

Lalu bagaimana dengan komunisme, terutama sosialisme abad 20 yang menurut Fromm sebelas dua belas dengan kapitalisme? ”Sebagaimana cita-cita demokrasi yang telah kehilangan akar spiritualitasnya, demikian pula dengan cita-cita sosialisme yang juga kehilangan makna terdalamnya, yaitu keyakinan profetis-mesianis akan perdamaian, keadilan, dan persaudaraan umat manusia” (h.74).

Perlu diketengahkan, apa yang dimaksud Fromm sebagai akar spiritualitas dari sosialisme, yang disalahartikan oleh gerakan sosialisme di Eropa maupun elite partai Uni Soviet hanya sebatas perjuangan di bidang ekonomi belaka.

Yang dimaksud sebagai akar spriritualitas sosialisme adalah kesadaran yang sama seperti perjuangan para nabi, yang bertujuan membebaskan umat manusia dari belenggu sistem dehumanisasi.

Ajaran ini bertumpu pada keyakinan masa depan umat manusia akan selamat ketika menyokong dirinya kepada perjuangan bersifat profetik, dengan kehadiran juru perubahan yang menciptakan tatanan berkeadilan.

Itu artinya, perjuangan gerakan sosialisme dengan memperkuat serikat buruh dalam rangka memperjuangkan status ekonomi, nasionalisasi aset, dan membentuk milisi sipil hanyalah wujud kerdil tujuan sosialisme sebenarnya. Ini sama artinya dengan prinsip kerja dari birokratisasi organisasi ekonomi seperti ditemukan dalam perusahaan-perusahaan kapitalis.

Perjuangan sosialisme yang berfokus kepada perjuangan ekonomi, sama seperti yang terjadi dalam masyarakat kapitalistik, hanya menghasilkan peradaban yang mendesakralisasi manusia. Manusia akan menjadi setara dengan benda karena telah kehilangan kehormatannya.

Masa depan umat manusia: Sosialisme humanistik

Syarat ketidakpatuhan atau pembangkangan adalah kebebasannya sendiri. Tanpa kebebasan seseorang tidak berpeluang mengemukakan pembangkangannya.

Di lihat dari ini, kebebasan adalah faktor utama pembangkangan, sesuatu yang menurut Fromm, tidak dimungkinkan terjadi di dalam sistem masyarakat kapitalistik dan sosialis. Bagi dua sistem ini, dengan caranya masing-masing mensituasikan manusia menjadi makhluk determinis dan mekanistik.

Meskipun demikian, Fromm masih menaruh kepercayaan terhadap ajaran sosialisme terutama sosialisme dalam versinya yang masih genuine. Sebelum ditafsirkan secara ekonomistik melaui penafsiran a la Uni Soviet dan pemberlakuan kepatuhan terhadap birokrasi partai, sosialisme adalah pemikiran yang menempatkan manusia sebagai akar keyakinannya.

Dengan demikian produksi dan konsumsi harus ditujukan kepada kebutuhan perkembangan kebutuhan manusia. Itu artinya produktivitas ekonomi mesti digeser untuk meningkatkan produktivitas manusia.

Bahwa bukan negara, partai, kelas sosial, atau modal yang patut dijadikan sebagai tujuan akhir, melainkan realisasi kemanusiaan agar manusia dapat hidup dalam terang kesadaran prinsip moral.

Manusia dalam sistem sosialisme akan mengalami proses identifikasi, internalisasi, dan karakterisasi dalam menemukan otentitasnya. Di dalam sosialisme, manusia berpeluang mencurahkan segenap energi, pikiran, dan tindakannya untuk menemukan kebermaknaan hidupnya.

Kebebasan merupakan salah satu titik tekan yang jadi acuan sosialisme humanistik versi Fromm. Dengan demikian, bukan modal yang menentukan manusia, bukan harta kekayaan tujuan manusia, dan bukan benda materi motivasi utama manusia, melainkan keadaan manusia itu sendiri sebagai motivasi dan tujuan akhirnya. Manusialah yang menentukan kondisinya, bukan sebaliknya.

Sistem sosialisme humanistik menurut Fromm, merupakan antitesis dari dua sistem sebelumnya yang menjadi sasaran kritiknya. Sistem kapitalisme yang mendangkalkan manusia hanya setara benda-benda, dan sosialisme abad 20 yang terlampau mensubordinasi manusia di bawah kendali birokratisasi partai, tidak sama sekali memberikan wacana otonomi bagi keleluasan manusia dalam menentukan sendiri keputusan-keputusan vitalnya.

Fromm mengemukakan salah satu tujuan sosialisme humanistik hanya dapat terealisasi jika terbangun sistem yang menekan seminimal mungkin sentralisasi, dan sebaliknya membuka peluang sebesar mungkin desentralisasi.

Racikan yang terdengar mengambil jalan tengah antara kapitalisme dan sosialisme ini, secara tersirat bertujuan agar tercipta suasana kehidupan yang memberikan peluang kebebasan masyarakat dan sistem kekuasaan di dalamnya dapat berdialektika sesuai kebutuhan.

Perpaduan ini dinyatakan Fromm merupakan usaha masuk akal dan alami berdasarkan kodrat manusia di bawah kondisi rasional. Kenyataan ini merupakan derivasi dari akar yang kuat dalam tradisi humanisme umat manusia di dalam sistem masyarakat saat ini.

Itu artinya, demi menunjang kebebasan umat manusia, dan tanpa meninggalkan pentingnya faktor organisasi yang menyertainya, sosialisme humanistik menyandarkan keyakinannya kepada pentingnya membangun tatanan dunia yang manusiawi.

Dalam satu tarikan nafas, kata Fromm cita-cita sosialisme humanistik  bukan semata-mata tentang program politik dan sosio-ekonomi, melainkan lebih dari itu semua, yakni mewujudkan cita-cita humanisme tanpa kehilangan arah dalam setiap konteks masyarakat.

Dan itu mesti dilakukan dari sosialisme yang radikal. Menjadi radikal berarti kembali ke akar. Kata Fromm, tiada lain tiada bukan akarnya adalah manusia itu sendiri (h.104).

Identitas buku:

Judul: Perihal Ketidakpatuhan Mengapa Kebebasan Cenderung Berkata ”Tidak” kepada Kekuasaan

Penerbit: Ircisod

Penulis: Erich Fromm

Penerjemah: M. Irsan

Terbitan: Juni 2020

Halaman: 116

Dimensi: 14 x 20 Cm

Bahasa: Indonesia

ISBN: 978-623-7378-50-1

  • Dalam satu dasawarsa terakhir, Kabupaten Bantaeng telah tampil sebagai barometer gerakan literasi, khususnya di Provinsi Sulawesi Selatan. Ketika kata “literasi” belum sepopuler hari-hari ini, pegiat literasi di Bantaeng sudah bergerilya menyebar benih gerakan literasi yang kini sudah tumbuh subur. Langkah-langkah gerilyanya ketika itu berupa pelatihan kepenulisan, diskusi buku, dan lapak-lapak baca. Di kemudian hari, langkah…

  • Adelio membuka mata ketika menyadari ombak Perairan Cempedak mengombang-ambing tubuhnya. Ia melihat ke bawah dan mendapati kedalaman laut yang tak terhingga. Ia mendongak ke langit, semburat cahaya matahari baru saja hendak menyapanya dari ufuk timur. Ia baru saja menyadari bahwa dirinya telah mengapung semalaman di tengah laut setelah mendapati sebagian kulitnya yang mulai mengeriput. Ia…

  • Buku terbaru Sulhan Yusuf, Gemuruh Literasi: Sederet Narasi dari Butta Toa boleh dibilang sebagai pembuktian, jika usia bukanlah aral melintang bagi seseorang untuk produktif dalam berkarya. Tapi, insight yang diwedarkan Gemuruh Literasi sebenarnya lebih dari itu. Buku ini adalah jawaban bagi rasa penasaran sebagian orang yang hendak mengetahui gerakan literasi Sulhan di Bantaeng. Kerja-kerja kultural yang…

  • Judul tulisan ini saya pinjam dari ungkapan Profesor Cecep Darmawan—dosen saya ketika studi magister beberapa waktu lalu. Beliau guru besar yang egaliter dan seringkali tampil di publik (media dan forum) untuk berbagi gagasan dan pencerahan. Seingat saya ungkapan itu beliau sampaikan saat kami kuliah “Pendidikan Politik Generasi Muda”. Saya terkesan dengan ungkapan itu, selain indah…

  • Membicarakan suatu topik, dalam hal ini filsafat Islam, maka rasa-rasanya kurang afdal apabila tidak memasukkan nama al-Ghazali di dalamnya. Akan tetapi bila seseorang mau menempatkan al-Ghazali dalam sejarah filsafat Islam, tentu ia harus membuat beberapa catatan. Poin utamanya bahwa al-Ghazali tidak menganggap dirinya filosof dan tidak suka dianggap sebagai seorang filosof. Ini tak hanya menjelaskan…


Kala Literasi

Jl. Pa’ Bentengang No.6, RT.01/RW.08, Mangasa Kec. Tamalate, Kota Makassar, Sulawesi Selatan 90221