Mas Amin, Cak Nur, Gus Dur, dan Kang Jalal.

Gara-gara Gusmuh, panggilan popular Muhidin M. Dahlan, mengunggah satu esai di Mojok.com, berjudul, “6 Pelajaran Penting dari Almarhum Jalaluddin Rakhmat”, sehingga mencungkil kepingan-kepingan ingatan saya, pada satu era persetubuhan pemikiran Islam, tahun 1980-1990, yang pengaruhnya masih terasa hingga tahun 2000. Esai itu ditorehkan berkenan dengan wafatnya seorang cendekiawan muslim Indonesia garda depan, Jalaluddin Rakhmat, 15 Februari 2021.

Gusmuh mendedahkan pergulatan pemikiran Islam, dengan mengapresiasi satu buku, berjudul, Zaman Baru Islam Indonesia, anggitan Dedy Djamaluddin Malik dan Idi Subandy. Buku tersebut, menyebut empat nama, bukan berarti yang lain tidak penting. Keempat nama itu, Amin Rais, Abdurrahman Wahid, Nurcholis Madjid, dan Jalaluddin Rakhmat. Mereka dianggap sebagai newsmaker, pembuat berita. Saya lebih suka menyebutnya, penarik gerbong pemikiran Islam.

Saya selaku generasi muslim, mulai mengecap pendidikan tinggi di perguruan tinggi, pada pertengahan tahun 1980. Persisnya, tahun 1985 saya mulai kuliah. Ikut merasakan orgasme intelektual, yang dirangsangkan oleh keempat tokoh itu. Karena selain berkuliah, saya juga menjadi aktivis mahasiswa, baik ekstra maupun intra kampus. Bagi aktivis mahasiswa, khususnya yang membenamkan diri di luar kampus, terasa janggal kalau tidak bersua dengan para penarik gerbong intelektual tersebut.

Masa 1985-2000, bagi saya, merupakan rentang waktu melibatkan diri dalam jagat aktivisme pemikiran dan sosial. Kuliah selama 7 tahun lebih sedikit dan setelahnya, benar-benar menyerap sajian pemikiran para pesohor intelektual tersebut. Apatah lagi, setelah selesai kuliah, tepatnya tahun 1993, saya memilih profesi penjual buku, serta merta pemikiran dari para penarik gerbong tersebut saya jual. Hasilnya? Laris manis, bagai kacang goreng.

Mungkin banyak orang yang beruntung, tapi tidak seberuntung saya. Mengapa? Sebab jiwa dan raga saya dipenuhi gizinya oleh keempat idola para pencari pengetahuan, guna memenuhi dahaga intelektual mereka. Saya ikut mengeja sederet buku-buku mereka, berarti gizi jiwa saya terpenuhi. Saya menjual buku-buku mereka, bermakna gizi raga saya terselesaikan.

Kalau boleh saya mendedahkan buku-buku mereka, sebagai misal saja, Mas Amin, sapaan Amin Rais, lewat bukunya, Cakrawala Islam dan Tauhid Sosial, betul-betul dua buku dicetak berulang kali.  Konten kedua buku Mas Amin, merupakan kumpulan tulisan, sebelumnya berbentuk makalah dan tulisan di berbagai media. Masih ada buku lainnya, termasuk buku terjemahannya, karya  cendekiawan Iran, Ali Syariati, Tugas Cendekiawan Muslim, sangat memengaruhi iklim intelektual.

Begitu pula Cak Nur, julukan Nurcholis Madjid, lebih heboh lagi. Sebab, ia pernah menggemparkan jagat pemikiran Islam, tatkala mengajukan semacam makalah bertajuk, “Keharusan Pembaharuan Pemikiran Islam dan Masalah Integrasi Umat”, yang salah satu poin kontroversialnya, jargon, “Islam, Yes, Partai Islam, No?” Makalah ini, menjadi salah satu isi dari kumpulan tulisan Cak Nur, terhimpun dalam satu buku, Islam Kemoderenan dan Keindonesiaan. Namun, buku sebagai cerminan kematangan pemikiran Cak Nur, dapat saya nobatkan pada buku, Islam Doktrin dan Peradaban. Kedua buku ini, dicetak berkali-kali.

Lalu, datang Gus Dur, panggilan akrab Abdurahman Wahid. Ia sewajah persona nyeleneh bin heboh. Pikiran-pikirannya tersaji di berbagai media ternama. Majalah Prisma, Tempo, dan koran Kompas adalah tempat menulisnya. Belum lagi ceramah-ceramahnya. Gagasan monumental Gus Dur dapat dipadatkan pada tawaran pribumisasi Islam dan kosmopolitanisme peradaban Islam. Sekotah pemikiran Gus Dur, dirangkum dalam beberapa buku. Salah satu buku fenomanalnya, berjudul, Tuhan Tak Perlu dibela. Belakangan, tebaran pemikiran Gus Dur, dihimpun dalam dua buku tebal, Islam Kosmopolitan dan Islamku Islam Anda dan Islam Kita.

Arkian, muncul Kang Jalal, julukan buat  Jalaluddin Rakhmat. Sosok ini paling dianggap kontroversial. Sebab, ia hadir dengan sajian tulisan yang memukau banyak orang, selain menawarkan pemikiran alternatif nan aktual. Tak salah, jika kumpulan tulisan dan ceramahnya dibukukan dalam dua buku terdepan, Islam Alternatif dan Islam Aktual. Kedua buku ini, masih dicari dan dibaca hingga sekarang, selain buku-buku Kang Jalal lainnya, berjumlah lebih dari 30 judul. Hebatnya lagi, gagasannya selalu dipenuhi tawaran alternatif dan coraknya selalu aktual.

Bagaimana ceritanya, sebagai kaum muda muslim, bisa bersua dan menikmati tarikan gerbong keempat aktor intelektual tersebut? Sekali waktu, awal tahun 90-an, saya ke Yogyakarta dalam rangka mengikuti Advance Training/LK III HMI-MPO. Selain ikut pelatihan, pun rajin ikut berbagai forum intelektual. Tertujulah pada satu mata acara, seminar internasioanal tentang Pembebasan Palestina. Pembicaranya antara lain, Imam Besar Masjid Al-Quds Palestina dan Amin Rais. Makin larutlah saya dalam tarikan pemikiran Mas Amin, setelah sebelumnya, saya sudah lumayan banyak menyantap pemikirannya, yang tersebar di berbagai media.

Lain lagi dengan Cak Nur. Begitu saya masuk Basic Training/LK I HMI, pastilah bersua buah pikirnya, melalui Nilai Dasar Perjuangan (NDP), yang diurai dalam bentuk penggalan-penggalan materi pelatihan. Meskipun bukan Nurcholis Madjid seorang diri selaku perumus NDP, selainnya ada sosok Endang Saefuddin Anshari. Nah, semuanya bermula dari HMI. Mengikuti seluruh jenjang perkaderan HMI, bayang –bayang Cak Nur terlalu sulit dienyahkan, bahkan tarikannya makin menguat tatkala mengikuti jenjang perkaderan yang lebih tinggi. Boleh saya berpendapat, pengaruh ketokohan Lafran Pane di HMI, hanya disamai oleh Cak Nur. Satu pendiri, lainnya penarik gerbong pemikiran.

Tentang Gus Dur, agak unik. Sebagai anak yang tumbuh dari keluarga Nahdiyin, saya pernah mengalami kekuranggairahan ber-NU, khususnya dalam pemikiran. Dan, setelah Gus Dur muncul menggairahkan pergumulan pemikiran Islam, barulah gairah ber-NU kembali tumbuh. Saya eja pemikiran Gus Dur yang tersebar di berbagai media dan buku. Bahkan, pernah dicap tersesat karena membela Gus Dur. Satu jargon Gus Dur yang menghibur saya, menyebabkan kecintaan saya pada NU tumbuh subur, “NU tidak kemana-mana, tapi ada di mana-mana,”  Tengkiyu, Gus.

Kang Jalal? Wow, sesuatu bingits. Mengenal lalu mengikuti gerbong pemikiran yang ditariknya, Islam alternatif nan aktual, penuh resiko.  Ibarat naik bis, Kang Jalal sebagai sopirnya, maka sebagai penumpang sama resiko yang bakal ditemui. Di jalan tempuhan, banyak rintangan mesti dihadapi. Perintang liar maupun resmi senantiasa menghadang. Naik ke gerbong Kang Jalal, dengan cara membaca pemikirannya, sudah dicap sesat, apalagi kalau bergabung di ormas bentukannya, didapuk menyesatkan. Ikut Kang Jalal, sesat dan menyesatkan, begitu penilaian para penentang dan pembencinya. Hingga saat wafat pun, pembencinya masih tetap menghujat.

Benarlah kata Gusmuh, kala membuka esainya, “Faktor syiah saya duga lebih ‘menjual’ untuk dijadikan umpan di mana Kang Jalaluddin Rakhmat selalu jadi ikonnya di Indonesia.”

Kiwari, keempat penarik gerbong pemikiran Islam, masih dieja pikirannya. Meskipun tiga sosok sudah wafat. Cak Nur, Gus Dur, dan Kang Jalal telah tiba di keabadian. Ketiganya abadi di kesementaraan dunia, karena warisan pemikirannya. Pun, abadi di kepastian akhirat sebab telah wafat.

Mas Amin, Cak Nur, Gus Dur, dan Kang Jalal, amat berbahaya dan dibenci oleh orang yang tidak tercerahkan pikirannya dan tersingkap spiritualnya. Mas Amin ditakuti rezim Orde Baru, Cak Nur dianggap sekuler dan membahayakan agama, Gus Dur didapuk perusak Islam, dan Kang Jalal distigma sebagai syiah yang sesat dan menyesatkan umat.

Berlapik pada keabadian warisan pemikiran, khususnya yang telah wafat, wajarlah kalau para pecintanya membikin kanal-kanal sosial, untuk senantiasa melestarikan pemikirannya. Cak Nur, menyata Caknurian. Gusdur, melembaga Gusdurian, dan Kangjalal, mewujud Kangjalalian.  

Adapun saya, sebagai generasi yang ditarik oleh para penarik gerbong itu, hanya ingin menabalkan diri, sebagai anak muda muslim yang tak lagi muda, masih menikmati warisan intelektual itu. Saya adalah ian-ian dari penarik gerbong itu. Menjadi Caknurian dan Gusdurian, sekaligus Kangjalalian. Bijimane dengan gara-garamu ini Gusmuh, adakah?

Gambar: Mauliah Mulkin

  • Dalam satu dasawarsa terakhir, Kabupaten Bantaeng telah tampil sebagai barometer gerakan literasi, khususnya di Provinsi Sulawesi Selatan. Ketika kata “literasi” belum sepopuler hari-hari ini, pegiat literasi di Bantaeng sudah bergerilya menyebar benih gerakan literasi yang kini sudah tumbuh subur. Langkah-langkah gerilyanya ketika itu berupa pelatihan kepenulisan, diskusi buku, dan lapak-lapak baca. Di kemudian hari, langkah…

  • Adelio membuka mata ketika menyadari ombak Perairan Cempedak mengombang-ambing tubuhnya. Ia melihat ke bawah dan mendapati kedalaman laut yang tak terhingga. Ia mendongak ke langit, semburat cahaya matahari baru saja hendak menyapanya dari ufuk timur. Ia baru saja menyadari bahwa dirinya telah mengapung semalaman di tengah laut setelah mendapati sebagian kulitnya yang mulai mengeriput. Ia…

  • Buku terbaru Sulhan Yusuf, Gemuruh Literasi: Sederet Narasi dari Butta Toa boleh dibilang sebagai pembuktian, jika usia bukanlah aral melintang bagi seseorang untuk produktif dalam berkarya. Tapi, insight yang diwedarkan Gemuruh Literasi sebenarnya lebih dari itu. Buku ini adalah jawaban bagi rasa penasaran sebagian orang yang hendak mengetahui gerakan literasi Sulhan di Bantaeng. Kerja-kerja kultural yang…

  • Judul tulisan ini saya pinjam dari ungkapan Profesor Cecep Darmawan—dosen saya ketika studi magister beberapa waktu lalu. Beliau guru besar yang egaliter dan seringkali tampil di publik (media dan forum) untuk berbagi gagasan dan pencerahan. Seingat saya ungkapan itu beliau sampaikan saat kami kuliah “Pendidikan Politik Generasi Muda”. Saya terkesan dengan ungkapan itu, selain indah…

  • Membicarakan suatu topik, dalam hal ini filsafat Islam, maka rasa-rasanya kurang afdal apabila tidak memasukkan nama al-Ghazali di dalamnya. Akan tetapi bila seseorang mau menempatkan al-Ghazali dalam sejarah filsafat Islam, tentu ia harus membuat beberapa catatan. Poin utamanya bahwa al-Ghazali tidak menganggap dirinya filosof dan tidak suka dianggap sebagai seorang filosof. Ini tak hanya menjelaskan…


Kala Literasi

Jl. Pa’ Bentengang No.6, RT.01/RW.08, Mangasa Kec. Tamalate, Kota Makassar, Sulawesi Selatan 90221