Setelah seharian berlelah-lelah. Kita berharap bisa menemukan ketenangan di malam hari. Paling tidak pikiran bisa beristirahat sedikit dari peliknya hidup. Berhenti memikirikan hal-hal yang tidak perlu, tidak penting, dan mungkin tidak pernah kembali ada. Sayangnya, di saat-saat genting seperti itu, justru gawai mengambil alih kesadaran kita. Mengajak kita bertamasya ke tempat-tempat jauh, pada gagasan kehidupan ideal yang semu, juga pada pose bahagia orang-orang yang sebenarnya palsu.
Pikiran ini, yang mestinya damai di malam hari menjelang tidur. Lantas berubah liar. Kita mulai membanding-bandingkan peliknya kehidupan kita, dengan mudahnya kehidupan orang lain. Melihat kebahagian orang lain, dan melupakan syukur kita. Lalu, sadar atau tidak, kita mulai mengutuk diri sendiri, keluarga, dan bahkan Tuhan. Timbullah perasaan ketidakbecusan diri, kekurangan keluarga, dan ketidakadilan Tuhan. Media sosial dan media-media lainnya, ternyata tak sekadar menghubungkan manusia, tetapi juga meredefenisi makna kebahagiaan. Kita tidak akan pernah bisa benar-benar bahagia, jika tak berada dalam kondisi tertentu: banyak fulus, kulit mulus, dan kendaraan bagus.
Jika kebahagian sudah ditentukan oleh entitas luar diri, maka semakin sulit rasanya kebahagiaan itu menubuh dalam diri. Setiap hari, kita hanya akan menunggu dan menunggu, hingga semua variabel kebahagian itu terpenuhi. Sedang, kematian bisa datang saban waktu. “We wait, but the time is short and waiting is long”, kata T.S. Eliot. Akhirnya, kita pun meninggal tanpa pernah benar-benar mencicipi kebahagiaan.
Padahal, hakikatnya kebahagiaan tidak di luar, kata Gobin Vashdev dalam Happines Inside. “Kita seringkali mengaitkan sebuah kebahagaiaan dengan kondisi tertentu yang kita bisa peroleh di luar. Kita berpikir bahwa jika mencapai apa yang kita inginkan maka kita akan merasa bahagia. Namun, apa yang terjadi kemudian setelah beberapa waktu? Kesenangan yang kita kira sebagai ‘kebahagiaan’ itu mulai kehilangan warna, seperti pakaian yang mulai kehilangan sinar kemilaunya, memudar, dan keseganan untuk memakainya pun muncul.”
Masih menurut Gobin, setelahnya kita akan mencarinya lagi dan lagi. Berusaha mendapatkan lebih banyak dan lebih besar. Mengumpulkan materi untuk dibandingkan dengan orang lain. Kita pun menjadi lupa bahwa yang kita cari sebenarnya adalah kunci kebahagiaan yang hilang, bukan hanya kesenangan temporer.
Kiwari ini, kehidupan sudah semakin ‘maju’, katanya. Keberadaan teknologi benar-benar memudahkan kehidupan manusia. Namun, apakah semua kemudahan itu sepadan dengan kebahagian yang kita peroleh? Rasa-rasanya tidak. Justru kemajuan, telah merenggut kebahagiaan dan kemanusiaan kita, yang seringkali melekat pada hal-hal sederhana, mudah, dan murah. Kenapa semakin maju kehidupan di dunia ini, dan semakin canggih teknologinya, justru kebahagiaan semakin sulit kita peroleh?
“Kebanyakan orang tidak mengetahui untuk apa hidup, sampai tepat sebelum mereka meninggal. Ketika muda, kita menghabiskan hari-hari dengan berjuang dan mengejar ekspektasi sosial. Kita begitu sibuk mengejar kesenangan-kesenangan besar dalam kehidupan sampai melewatkan hal-hal kecil, seperti berdansa telanjang kaki di taman sewaktu hujan bersama anak-anak kita, atau menanam mawar atau melihat matahari terbit. Kita hidup dalam masa ketika manusia telah menaklukkan gunung tertinggi, tapi masih belum dapat menguasai diri kita sendiri. Kita punya gedung-gedung yang lebih tinggi, tapi sumbu kemarahan yang lebih pendek, lebih banyak barang tapi lebih sedikit kebahagiaan, pikiran yang lebih berisi tapi hidup yang lebih hampa.” Ungkap Robin Sharma dalam bukunya Who Will Cry When You Die pada bab terakhir.
Lalu, di manakah kebagaiaan itu bisa kita peroleh? Bagi Gobin, kebahagiaan itu amat sederhana, dan mungkin karena terlalu sederhana, banyak orang yang tidak percaya. Kebahagaiaan bisa kita peroleh dengan cara melepaskan. Yakni, melepaskan ikatan dari harapan terhadap hasil yang kita inginkan. Dalam agama dikatakan dengan istilah bersyukur dengan apa yang telah terjadi. Kader HMI menyebutnya bersyukur dan ikhlas. Yang kita lepaskan bukanlah keinginan, melainkan hasil. Anda boleh berusaha sekuat tenaga, tapi apapun hasilnya, selalulah bersikap ‘lepas’. Anda boleh bermimpi jadi kaya, tapi jangan menunggu kaya untuk bisa berbahagia. Anda boleh mencintainya, tapi tidak harus memilikinya baru bisa bahagia. Begitu kira-kira. Jika diibaratkan sebuah benih, maka dalam diri manusia terdapat benih kebahagiaan dan ketidakbahagiaan, terserah Anda akan menyiram dan menumbuhkan benih yang mana. It’s your choice.
Syahdan, dikisahkan ketika akan menjelang akhir hidupnya, Alexander Agung ingin menemui ibunya sebagai permintaan terakhir sebelum maut menjemputnya. Dalam keadaan sekarat, Sang Raja berkata, “Ambillah separuh kekayaanku jika kamu dapat mengantarkan aku ke ke tempat ibuku,” pada dokter yang merawatnya.
Dokter itu pun menjawab, “Jangankan separuh, bahkan seluruh kekayaan Bagianda berikan kepada hamba, hamba tidak mampu menambah satu pun tarikan napas.”
Air mata berlinang di pipi Sang Raja, sambil berkata, “Seandainya aku tahu begitu berharganya satu tarikan napas ini, maka aku tidak akan sia-siakan hanya untuk mengejar kekuasaan.”
Kemudian Sang Raja berpesan, bahwa nanti sewaktu dalam peti menuju peristirahatan terakhirnya, beliau meminta agar tangannya dikeluarkan sehingga setiap orang dapat melihat bahwa Alexander Agung yang menguasai wilayah terbesar sepanjang sejarah, harus berpulang dengan tangan kosong.
Ilustrasi: etsy.com