Bulan ini tepat setahun pandemi Covid-19. Sejak kasus pertama di Indonesia, diumumkan oleh Jokowi pada 02, Maret 2020. Situasi setelahnya berubah seratus delapan puluh derajat. Hampir tidak ada sendi kehidupan yang tidak tersentuh oleh pandemi ini. Salah satunya adalah sektor pendidikan. Tertanggal, 17 Maret 2020, Bupati Bantaeng mengeluarkan surat edaran yang mengintruksikan pemindahan aktivitas belajar dari sekolah ke rumah. Praktis, murid dan guru harus berpisah untuk sementara waktu. Murid dilarang ke sekolah. Guru menjadi resah. Orangtua juga gelisah.
Situasinya memang serba dilematis. Jika murid dipaksakan ke sekolah, maka risiko terpapar Covid-19 amat besar. Apatah lagi anak-anak merupakan salah satu kelompok rentan apabila terpapar virus. Di sisi lain, ketika anak tidak ke sekolah, bagaimana dengan proses belajarnya? Bagaimana pun juga, bagi sebagian besar orang, proses belajar hanya bisa berjalan efektif, jika terjadi interaksi langsung antara guru dan murid. Sebab, dalam interaksi keduanya, bukan hanya dialog ilmu pengetahuan yang terjadi, tetapi juga penguatan dan penanaman nilai-nilai. Namun, apa boleh dikata, keselamatan bersama adalah nomor satu.
Begitu kira-kira gambaran sekolah di awal pandemi mencekik. Akhirnya, pemerintah melalui Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) memutuskan untuk memindahkan ruang belajar ke dunia maya. Program ini kemudian dinamai Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ). Mirip-miriplah dengan LDR (Long Distance Relationship) atau hubungan jarak jauh. Di mana interaksi dilakukan secara daring, memanfaatkan perangkat teknologi dan aplikasi yang ada.
Sayangnya, kebijakan ini tidaklah berjalan mulus sebagaimana idealnya. Laiknya LDR yang punya banyak kendala. PJJ pun punya segudang masalah. Kompleksitas ini tentu tidak terlepas dari kondisi geografis, ekonomi, SDM, dan infrastruktur negara kita. Ada murid yang tidak punya gawai, penguasaan teknologi yang rendah, dan jaringan internet yang mandek.
Jika sudah demikian. Pada akhirnya, semua akan kembali lagi pada guru. Merekalah yang lebih tahu bagaimana kondisi lapangan. Kementrian dan dinas terkait hanya memberikan gambaran umum bahwa bagaimanapun kondisi, proses belajar mesti terus berjalan. Life must go on. Bekerjalah guru-guru dengan segala keterbatasan dan kegagapannya beradaptasi. Daring dan luring semuanya diembat. Sebab menjadi guru adalah amanat.
Karenanya, amat menyakitkan bagi guru kemudian, ketika ada persepsi sebagian orang, yang mengatakan bahwa para guru menikmati situasi ini karena tidak mengajar. Makan gaji buta. Sungguh tuduhan yang melukai hati dan tidak simpatik sama sekali. Bukankah guru juga adalah korban dari pandemi? Di masa ini, guru bekerja lebih keras. Sungguh. Bisa dibayangkan, dalam setahun ini guru ‘dipaksa’ untuk terus belajar, mengejar ketertinggalan, belajar adaptif terhadap situasi yang tiba-tiba berubah seratus delapan puluh derajat. Guru diminta melakukan PJJ yang namanya mungkin baru mereka dengar. Belajar online yang rasanya lain-lain. Atawa belajar dari rumah yang sepertinya lebih susah. Olehnya, jika pun hasilnya belum memuaskan, ya memang begitulah adanya. Bukankah situasi ini adalah sesuatu yang baru, aneh, dan tak pernah terbayangkan sebelumnya?
Ya, mau tidak mau, guru harus mengakui masih punya banyak kekurangan. Sedang guru yang baik, tentu menyadari kekurangan itu, terus belajar meningkatkan kapasitas pribadi. Terus mengayakan diri dengan ilmu pengetahuan. Mencari alternatif pembelajaran. Dan tanggap melakukan refleksi. Guru dan belajar memang adalah dua hal yang tidak bisa dipisah sama sekali. Sebuah keniscayaan. Di Surat Kabar Guru Belajar Edisi 26 (SKGB) dikatakan bahwa guru yang berhenti belajar akan tergantikan oleh kecerdasan buatan, sedang guru yang terus belajar akan mendatangkan kemajuan. Rasanya memang benar, kini, jika guru tidak berubah, tidak berbenah, maka akan tergantikan oleh search engine bernama Google. Dan guru akan ditinggalkan para ‘pengikut’. Bukankah fenomena itu kini sudah terlihat?
Bahkan dalam kondisi paling buruk pun, kita masih bisa melihat banyak hal-hal baik. Bukankah bintang bersinar paling terang ketika malam begitu gelapnya? Bukankah guru kemudian menyadari ketikdaberdayaannya di tengah berlarut-larutnya pandemi? Rasa-rasanya, jika ada hal yang patut disyukuri dari pandemi, selain penyadaran akan pentingnya kebersihan. Mungkin adalah shock therapy bagi guru. Dibuat shock, kemudian ‘menerapi’ diri dengan belajar kembali dan seterusnya.
Kabar baik lainnya, pendidikan di masa pandemi juga sedikit banyak membuat orangtua menyadari satu hal: menjadi guru memang bukanlah perkara mudah. Tak sedikit orangtua yang mengeluh kepada guru-guru, betapa susahnya anak mereka diajar. Dengan begitu, mereka bisa sedikit berempati terhadap guru. Sehingga ke depan, kita berharap, tak ada lagi guru yang mendekam dipenjara karena laporan orangtua. Kekerasan memang tidak pernah dibenarkan. Namun, guru bukan malaikat, yang selalu berlaku benar, mereka manusia biasa yang menubuh padanya sifat-sifat manusia. Karenanya, guru dan orangtua harus memanusiakan kembali hubungan mereka. Mencoba saling memahami. Saling mendukung demi kemajuan anak.
Tak ada salahnya kita belajar paradigma orangtua di Finlandia. Sebagaimana pendakuan Munif Chatib dalam bukunya Gurunya Manusia. Pertama, orangtua di Finlandia memahami bahwa mengajar adalah pekerjaan rumit, kompleks, dan penuh dinamika sehingga perlu didukung. Apabila guru mengalami kesulitan mengajar, maka orangtua mereka akan membantu semaksimal mungkin. Tak ada istilah menyalahkan guru—apalagi memenjarakannya. Kedua, orangtua di sana lebih mementingkan proses. Mereka cenderung tidak terlalu peduli dengan hasil belajar anak. Setiap usaha anak selalu mendapatkan apresiasi. Jika nilai kognitifnya rendah, mereka akan memberikan semangat, “Ayo besok pasti kamu bisa, coba lagi, jangan putus asa!” Ketiga, orangtua menyampaikan kritik kepada sekolah dengan cara yang baik dan santun. Sebab, mereka memahami menjadi guru bukanlah pekerjaan mudah. Dengan demikian, maka guru pun akan senang menerima kritik, sebab menjadi saran yang baik bagi keberhasilan murid mereka. Di sana, guru dan orangtua benar-benar menjadi sahabat sejati. Indah nian.
Last but not least, guru belajar dan pelibatan orangtua, adalah dua hal catatan reflektif saya yang menandai setahun PJJ berjalan. Dua hal yang seyogianya sudah menubuh dalam diri guru sejak dulu. Pandemi, seolah hanya menjadi momentum saja, bahwa pendidikan kita sebenarnya belum baik sepenuhnya. Semoga dengan guru yang terus belajar, dan orangtua yang tak berpangku tangan, tujuan pendidikan kita tak sekadar slogan dan angan-angan.
ILustrasi: guruberbagi.kemendikbud.go.id