Agama Teror(is)

Seperti biasa, umat kristiani beribadah penuh khidmat di minggu pagi. Khotbah kedamaian, keselamatan dan kasih sayang para pastor/pendeta menyirami jejiwa para jemaat. Oh betapa teduhnya, betapa damainya.

Tapi, keheningan minggu pagi itu tiba-tiba pecah. Sepasang manusia [untuk tidak menyebutnya serigala], meledakkan dirinya di depan gerbang Katedral. Keduanya berboncengan motor, mengenakan penutup kepala, tapi bukan helm. Yang lelaki bersurban, yang perempuan berjilbab plus cadar. Beruntung, ledakan itu hanya mematikan mereka berdua.

Usai itu, bermunculanlah dua opini. Yang satu meyakini keterkaitan teroris dengan agama. Yang lainnya meyakini ketidakterkaitan agama dengan teroris. Kedua opini tersebut, tentu saja benar, dan tidak kontradiksi. Bahkan dalam hemat saya; meyakini ketidakterkaitan teroris dengan agama, itu sama dungunya dengan meyakini keterkaitan agama dengan teroris.

Betapa tidak, teroris yang bebaru ini mati konyol di depan katedral Makassar, pastilah beragama Islam, bahkan militan dalam berislam. Mereka membuktikan militansinya dengan berani [baca; nekat] meledakkan dirinya dengan dalih sedang berjihad.

Jadi jelas, para teroris di Makassar itu berkaitan dengan agama Islam, bahkan merasa sedang menjalankan ajaran Islam. Memang tak bisa dibayangkan, tapi itulah yang terjadi. Mereka merasa sedang beribadah dengan membunuh orang-orang yang tak bersalah.

Tak bermaksud menggeneralisir teroris beragama Islam, tapi kebanyakan mereka memang beragama Islam dengan wajah bercadar, dan dagu berjanggut. Teroris yang hanya berbikini, hampir tak pernah ditemukan.

Mengatakan bahwa teroris tak berkaitan dengan agama, jika bukan karena kedunguan, pastilah bermotif pengaburan. Pengaburan akan fakta, bahwa kebanyakan teroris (merasa) sedang menjalankan perintah Tuhan. Itulah mengapa, para pembunuh yang bukan teroris, akan merasa bersalah atas tindak pembunuhannya. Sementara pembunuh yang teroris, merasa berpahala dengan membunuh.

Pengaburan fakta tersebut berimplikasi pada;

Satu, hilangnya kewaspadaan dalam memilih tempat kajian/pengajian agama. Seolah, semua kelompok agama (khususnya Islam) itu sama. Padahal nyatanya, teroris berawal dari salah pilih ustad dan salah nongkrong tempat pengajian, lalu berakhir pada mati konyol.

Dua, hilangnya evaluasi dan pembacaan ulang terhadap ajaran Islam yang diyakini. Padahal penting untuk meninjau kembali corak keberislaman yang dianut. Jangan sampai, keberislaman yang dianut bercorak radikal, yang ditularkan oleh “ustad-ustad” berpaham radikal. Diantara ciri keberislaman yang radikal adalah “panas” melihat agama lain, hingga berniat untuk membunuhnya.

Tiga, matinya nalar kritis terhadap sosok yang diustadkan. Menganggap sosok yang diustadkan sebagai manusia suci. Hal ini semakin menjadi-jadi, bila sosok yang diustadkan kebetulan bergelar habib. Akibatnya, terjadilah apa yang kita sebut dengan ulama-isasi kriminal, atau mengulamakan kriminal; menganggap kriminal sebagai ulama.

Agama, tidak berkaitan dengan teroris. Itu benar. Tapi juga benar, bahwa agama sering  ditafsirkan secara salah, sadar atau tidak sadar, yang akhirnya membuahi “Islam” Radikal dan melahirkan para teroris berjubah agama.

Maka sekali lagi, agama manapun tidak berkaitan dengan teroris, para terorislah yang mengaitkan diri dengan agama. Agama tidak mengajarkan terorisme, para terorislah yang meneror berdasarkan pahaman agamanya.

Dari sini juga bisa disimpulkan, bahwa terorisme tidak kenal tingkat pendidikan dan strata sosial. Seseorang bisa saja menjadi teroris, tanpa peduli apakah ia berpendidikan tinggi atau rendah, berekonomi borjuis atau proletar.

Alasannya, terorisme hanya butuh satu syarat, yaitu; semangat beragama yang berapi-api, sembari meliburkan akal sehat. Militansi tanpa akal sehat adalah banteng yang menggila dengan mata tertutup.

Waspadalah

  • (Suatu Tinjauan Sosiologi Kekerasan) Kawasan Timur Tengah kembali memanas pasca kelompok Hamas Palestina menggencarkan serangan mendadak ke Israel tidak jauh di perbatasan Gaza, Sabtu (7/10/23) dini hari waktu setempat. Akhir pekan yang berubah mencekam, karena serangan ribuan nuklir itu tepat ditujukan ke Tel Aviv dan Yerusalem, menembus sistem pertahanan Iron Dome menghancurkan banyak bangunan. Frank…

  • Aktivitas manusia di era sosial media adalah produksi dan distribusi konten. Konten quote-quote adalah konten yang paling banyak berseliweran. Quotation adalah sebuah kalimat atau syair pendek yang disampaikan dalam rangka memberi makna ataupun mengobati perasaan derita dalam hidup. Penderitaan divisualisasikan dan didistribusikan melalui quote pada jejaring sosial media dalam upaya agar setiap orang diharapkan dapat…

  • “Saya tidak memikirkan representasi kecantikan yang lebih baik daripada seseorang yang tidak takut menjadi dirinya sendiri.” Pernyataan Emma Stone ini memberi sugesti pada saya betapa cantiknya seorang perempuan yang dikisahkan oleh dosen-dosen filsafat, dan yang digambarkan dalam film Agora yang pernah saya tonton. Sekitar 8 Maret 415 Masehi, kota Alexandria (Mesir) telah menjadi saksi bisu…

  • “Cita-cita kamu apa?” Ini adalah sepenggal pertanyaan yang begitu membosankan bagiku. Aku masih, dan selalu ingat. Betapa orang-orang sering mengajukannya kala aku masih di Taman Kanak-Kanak. Mulai bapak dan ibu. Tante dan om. Nenek dan kakek. Juga sepupu yang usianya terlampau jauh di atasku. Di sekolah pun demikian. Para guru kerap melontarkan deretan kalimat ini.…

  • —mengenang 3 tahun kepergian Sapardi Djoko Damono SEJAK baheula manusia dikepung puisi. Sekira tahun 1.700 Sebelum Masehi di India, puisi sudah tengger di naskah kuno Veda dan Gathas. Puisi adalah ekspresi artistik mengenai pesona diri dan hidup. Ibarat bakul puisi mewadahi “benak” penyair, yang diperah dari peng-alam-an: imajinatif, emosional, dan intelektual—peng-alam-an ini dipahat penyair pada…


Kala Literasi

Jl. Pa’ Bentengang No.6, RT.01/RW.08, Mangasa Kec. Tamalate, Kota Makassar, Sulawesi Selatan 90221