Di kekinian, dunia kita penuh dengan kebisingan yang hampa. Gelombang kata-kata keluar dari mulut cuma-cuma. Tarian jemari di gawai kian digemari. Sayang, gelimang kata-kata tak menambah isi kepala, justru sebaliknya. Semua informasi berlomba menyesaki otak kita yang kecil, sedang kita gamang bersikap. Kadang emosi kita meledak-ledak, empati kita meluap-luap, kesedihan menusuk-nusuk, semuanya tak pernah berada dalam porsi yang pas. Dunia medsos memang keras.
Kasus pemenggalan guru sejarah di Prancis, Samuel Paty yang katanya melakukan penistaan terhadap Agama Islam, karena menunjukkan karikatur Nabi Muhammad saw.,—dan beritanya menghebohkan dunia—pada akhirnya hanyalah bualan anak sekolah semata yang mengidap inferiority complex, takut dimarahi ayahnya karena dirinya diskors, sebab sering bolos sekolah. Nyawa pun melayang, sedang kesabaran yang diajarkan agama masih sebatas angan-angan.
Mengutip Detik.com semuanya bermula, ketika si ayah, Brahim Chnina menerima laporan putrinya—yang ternyata berbohong—dan kemudian membuat video dan membagikannya di Facebook, isinya mengecam Paty ,menyerukan agar sang guru dipecat dari tempatnya mengajar, di sekolah menengah Conflans-Sainte-Honorine. Satu video lainnya diunggah ke medsos Chnina yang menuding Paty melakukan ‘diskriminasi’.
Chnina juga mengadu ke sekolah, melapor ke polisi dengan menuduh Paty bersalah karena ‘menyebarkan gambar porno’, dan memicu tuduhan Islamofobia di sekolah. Isu inilah dan dua video Chnina menyebar luas—khususnya di medsos—dan sampai ke Anzorov, imigran Chechnya yang teradikalisasi, yang sepuluh hari kemudian memenggal kepala sang guru.
Kasus di atas hanyalah satu contoh, bagaimana kekuatan medsos. Chnina mungkin tak pernah menduga, bahwa videonya akan booming hingga merenggut nyawa guru anaknya. Sedang anaknya mungkin tak pernah berpikir, bahwa ayahnya akan membuat video kemarahan di medsos, hingga membuat semuanya berada di luar kendali.
***
Beberapa waktu lalu, sepakbola kita juga heboh oleh perlakuan rasis yang diterima Patrick Wanggai, striker PSM Makassar. Pasca mencetak gol ke gawang Persija, kolom komentar Instagram Wanggai diserang akun pseudonim dengan kata-kata rasis. Miris memang. Nafsu bermedsos tinggi, tak sebangun dengan kapasitas literasi digital. Akhirnya, medsos kita dipenuhi oleh orang-orang barbar dan gagap etika.
Sepertinya survei Microsoft yang menyatakan warganet Indonesia, sebagai yang paling tidak beradab sejajar dengan Rusia, Afrika Selatan, dan Meksiko tidaklah keliru. Bahkan di Asia Tenggara kita juara I. Sebuah prestasi yang membangongkan. Lucunya, alih-alih melakukan self correction, justru sikap sebaliknya ditunjukkan warganet, menyerang Instagram Microsoft, hingga mereka harus menutup kolom komentar. “Benar kan survei gue,“ kata Observer Microsoft dalam hati. Mungkin.
“Netizen Indonesia ketika ada peristiwa apa pun dikomentari kemudian kalau mereka benci ya benci banget, termasuk sikap tidak beradab seperti scamming, doxing. Jadi mengerikan memang kehidupan media sosial kita,“ begitulah pendakuan Firman Kurniawan, Pakar Budaya dan Komunikasi digital sebagaimana diberitan CNN Indonesia. Teknologi pintar, tak menjamin masyarakat juga akan pintar.
Benarlah Gus Mus dalam puisinya, “…Kita adalah masyarakat yang menolak mengakui, sebagai masyarakat yang masih hidup terbelakang, kita adalah masyarakat yang suka berteriak tanpa malu, dan mengaku sebagai pembawa pemikiran yang berbeda, kita adalah masyarakat yang suka membualkan kekosongan, dan mengaku sebagai masyarakat berbudaya. Memuakkan sekali…”
***
Dua kasus di atas, rasanya cukup menjadi bukti, betapa kini, setiap orang memiliki ‘pisau’ nan tajam di genggaman. Orang-orang dengan bebas bisa berkomentar, merekam, dan menyebarluaskan apa saja. Mulai dari video marah-marah, joget Papi Chulo ala Tik Tok, hingga prank picisan. Pun berkomentar apa saja, mulai dari manis-manis, sinis-sinis, hingga yang rasis. Sekotahnya menyesaki gawai kita, merasuki pikiran, dan mengotori hati. Medsos benar-benar menjadi belantara penuh toxic, siap menyesatkan siapa saja. Karenanya, hidup di kekinian, makan terasi saja tak cukup, harus pula sampai ke makam literasi.
Rasanya, kita mesti terbang ke ribuan tahun ke belakang, masa ketika Socrates masih hidup, belajar darinya menggunakan medsos. Meski, dalam konteks yang berbeda, saya kira prinsipnya akan sangat efektif jika diterapkan dalam bermedsos. Setidak-tidaknya ia bisa menjadi rem, mengontrol diri dalam hal upload, share, dan comment, agar lebih proporsional.
Syahdan, pada zaman Yunani kuno, Socrates adalah seorang terpelajar dan intelektual yang terkenal reputasinya karena pengetahuan dan kebijaksanaannya yang tinggi. Suatu hari, seorang pria berjumpa dengan Socrates dan berkata, “Tahukah Anda apa yang baru saja saya dengar mengenai salah seorang teman Anda?”
“Tunggu sebentar,” jawab Socrates. “Sebelum memberitahukan saya sesuatu, saya ingin Anda melewati sebuah ujian kecil. Ujian tersebut dinamakan Ujian Chunin Saringan Tiga Lapis.”
“Saringan Tiga Lapis?” Tanya pria tersebut.
“Betul,” lanjut Socrates,” Sebelum Anda mengatakan kepada saya mengenai teman saya, merupakan ide yang bagus untuk menyediakan waktu sejenak dan menyaring apa yang akan Anda katakan. Itulah kenapa saya sebut sebagai Ujian Saringan Tiga Lapis.”
“Saringan pertama adalah kebenaran. Sudah pastikah Anda bahwa apa yang akan Anda katakan kepada saya benar?”
“Tidak,” kata pria tersebut, “Sesungguhnya saya baru saja mendengarnya dan ingin memberitahukannya kepada Anda.”
“Baiklah,” kata Socrates. “Jadi Anda sungguh tidak tahu apakah hal itu benar atau tidak.”
“Sekarang mari kita coba saringan kedua, yaitu kebaikan. Apakah yang akan Anda katakan kepada saya mengenai teman saya adalah sesuatu yang baik?”
“Tidak, sebaliknya mengenai hal buruk.”
“Jadi,” lanjut Socrates, “Anda ingin mengatakan kepada saya sesuatu yang buruk mengenai dia, tetapi Anda tidak yakin jika itu benar. Anda mungkin masih dapat lulus ujian selanjutnya, yaitu kegunaan. Apakah cerita yang Anda ingin beritahukan kepada saya tentang teman saya akan berguna buat saya?”
“Tidak, sungguh tidak,” jawab pria tersebut.
“Jika begitu,” simpul Socrates, “Jika apa yang Anda ingin beritahukan kepada saya tidak benar, tidak juga baik, bahkan tidak berguna untuk saya, mengapa Anda masih ingin menceritakannya kepada saya?”
Apa yang dilakukan Socrates, adalah ikhtiar menjaga diri dari tindakan nirmakna. Sesuatu yang hilang sejak dunia permedsosan menyerang. Saya membayangkan, seandainya Chnina menggunakan saringan ini sebelum menyebar video “sensitif” itu, sang guru mungkin masih berdiri di hadapan murid-muridnya. Bagaimana pun juga, setiap agama punya kelompok ektrimisnya masing-masing, siap melakukan apa saja atas nama agama.
Saya juga bermimpi, kelak warganet kita akan berprinsip ujian saringan tiga lapis ini, dengan begitu, maka kehidupan bermedsos kita yang riuh akan teduh. Yang bermulut belati akan berhati-hati. Yang suka marah menjelma ramah. Cukup dengan kala ingin mengunggah, membagikan, dan berkomentar, tanyakanlah dalam diri: apakah hal tersebut benar, baik, dan berguna?
Mudah, kan?
Ilustrasi: idntimes.com