Hujan dan senja adalah kesukaan kita berdua. Entah mengapa kita suka duduk di bibir pantai, di bawah pohon trembesi, kala kaki langit mulai menjingga, dan orang-orang sudah ingin pulang. Kita menghitung jumlah perahu nelayan hilir mudik, serupa titik-titik di tengah laut. Memungut dedaunan tanggal yang tak lagi hendak tinggal di dahan. Atau menertawakan kepiting pantai beradu capit, saling berebut tempat di atas bebatuan. Mereka lucu, katamu.
“Apa yang membedakan laut dengan pantai, Cha?” Tanyaku, memecah sunyi senja kala itu.
“Tidak tahu,” jawabmu memalingkan pandangmu ke arahku, lalu diam, dan kembali menatap laut.
Aku ikut terdiam saat itu, karena memang hanya ingin mendengar suaramu saja, juga melihat senyummu yang belakangan ini terasa berbeda. Seperti ada duka yang tak mau kaubuka, seperti ada perih yang tak hendak kaubagi. Matamu yang bening juga nampak hening, seolah ada air mata yang tertahan di sana. Sayangnya, aku tak cukup berani untuk bertanya ada apa. Sebab aku yakin kau akan menceritakannya sendiri. Bukankah aku selalu menjadi yang pertama mendengar semua keluh kesahmu? Sayangnya, hari ini kau nampak berbeda. Tumben sekali perempuan bersahaja ini diam dengan semua hiruk pikuk yang ada di kepalanya.
Lampu perahu berkedip di hadapan kita, seperti bintang-bintang langit. Barangkali langit memang adalah cermin samudra. Pun sebaliknya. Gelap perlahan menyeruak, pohon berubah monokrom. Kita diam cukup lama, rasanya kita tak pernah sekikuk ini sebelumnya. Sikapmu saat itu, benar-benar seperti senja yang indah dan jingga, menyimpan misteri tak terhingga. Waktu berlalu tanpa jawaban kegelisahanmu. Lalu, kita memutuskan untuk pulang.
“Cha…. Kau tau kan kita sama-sama menyukai senja, kan?”
“Ya… tentu saja, untuk itulah kita ada di sini sekarang,” jawabmu lagi
“kau tahu tidak apa yang membuat senja itu menarik?”
“Apa?” tanyamu sembari membersihkan sepatumu dari sisa-sisa pasir pantai
“Karena semburat jingga matahari di saat senja selalu memberi isyarat, bahwa besok dia akan kembali untuk menjaga”
Kau tersenyum simpul dengan sorot mata yang tidak lagi berbinar, membuatku semakin khawatir.
Kita akhirnya pulang, Aku dengan motorku, kau dengan mobilmu.
Esok paginya, kau mengirimiku sebuah pesan cinta, ada kalimat puisi, selamat tidur, dan ucapan maaf dalam rentetan isinya. Dari waktu pengiriman, aku yakin kau mengirimnya di sepertiga malam kala tidurku sedang lelap-lelapnya. Kau mungkin sengaja, agar aku tak membalas pesanmu saat itu juga. Atau mungkin, di tengah rasa resahmu yang dalam, kau terbangun tengah malam untuk bisa berbincang dengan Tuhan. Itu hanya dugaanku, yang selalu sok tahu tentang dirimu. Ada apa?
Seminggu, dua minggu, hingga berbulan tak ada kabar darimu. Aku tidak bisa menghubungi melalui telepon maupun sosial mediamu yang aksesnya mulai tertutup. Pikiranku berkecamuk. Hati perlahan remuk. Pikiranku benar-benar kalut, seperti kabut di puncak gunung. Ribuan pertanyaan lalu lalang di kepala. Ada apa?
Apakah pesan malam itu adalah isyarat selamat tinggal?
Aku terus berusaha mencari keberadaanmu, kepergianmu secara mendadak menyisakan luka dan memori batin yang tidak bisa aku jelaskan. Dengan sedikit paksaan, aku mencarimu melalui temanmu.
Akhirnya aku paham betapa bodohnya aku tak pandai membaca isyarat itu.
Kau dijodohkan dengan lelaki lain, yang lebih baik dalam segala hal, kecuali dalam mencintaimu. Aku yakin ia tak ada apa-apanya dibanding aku. Ternyata pernikahanmu berlangsung sehari setelah pertemuan kita di senja terakhir kala itu.
Aku tenggelam dalam kesedihan, mencoba menyibukkan diri, berusaha bertahan hidup meski perasaan ini kembali mati. Perasaan yang tadinya tumbuh subur karena kehadiranmu kini telah gersang.
Apa kau merasakan hal yang sama, Cha? Sama-sama patah hati atas perpisahan yang ditakdirkan semesta?
Dalam usaha melupakanmu aku bersikeras menghilangkan semua jejakmu, termasuk menghapus foto-fotomu, puisi-puisi yang pernah kau kirim, juga rencana-rencana kita di masa datang yang berakhir nirmakna.
Tapi bagaiamana aku menghapus yang berserak di kepalaku, dan membekas di hatiku? Bagaimana? Aku benar-benar tidak bisa hidup seperti ini terus menerus. Hidupku sudah berat akhir-akhir ini, dan semakin berat setiap hari ketika kau pergi. Apalagi yang bisa membuatku bahagia. Pribadi yang dulu kau kenal menyenangkan dan ramah senyum, kini menjelma orang yang dingin dan kaku. Aku mungkin sudah berubah. Menjadi tipikal orang yang paling kau benci. Ketika kita bertemu suatu hari nanti, aku mungkin bukan lagi lelaki yang dulu pernah kau cinta.
Cha, kini aku tak tahu harus bagaimana. Terkadang, beberapa kali dalam hidup, aku berpikir, Bisakah aku jatuh cinta lagi? Rasanya berat mengenal perempuan lain setelah mengenalmu. Aku terlalu takut mengecewakan. Takut dikecewakan lagi. Ketakutan ini bertarung sepanjang waktu. Dan siapa pun nanti yang jadi pemenangnya, yang kalah tetaplah aku. Aku.
Cha, bagaimana kabarmu? Apakah kau sudah tahu perbedaan laut dan pantai? Apakah senjamu kini terasa lebih menyenangkan?
***
Aku mencintaimu
Itu sebabnya aku takkan pernah selesai mendoakan keselamatanmu
Sajak Sapardi yang kukirim malam itu. Menjadi puisi, juga pesan terakhir untukmu. Kau bilang menyukai penyair macam Sapardi dan Aan Mansyur. “Aku suka syair-syair mereka yang melankolis.” Katamu saat menghadiahkan buku Hujan Bulan Juni, tepat di hari Eyang Sapardi meninggal. Bagimu itulah cara terbaik mengenang penyair hebat—dengan membaca karya-karyanya. Aku yang malas pada puisi ini, tak mengerti yang kau ucapkan.
“Aku tak suka puisi, An.” Ketusku saat itu.
“Tak apa, kau akan menyukainya nanti.”
“Aku tak yakin, bagaimana mungkin aku menyukai sesuatu yang tidak aku mengerti,“ Keluhku, sembari meletakkan buku di pangkuan.
“Cha, puisi untuk dinikmati, bukan untuk kau mengerti,” Jawabmu dengan senyum.
Kau menatap ke langit, seperti anak kecil yang melihat wajah ibunya, “Kelak, akan datang suatu masa, di mana kau akan menikmati puisi meski tak paham maknanya sama sekali. Aku berharap masa itu tak pernah tiba.” Katamu lirih.
***
Setelah mengirim pesan itu, aku harus mengganti nomor baru. Begitulah kesepakatanku dengan keluarga, atas janji pertemuan kita petang itu. Iya, keluarga memang melarang keras kita bertemu saat itu. Tapi aku bersikap tak kalah keras. Bagiku, mungkin itulah satu-satunya kesempatanku melihatmu sebelum hidup bersama laki-laki lain. Ahh, bisakah aku melakukannya? Siang itu, aku memohon pada ibu, mengemis pada bapak. Air mataku telah kutumpahkan sebelum pertemuan kita. Menjelma sungai kering di musim kemarau. Suaraku pun berubah parau. Aku tak ingin kau membaca isyarat apa-apa. Tidak di mataku, tidak pula di wajahku, An.
“Apa yang membedakan laut dan pantai, Cha?” Tanyamu dengan polosnya—seolah aku juga adalah muridmu di sekolah. Aku menatapmu sejenak, dan hanya menjawab tak tahu. Saat itu aku sungguh ingin bicara banyak, An, tapi aku takut semuanya diambil alih air mataku. Ini pertemuan terakhir kita, dan tak boleh dinodai oleh air mata. Tak boleh sama sekali. Kita memang suka hujan, An. Tapi yang jatuh dari langit, bukan dari mata salah satu di antara kita. Kau pernah bilang kan, kala hujan turun, rasa-rasanya hanya ada kita bertiga saja di dunia: aku, kau, dan hujan. Semuanya menjadi bunyi-bunyi yang sunyi. Hening dan tenang. Kita ingin hujan tak usah usai. Agar percakapan kita tak pernah selesai. Agar kita bisa menikmatinya selamanya. Apakah di surga kelak ada hujan juga, An?
An, Jika bukan karena ibu, aku mungkin sudah mengajakmu pergi petang itu. Ke tempat jauh, memulai kehidupan baru, walau tanpa restu. Ke tempat di mana kita tak mengenal orang-orang, juga tak dikenal oleh mereka. Rasanya mengenalmu saja sudah cukup, An. Kau paling baik, paling mengerti. Rasanya aku tak butuh yang lain lagi. Tapi aku memikirkan perasaan ibu, An. Meski ia tak pernah memikirkan perasaanku sama sekali jika itu berkenaan tentangmu. Aku sendiri tak tahu kenapa ibu membencimu begitu dalam. Memilih antara kau dan ibu adalah pilihan tersulit dalam hidupku. Kehilangan salah satunya sungguh akan membuatku kehilangan saparuh hidup. Meski, kau tahu sendiri pilihanku seperti apa, An. Iya, aku memilih ibu dibanding engkau. Kau pasti kecewa. Aku tak berharap kau memaafkanku, An. Jujur, kau boleh benci atas pilihanku. Dan jika itu bisa membuatmu melupakanku, mungkin membenciku adalah cara lain mencintaiku. Lakukanlah! Tak apa, An. Tak apa.
Malam ini sungguh dingin. Hujan turun lagi, An. Aku sungguh membencinya. Barangkali benar kata orang, An, langit adalah mata yang tak henti-hentinya menangis. Kini semuanya sungguh ramai, tak ada lagi kita berdua, semuanya merasuk dan menusukku dalam sekali, berkali-kali. Mengingatkanku padamu. Tentang puisi-puisi yang kaukirim untukku saat hujan. Pada kenangan dan angan-angan. Pada Air mata dan kata-kata. Semuanya tentang kita.
“Akhirnya kau hilang. Kau meninggalkan aku—dan kenangan kini satu-satunya masa depan yang tersisa.” Membaca puisi Aan Mansyur. Akhirnya, aku paham An, mengapa puisi diciptakan. Dan aku membencinya. Sungguh.
Foto: Dion Syaef Saen.